Episode 7 - Kamu mauku

436 15 1
                                    

" Tukang foto tidak tahu, tukang parkir juga. Bapak dinas pariwisata juga tidak ada. Aku tak tahu." Jawabku seraya menghempaskan badan kekursi.

Tia hanya menggerakan alis kananya. Isyarat bahwa dia sudah tahu aku takkan menemukannya. Dia sibuk dengan makanannya. Aku juga melanjutkan makanku. Di sela ujung mata aku memperhatikan cincin itu melekat cantik ditangannya yang putih.

****

Kami berjalan-jalan kecil di taman Jam Gadang. Angin sore sepoi sepoi. Tia menikmati hembusan yang mengenai wajahnya. Rambutnya juga melayang pelan. Helai rambutnya menghalangi wajahnya. Aku secara reflek membelai rambut itu. Ku sibak hingga ke telinga. Agar rambut itu diam manis disana. Tia melihatku. Dia tersenyum.

Kami duduk di bangku taman. Untuk waktu yang cukup lama kami hanya duduk. Tampa bicara, hanya hening berdua. Disela kami duduk dua orang pengamen menghampiri.

....   Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu, biar cinta datang karena telah terbiasa ....

Alunan gitar Kapok yang cempreng itu tertutupi oleh suara bagus. Sesekali mereka bernyanyi bersama di momen yang pas. Pecahan suaranya terdengar indah. Lagu pilihan si pengamen memang sempurna. Pas dengan pertanyaan yang belum bisa ku sampailan kepada Tia. Aku pandang Tia. Tia juga pandang aku. Kami senyum senyum kecil.

Senyuman Tia memaksaku menyimpan tanya itu. Aku tak mau bicara soal rasa. Aku mencintai Tia. Itu urusanku. Dan bagaimana Tia kepadaku. Itu urusan Tia. Sekarang aku pacar Tia. Yang ku bisa menyimpan tanya itu dalam-dalam. Dan aku akan bersama Tia sebaik-baiknya, semampu-mampunya.

Lagu sudah habis. Kuberi pengamen itu seribu. Dia senyum dan pamit. Aku senyum tapi tidak pergi. Aku sama Tia. Pengamen itu sama temannya. Pergi kemana entahlah, itu bukan urusanku.

Aku diam. Tia juga. Kami sama sama memandangi monumen buatan belanda itu. Angin sepoi-sepoi mengoda rambut Tia. Sesekali dia merapikannya. Menatanya. Di selipkan di telinga agar diam saja. Tapi rambutnya bandel. Masih saja pergi-pergi kewajah.

Matahari sudah sedikit ke bawah. Cahayanya jatuh di lantai taman yang sedikit basah karena rinai. Mematul kemuka Tia. Seperti pertamaku melihatnya. Barangkali moment itu adalah kenganan abadi yang kusimpan di hati. Warnanya, aromanya, perasaan dan keindahan kala itu masih tersimpan.

Tia begitu lembut saat kupandang. Setidaknya aku yakin dia masih manusia. Meski sudah beberapa kali sepatunya memukul kepalaku. Namun semua aku rasakan seperti sebuah permainan di dalam kegugupan. Kamu tahu. Tak semua orang bisa bersembunyi dalam gugup. Kadang dia menjadi orang yang diluar kendali. Seperti juga aku yang gugup disaat bersamanya. Namun gugupku, aku implementasikan dengan diam kaku di. Begitupun Tia. Tia slalu tersipu dan tersenyum. Entah bagimana perasaannya, aku yakin dia tetap akan gugup dalam kondisi berdua.

Matahari mulai tenggelam. Sudah waktunya pulang. Naik bus di perempatan jalan dan turun. Kami berjalan menyusuri kota kecil lagi. Tentu dengan bungkusan plastik belanjaan. Lampu jalan sudah nyala. Hari mungkin gelap. Tapi aku dan Tia masih sedang asik asiknya. Kami bercanda berdua. Tersenyum berdua. Aku dan Tia bahagia. Selalu saja dia menggengam tanganku. Serasa tak ingin pergi. Aku tahu kalian mungkin anggap aku kepedean. Tapi itulah nyatanya perasaanku. Di persimpangan depan rumahnya kami berpisah. Kubilang untuk mengantar sampai depan rumah. Dia bilang tidak usah. Aku jawab ya udah. Aku pergi dia pergi. Indahnya hari ini.

Aku diam sejenak. Aku mengulanginya dari awal. Aku bertemu, bertabrakan, berpacaran, mengunjungi tempat rahasianya, berkencan.... Ah tidak. Aku tak boleh larut. Aku ingin kepastian. Bukan aku egois dengan keinginanku untuk harus tahu kepastian hari ini. Namun aku tidak mau lagi terjaga dan bertanya sendiri.

Aku berbalik. Berlari. Semoga sempat bertemu Tia. Langkahku tak berhenti meski kakiku menginjak taik anjing. Aku berharap dia belum masuk rumah. Aku tak tahu rumahnya dimana. Aku sudah melewati persimpangan tadi. Namun tak cuma satu jalan setelah itu. Ada banyak gang. Aku hanya berlari mengikuti insting. Namun Tia tak aku temukan. Sudah tiga kali aku berputar. Namun juga tak bertemu. Aku mulai menyerah dan berbalik pulang hingga aku terkejut bunyi pecahan kaca yang keras.

Dari pagar rumah terlihat seorang perempuan yang aku kenal berlari. Aku mengejarnya. Hujan kembali turun. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin mengejarnya. Dia lari menuju sebuah ladang kosong. Dan berhenti. Aku kemudian terhenti. Tiaku menangis.......

Hujan sudah deras. Namun aku tak lagi peduli hujan. Aku terpaku berdiri. Tia menangis sejadi-jadinya. Dia berteriak sekeras-kerasnya. Ingin sekali aku mendekat. Lalu menghiburnya. Atau melindunginya dari hujan. Atau memberinya sapu tangan untuk menghapus air matanya. Namun bagaimana? Aku bukan pelawak yang humoris yang bisa membuat dia tertawa. Dengan apa aku melindunginya dari hujan. Bahkan hujan sudah masuk sampai ke pakaian dalamku. Apalagi memberinya sapu tangan seperti drama telenovela. Bahkan aku saja tidak punya sapu tangan. Kalaupun aku punya pasti juga sudah tidak perlu karena seluruh badannya juga basah.

Yang saat ini aku bisa hanya berdiri di belakangnya. Menemaninya menghempaskan kesedihannya. Aku tak ingin mendekat. Aku melihat Tia dari sisi yang berbeda. Dari sisinya yang rapuh. Dari sisi yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Bahkan orang duga sebelumnya.

Kamu tahu? Sebelum berlarut berdua dengan Tia. Aku sudah mencoba mencari tahu tentangnya. Dan itulah hal-hal yang membuat aku bertanya sendiri. Tentang tia dan perasaannya kepadaku sungguh Tia adalah gadis yang sering diam. Tak banyak bercanda dia. Dia hanya suka sendiri. Mungkin memang gadis tercantik di kelas tiga adalah miliknya. Wajahnya yang putih. Hidungnya mancung dengan mata bulat yang menawan. Alisnya senada dengan halus raut wajahnya. Dan kau harus tahu. Alisnya masih original saat itu. Tak ada alis sulam atau alis lukis. Banyak anak laki laki yang medekatinya. Namun berhenti seiring diamnya yang dingin. Aku yakin kamu tak percaya. Aku juga. Setelah apa yang kami lalui. Tak satupun sikap itu aku terima. Tia yang aku lenal adalah gadis yang energik dengan jutaan tenaga jahil yang sudah siap membuatku babak belur.

Tia berbalik. Dia mendapatiku dibelakang memandanginya. Sebentar dia diam lalu satu untaian langkah dia menuju kepadaku bersama tangisnya yang kembali pecah. Tia memelukku. Diderasnya hujan itu aku dan dia menjadi satu. Dua makhluk dimuka bumi yang cuek dengan dinginnya malam kota ini. Tuhan! Kali ini berikan aku kekuatan untuk menghapus sedihnya.

JOMBLO RADIKAL The Series  Vol 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang