Episode 18 - Maret itu

161 8 0
                                    

Aku sedang asik belajar gitar. Sore itu angin bertiup cantik. Diselingi adiku yang lagi seru serunya mencoba motor matic . 2007 bagiku memang tahun yang romantis. Aku bertemu Tia. Punya telepon baru. Dan juga ayah membeli matic juga. Suatu tahun yang penuh teknologi bagiku.

Dulu matic tak banyak. Aku beruntung di komplek, keluargaku yang pertama punya. Dari sekian banyak motor, matic ,adalah revolusi motor yang menajubkan. Kita hanya memakai gas dan rem. Tidak ada gigi, tidak ada kopleng. Semua hanya dengan gas. Baik mendaki menurun atau jalan datar tinggal gas.

Aku sering pergi dengan matic ayah. Ada untuk bermain, atau berbelanja. Tak jarang aku dapati orang orang mengelus matic ku. Aku hanya senyum dan merasa sombong. Ternyata ini rasanya punya sesuatu yang luar biasa bukan main.

Matic adalah inovasi baru dalam roda dua. Namun sebagai masarakat pedalaman sumatera, rasanya tidak bisa menerima mentah mentah. Apa lagi pak Malin. Dia begitu aneh dengan motor baru itu

"Cuma gas? Bagaimana bisa mendaki silaing? " Katanya di warung kopi
"Wii pak malin. Orang jepang tentu sudah memikirkannya"
Jawab teman-teman yang lain
"Motor pak Labai yang sudah ada giginya saja. Kesusahan mendaki. Apa lagi motor tak bergigi?"
Jawab pak malin tertawa

Lalu aku muncul di depan kedai kopi itu. Pak Labai keluar dan melihat motorku. Di elusnya, di siginya dari segala arah.

"Cobalah pak!" Kataku. Pak labai antusisas mencobanya. Beliau naik dan menstater motor.

"Kenapa tidak menyala?" Tanya Pak Labai ke aku.

"Standar motornya pak. Dia tidak menyala kalau standarnya masih turun." Jawabku.

Benar rupanya motor itu bisa menyala.

Senang rasanya bila sesuatu yang kamu punya adalah hal baru. Begitupun teknologi dari Jepang ini. Adalah hal baru bagi kami di pedalaman sumatera.

Dengan matic aku ajak Tia jalan jalan. Tentu senang bisa menyisir kaki Gunung Marapi dengan santai. Tia tampak senang. Aku juga senang.

Kami menyulusuri sampai ke Pagaruyung. Pusat kerajaan kuno penguasa Sumatera Tengah. Lalu sampai ke Danau Singkarak. Menikmati sore yang indah dengan semangkuk mie rebus dan teh botol.

Bahagia itu sederhana bagiku. Begitupun oleh Tia. Sayang tak ada kamera waktu itu untuk mengabadikan keindahan hari itu.

Tentu aku belum bisa memakai motor ke sekolah. Namun setidaknya hari sabtu dan minggu aku bisa pakai. Dengan itu aku sudah cukup senang.

Tapi aku tidak menceritakan motor, sore itulah musibah datang. Di saat aku bermain gitar tiba tiba badanku oleng. Aku tidak sakit, memang bumi yang berguncang. Aku lari, seluruh orang juga lari. Menuju tanah kosong didepan rumah.

Gempa pertama tidak begitu keras. Disini memang suka gempa. Tanah kami rawan untuk itu. Aku masih di lapangan dan duduk. Namun goncangan lebih besar terjadi. Rumahku berlubang. Dindingnya rubuh menampakan isi kamar dan ruang tamuku. Hari itu bencana yang tak bisa aku lupa. 6 maret 2007.

Ibuku histeris. Ayah mencoba menenangkannya. Sementara aku menggigil. Bukan karena dingin. Tapi aku ketakutan.

Rumahku tal bisa dihuni. Memang bagian depannya yang rusak. Namun pondasinya tidak aman. Beruntung warga disini baik. Mereka membuatkan kami pondok lecil. Cuma 4 kali 3 meter. Kami menginap disana. Dan itu nyaris tiga bulan.

Gempa ini mengerikan bagiku. Teman ibuku juga jadi korban. Meninggal karena tertimpa dinding. Beruntung aku masih menikmati nyawa anugrah tuhan. Dinding itu persis roboh dimana aku duduk bermain gitar. Tuhan masih izin aku tinggal dibumi.

Dan Tia. Aku tak dapat kabar hari itu. Jaringan hilang. Aku tak bisa komunikasi. Bahkan 3 hari. Aku ingin kerumahnya. Namun tak bungkin sekarang. Nanti saja kalau kondisi sedikit tenang.

Sebelum dibuat pondok kami bersama tidur di barak. Bersama warga lain aku tidur di terpal yang dingin. Pondok dibuat seadanya. Namun bagiku itu adalah bantuan yang tak bisa aku balas budinya.

Besoknya aku pergi keluar. Banyak rumah yang roboh aku lihat. Banyak sekali barak pengungsian di bagun. Aku sempat ke tempat Tia. Kulihat tak apa apa. Aku ingin tahu bagaimana Tia. Namun aku takut. Masih segan rasanya kerumah perempuan.

Sekolah diliburkan. Bahkan seminggu. Aku juga sibuk membersihkan puing rumah. Tentu hati-hati sebab pondasi lain masih tidak stabil. Banyak sekali yang harus aku angkat. Seharianpun tidak cukup kurasa.

Bantuan datang. Berupa beras dan mie instan. Pak Walikota mendatangi komplekku. Juga mensurvei kondisi disini.

Hal yang menyedihkan adalah berasnya. Sungguh sulit memakannya. Keras dan berbau. Aku hanya makan karena lapar. Namun di hati aku menjadi bersukur. Bagaimana aku bisa makan beras yang enak. Sedangkan beras ini dimakan orang sehari hari.

Bencana juga anugrah. Setidaknya dibalik itu ada hikmah.

Lampu juga mati. Tak hidup bahkan seminggu. Kami tidur dalam gelap. Pemuda kampung juga berjaga-jaga. Banyak penjarahan meraja lela. Aku juga ikut berjaga.

Sungguh terkutuklah bajing loncat itu. Beraksi disaat orang susah. Menjarah dari rumah kerumah kosong yang terpaksa di tinggal sementara. Bila saja aku bertemu. Maka akan kukuirim dia keneraka

Dan paling kubenci dari itu adalah Tia. Aku tabah bila harus makan beras bantuan. Aku bisa tabah tidur di terpal dingin. Aku tabah harus berjaga. Namun tiga hari kemudian jaringan membaik. Dan pesan pertama yang aku dapat

"Aku mau putus."


JOMBLO RADIKAL The Series  Vol 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang