Episode 20 - Wisata Bencana

182 9 5
                                    

Seseorang diluar sana kehilangan seorang ayah. Juga ada kehilangan suami. Sedangkan ibuku kehilangan seorang kawan. Dia kawan baik ibuku. Suami dari kawannya juga. Begitu banyak kehilangan untuk satu kematian.

Aku juga pernah bertemu beliau. Dia seorang dosen. Suka tertawa dan mudah senyum. Rumahnya disebelah sekolah seni. Rumahnya banyak karya seni. Lukisan, seni rupa, macam macam ornamen. Bagus sekali.

Oleh ayahku, kami diajak berkeliling. Aku tak bisa menyebutkannya jalan-jalan, piknik, liburan atau nama umum untuk bertamasya. Semua untuk konotasi bersenang-senang melihat pemandangan yang indah. Aku juga tidak ingin kejam untuk menyebut ini "wisata bencana". Tapi kita samakan presepsi kita untuk menyebutnya berkeliling. Terserah apa kamu setuju tapi ini tulisanku.

Aku dengan saudaraku, anak dari adik ayah yang juga ikut. Sedang ayah dan ibu bersama motor plat merah pinjaman pemerintah. Tujuan kami adalah suatu nagari di tepian danau. Nagari adalah sebutan kami pedalaman Sumatera untuk suatu wilayah. Bisa di sebut nagari itu sama dengan desa.

Kami menyusuri jalan kecil, cukup untuk satu mobil. Melewati sawah yang hijau. Lalu  melintasi Bukit Barisan. Mendaki lalu menurun. Orang BMKG bilang nagari itu pusat gempa. Dan benar. Nyaris aku tak melihat rumah yang "baik-baik saja" disana. Semua rusak. Dindingnya jebol. Pondasinya patah. Tak jarang aku melihat hanya tinggal atap. Dindingnya sudah berlipat di tanah. Aku merinding. Nyaris menagis. Tapi tak jadi karena malu. Di persimpangan pemuda sudah siap dengan kardus mie instan meminta sumbangan. Ayah selalu memberi. Tak tau berapa jumlahnya.

Memang sedih. Dibanding aku. Mereka lebih. Kulihat rumah mereka yang rata dengan tanah. Meningalkan atap segitiga. Seperti kemah pramuka. Sementara mereka tinggal di atap itu.

Kami berjalan hingga tepian danau lalu kembali menuju pulang. Melewati jalan lain yang lebih besar. Melintasi kampung halaman Hayati. Di jalan pendakian aku melihat sebuah rumah gadang. Bersila manis di tepian kaki gunung merapi. Aku tahu rumah itu. Jika kekiri lalu setelah simpang. Itu adalah rumah Tia. Oh, aku jadi baper. Bayangan masa indah dengan Tia otomatis berputar di otakku. Sial kamu Roy! Situasi seperti ini masih sempat-sempatnya juga untuk baper.

Kami tiba sebelum magrib. Ibu yang kecapean lansung tidur di tenda. Ayah ke pos ronda bergabung dengan kumpulan bapak bapak. Aku ke warung. Makan roti.

Bencana itu sungguh tragis. Pedalaman Sumatera muncul di media. Bergantian dengan ibukota yang juga banjir. Mungkin direktur media bingung mau terbitkan yang mana. Tapi aku tidak peduli itu. Bahkan tidak tahu karena televisi juga tak hidup.

Ini hari kelima dari gempa. Sebagian tetangga sudah berani pulang. Tapi sebagian tetap di tenda. Aroma nasi bantuan sudah tercium. Khas sekali baunya ketika tutup periuk diangkat. Seiring dengan bau mie instan yang sudag siap disajikan. Hati sudah menolak untuk makan nasi itu. Tapi lambung tak peduli dengan lidah dan gigi yang mulai trauma memakannya. Beruntung otakku bijaksana. Katanya, kita hanya sekali makan beras ini. Diluar sana banyak petani miskin yang makan nasi serupa ini setiap hari.

Kami kumpul bersama dan makan. Kulihat semua sudah tidak panik. Setidaknya di tenda ini tidak ada kehilangan satu nyawa. Kecuali aku yang sedang berduka kehilangan Tia. Tapi tak mungkin aku anggap itu bencana yang serupa. Walau rasa sakitnya sama. Tapi bagi budaya disini. Sakit patah hati adalah hal terbodoh yang dilakukan. Hal itu tabu. Bahkan seperti aib. Haram hal itu kamu bicaralan bahkan kepada orang tuamu.

Putri tak henti menghubungiku. Akupun juga. Meski tidak telfonan. Tapi aku suka. Setidaknya ada teman untuk berbagi.

Meskipun begitu. Aku yang bodoh tetap mengkhawatirnkannya. Bagaimana keadaan Tia. Tapi aku takut menghampiri rumahnya. Setiap jalan pengawasan di tingkatkan. Pemuda-pemuda kampung siaga melihat orang berlalu lalang. Sudah banyak terjadi penjarahan oleh orang yang tidak di kenal. Siapapun orang baru akan diintrograsi. Aku tak mau juga, saat diintrograsi harus jujur kesana untuk meminta penjelasan kenapa dia memutuskan aku. Memalukan sekali. Tapi yang lebih aku takutkan, aku belum siap bertemu Tia.

JOMBLO RADIKAL The Series  Vol 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang