Munculnya Sang Putri (2)

2.3K 169 2
                                    

Si gadis memutar bola matanya. Ia mendapati sesosok tubuh tak bernyawa tak jauh dari tempatnya berdiri. "Kau melakukan kesalahan fatal!"ucapnya dengan suara lembut tapi penuh penekanan.

Detik berikutnya, si vampir terjengkang ke belakang. Tubuhnya menubruk dinding hingga terbentuk bekas seukuran tubuhnya. Si gadis tersenyum kecil. Ia menepukkan tangannya dan kemudian mengibaskan rambutnya yang begitu halus.

"Vampir!" Satu kata yang keluar dari mulut Brian menatap si gadis yang masih memunggunginya.

Si gadis jelas mendengar panggilan yang ditujukan padanya. Ia berjalan beberapa langkah. Lalu mengulurkan tangan. Seketika dua makhluk sejenis dengannya menggunakan jubah hitam muncul. Hanya beberapa detik mayat si gadis dan si vampir yang merintih kesakitan menghilang.

"Aku minta maaf karena hal ini." Si gadis belum berbalik. Ia terlihat menunduk dan kedua tangannya mengepal. Sejenak gadis itu berjongkok dan mengambil sesuatu yang berada di lantai. "Ini milikmu bukan?"

Brian tahu sekarang siapa gadis yang datang itu. Awalnya ia ragu dengan jati diri si gadis. Namun ketika mendapati wajah cantik nan putih dengan manik mata merah dan bibir tipis semerah darah tersenyum padanya Brian mendengus. Ia membuang wajah dan berjalan mengambil ponselnya yang disodorkan si gadis.

Tanpa mengucapkan kata apapun, Brian pergi masuk ke pintu kafe kembali. Meninggalkan si gadis yang berdiam di tempatnya.

Si gadis tambah mengeratkan kepalannya. Hingga lantai yang ia injak sedikit retak. Ia menggigit bibir bawahnya yang merah. Matanya merah menyala. Tersentak. Si gadis melihat kakinya. "Ya ampun! Aku merusaknya!!!"teriaknya heboh.

Ia berjongkok dan menyentuh lantai semen yang sedikit hancur. Matanya masih menyala. "Serius! Aku tidak mampu menahannya! Darahnya..."

Si gadis menghilang dalam hitungan detik.

Tidak siapapun di sana lagi. Kecuali sosok pengintai yang memperhatikan semenjak si gadis datang ke sana. Sosok bermata kelabu.

*___*

Brian berjalan sambil menekan-nekan pundaknya. Tubuhnya terasa sangat pegal. Bosnya, Meddy benar-benar murka padanya. Ia benar-benar marah pada Brian sehingga Brian harus bekerja lebih beberapa hari ini. Dan hal itu membuat tidurnya begitu nyaman namun berakhir dengan tubuh yang penat di pagi harinya.

Brian memasukkan kedua tangannya ke saku. Ia berjalan sambil melewati pintu gerbang sekolah yang dipenuhi para vampir dan manusia bangsawan. Sekolahnya, SMA De Noir. Salah satu sekolah termahal di dunia. Sekolah yang berlokasi di salah satu kota tua ini, Kota Oldir.

Cepat, Brian melangkahkan kakinya melewati segerombolan vampir. Sedari dulu ia tidak pernah suka dengan kaum vampir. Jauh sebelum ingatannya yang menghilang. Jiwanya membenci sosok vampir.

Namun, apalah daya seorang Brian. Ia harus bersyukur dapat bersekolah di SMA De Noir. Kalau saja beasiswa yang sangat diinginkan orang sepertinya melayang, mungkin kesempatan untuk bersekolah untuk Brian tak akan ada.

Lalu apakah Brian memiliki teman? Apakah ia menjalin persahabatan di sana? Tidak! Seorang Brian tidak menginginkan berhubungan dengan para bangsawan penjilat dan vampir-vampir yang hina di matanya. Ia akan bersikap layaknya nyamuk di sekolah itu. Setidaknya hingga ia lulus dan menyandang pendidikan sebagai seseorang yang menamatkan tingkat SMA.

Tiba-tiba kehebohan tertangkap oleh telinga Brian. Tanpa perlu berbalik untuk melihat Brian telah tahu. Ia sangat tahu apa yang menjadi penyebab semua siswa SMA De Noir histeris tidak karuan. Apalagi kalau bukan kedatangan san vampir bangsawan. Paling disegani. Paling dihormati. Dan mungkin paling kuat diantara vampir lainnya. Karena si vampir agung membawa darah murni keturunan vampir.

Si gadis yang disambut histeris baru saja keluar dari mobilnya. Ia tersenyum sembari menyapa siswa dan siswi yang berteriak untuknya. Gadis itu berjalan pelan. Rambutnya yang panjang dan halus bergerak pelan seiring langkahnya yang anggun. Sinar mentari pagi membuat helaian halus rambutnya bersinar. Wajahnya yang putih bak porselen terlihat semakin menawan terkena cahaya pagi yang hangat.

Vampir tidak lagi makhluk malam. Entah apa yang terjadi di masa dahulu. Semua vampir mampu berkeliaran di bawah teriknya matahari. Dan itulah salah satu faktor manusia tak mampu melawan kuatnya seorang vampir. Wajah rupawan? Kalian salah. Tidak semua vampir memiliki pesona sekuat itu. Mereka sama dengan manusia. Tak ada bedanya.

Bagaimana dengan umurnya mereka? Ya, mereka akan selalu muda. Umur mereka berhenti ketika menginjak usia delapan belas tahun. Tahun itu menjadi tahun yang panjang dengan wujud yang muda. Walaupun telah hampir berumur satu abad. Namun vampir masih memiliki wajah yang muda.

Brian yang melamun berjalan beriringan dengan sang putri vampir. Tanpa Brian sadari si putri vampir menoleh. Menatap Brian dengan manik matanya yang merah. Hening. Brian masih terlarut dengan lamunannya. Hingga suara berdehem seseorang mengangetkannya. Brian menoleh dan segera membuang muka ke arah lain. Ia berjalan dengan langkah seribu. Menjauh dari si putri vampir.

Si putri vampir hanya menatap punggung Brian. Ia mengangkat tangannya dan menempelkan ke dada. "Jika terus seperti ini aku tidak akan mampu menahannya."

"Anda mengatakan sesuatu nona Lucy?"tanya seorang gadis vampir yang menemani si putri di sekolah. Sesungguhnya ia adalah pelayan sang putri.

"Tidak! Ayo kita ke kelas."ajak Lucy dengan senyum manisnya. Mereka melanjutkan tujuan mereka menuju kelas khusus. Kelas yang hanya dimasuki oleh vampir bangsawan. Sedangkan manusia bangsawan akan berada di kelas regular. Dan laki-laki seperti Brian? Berada di kelas non regular.

Itulah Lucy Smith. Seorang vampir yang disegani. Kecantikan yang tiada tara membuat ia semakin dipuja. Banyak vampir bangsawan ingin meminangnya. Namun, mereka enggan karena Lucy jelas telah mengumumkan kalau ia tidak akan menerima pertunangan apapun. Apalagi sebuah pernikahan.

Ayahnya, Antonius Smith jelas menyerahkan kepada putri semata wayangnya.

*___*

"Nona Lucy sangat cantiknya..."

"Iya. Dia selalu cantik apapun yang terjadi..."

"Setiap hari selalu tampil mempesona..."

Brian menghela nafas kasar. Posisinya yang duduk paling belakang bagian sudut kelas sangat jelas mendengar perbincangan tiga siswi yang berada tak jauh darinya. Setiap hari ia akan mendengar mereka membicarakan hal yang sama. Seorang nona vampir yang cantik. Bagi Brian itu tak penting. Statusnya sebagai vampir saja membuat Brian membenci gadis itu.

"Dasar! Tukang menggosip. Apa tidak ada pembicaraan lain selain nona muda itu?"ucap Brian pelan. Ia menopang dagu dan kembali membaca barisan kalimat buku yang terbentang di hadapannya.

"Aku dengar banyak pria tampan yang ingin meminang nona Lucy..."

"Benar! Namun semuanya ditolak sebelum meminang..."

"Wahh! Nona Lucy memiliki kriteria yang sempurna sepertinya..."

Brian semakin kesal. ia sengaja membanting pena ke meja dan merogok sesuatu di saku tasnya. Tiga gadis yang tengah bercakap menoleh sesaat namun membuang muka. Tidak peduli dengan Brian. Mereka melanjutkan aksi mereka.

Brianmengeluarkan sepasang handsfreeberwarna hitam dan menempelkannya ke telinga. Kemudian memutar lagu yang ada diponselnya. Setidaknya ia tidak mendengar pujian maupun berita tentang vampirmanapun.

Queen Of Midnight (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang