Sesuai dengan kesepakatan. Di minggu pagi yang berangin Brian keluar dari rumah. Ia terlebih dahulu telah meminta izin pada pemilik kafe Meddy. Namun Brian tak ingin kehilangan gaji di hari minggu itu. Hingga Lucy dengan sedikit senyumnya menambahkan kesepakatan. Ia akan membayar Brian untuk hari minggu itu.
Awalnya Lucy menawarkan gaji yang berkali lipat dari pada pekerjaan Brian di kafe. Namun laki-laki bermanik biru itu menolak. Ia ingin tetap bekerja di kafe Meddy. Dan ia hanya meminta mengganti bayarannya di hari minggu.
Bukan karena Brian tidak tergiur dengan uang yang sangat ia butuhkan. Hanya saja ia tidak ingin terikat lebih jauh dengan nona vampir tersebut. Ia tidak ingin terlalu terlibat dalam situasi si vampir yang sesungguhnya dibenci dari relung hati terdalam Brian.
Disinilah Brian. Berdiri di sebuah pagar rumah yang tinggi. Rumah termewah yang ada di kota tersebut. Bukan. Rumah yang tak akan pernah kau temui dimanapun karena keindahannya. Ini, satu-satunya di muka bumi. Keluarga terpandang. Si nomor satu. Keluarga Smith.
Dua penjaga pintu gerbang menatap Brian dari atas hingga bawah. Dari mata merah mereka jelas kalau penjaga tersebut merupakan kaum vampir. Brian mengangkat alisnya mendapati dirinya yang akan masuk ke sarangnya si vampir. Dan satu lagi. Ia takut akan si tuan rumah. Antonius Smith. Ayah Lucy. Si penguasa yang menakutkan. Sebenci-bencinya Brian terhadap kaum vampir namun ia tak bisa bilang tidak takut dengan laki-laki tinggi dan kejam itu.
"Siapa kau?"tanya salah satu penjaga.
Brian diam. Tak menjawab pertanyaan itu.
"Kau?? Manusia rendahan!!"suara penjaga yang lain meninggi. Mereka menatap tajam Brian. Dan sinar merah jelas terpancar di kedua mata mereka.
Brian berdecak. Ia menghentakkan kaki sekali. "Tanyakan saja pada nona kalian."balas Brian.
"Kurang ajar!!"penjaga memaki.
"Berhenti!" Perlahan gerbang setinggi dua meter terbuka. Terlihat sosok gadis bergaun abu-abu panjang tanpa lengan berdiri. Senyumnya merekah. Rambutnya yang panjang jatuh begitu saja. Tidak seperti penampilan yang biasa dilihat Brian. Gadis itu selalu menggunakan topi di kepalanya.
"Nona!" Serentak semua penjaga yang berada di gerbang menunduk hormat.
Lucy berjalan anggun. Mendekati Brian. "Nah Brian. Ayo kita masuk."ajak Lucy santai.
Brian mengekor di belakang Lucy. Kedua matanya mengawasi si penjaga yang masih menunduk dalam. Brian mendengus. Ia sengaja mengarahkan hal tersebut pada mereka.
Ketika Lucy dan Brian menjauh barulah beberapa penjaga tersebut mengangkat kepala. "Sialan manusia itu."rutuk salah satu penjaga.
Brian dan Lucy berjalan menuju kamar mewah yang pemiliknya adalah nona muda tersebut. Dari belakang Brian bisa melihat rambut indah panjang terurai milik Lucy bergerak pelan. Sejenak Brian terkesima dengan sosok gadis anggun itu dari belakang. Namun bisikan beberapa pelayan membuat perhatiannya teralih. Di sepanjang perjalan, Brian melihat beberapa pelayan berbisik sambil melihat ke arahnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Brian tak bisa mendengar sedikitpun.
Tiba-tiba sebuah keramik antik berwarna putih retak dan terjatuh. Keramik tersebut hancur berkeping-keping. Sontak semua pelayan yang berada di sekitar sana ketakutan dan langsung bersujud. Jelas raut wajah mereka pasi.
Brian juga terkejut. Laki-laki itu sempat menghentikan langkahnya ketika melihat keramik tersebut telah berserakan di lantai. Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada Lucy. Terlihat gadis itu mengibaskan rambut panjangnya.
"Pasti ulah dirinya."lirih Brian.
"Memang begitu."balas Lucy.
Brian terkejut. Gadis itu mampu mendengar suaranya. Ia menggelengkan kepala mendapati kenyataan itu. Berbahaya. Gadis ini berbahaya. Brian berpikir bahwa ia harus hati-hati. Pendengaran Lucy begitu jeli. Brian menetapkan bahwa ia harus berbicara hal seperti itu di dalam hati.
Beberapa menit, Brian telah berdiri di sebuah pintu berukitan naga berwarna silver. Pintu mewah tersebut terbuka sendiri. Lucy segera masuk bersamaan dengan Brian yang mengikuti dari belakang. Begitu mereka berdua telah berada di dalam. Pintu besar tersebut kembali tertutup dengan sendirinya.
Begitu mudah baginya membuka dan menutup pintu? Pikir Brian dalam hati. Ia mengedarkan pandangan. Sungguh. Kamar yang besar dan sangat mewah. Barang-barang yang tertangkap di mata Brian bukanlah barang murahan. Semuanya berkualitas tinggi yang mungkin hanya ada satu di dunia. Nona kaya. Pikir Brian lagi.
"Apa yang akan kita lakukan?"tanya Lucy. Gadis itu telah duduk di kursinya.
Brian menoleh. Ia menyentuh dagunya sambil berjalan mendekati si gadis. Seperti yang dilakukannya sebelumnya. Laki-laki itu langsung duduk tanpa dipersilahkan sang tuan rumah.
"Sepertinya kamu memiliki pemikiran yang berbeda dengan yang lain."ucap Lucy.
"Tentu saja. Aku bukanlah orang yang akan memuja seorang vampir walaupun ia begitu mempesona dan menawan."
Lucy tersenyum kecil. Sedikit, terdapat rona merah di wajahnya yang putih pucat. Gadis itu senang dengan pujian Brian yang secara tidak langsung tersebut. "Terima kasih."
"Untuk apa?"
"Atas pujiannya." Lucy mengangkat tangan dan mempersilahkan Brian meminum hidangan teh di meja. Tak lupa di dekat cangkir tersebut juga terdapat beberapa kue manis.
"Itu bukan pujian." Brian kembali mengedarkan pandangannya. "Hidupmu sangat mewah." Komentar Brian dengan semua barang di dalam kamar tersebut. Banyak barang berkelas yang tak akan mudah untuk dimiliki. Jangankan untuk dimliki, sekedar melihat jauh saja mungkin mustahil.
"Hmm...aku bisa mengatakan iya untuk untuk itu."balas Lucy.
"Jadi...kau ingin melakukannya sekarang?"tanya Brian tanpa mengalihkan perhatiannya pada keadaan kamar Lucy.
"Itu jika kamu mau."balas Lucy.
"Baiklah." Brian bangkit dari kursinya berjalan mendekati Lucy. Ia menyodorkan lengannya. "Hanya tangan ini saja. Tak lebih."ucap Brian.
Lucy mendongak menatap Brian yang terlalu tinggi dari posisi duduknya. Ia memandang wajah Brian dan lengan yang menggoda itu secara bergantian. "Sekarang?" Lucy mencoba memastikan sekali lagi tawaran Brian.
"Kau ingin membuatku berubah pikiran?"Brian balik bertanya.
Lucy mengangguk pelan. Ia meraih tangan Brian dan menatap kulit yang menyelimuti aliran darah yang menggoda itu. Perlahan dua taring putih nan runcing mencuat dari balik bibir tipis Lucy. Matanya berubah merah menyala. Ragu, Lucy mendekatkan mulutnya ke kulit Brian. Detik berikutnya taring itu menembus permukaan kulit Brian.
Brian sedikit merintih merasakan rasa sakit ketika kulitnya dirobek oleh taring Lucy yang sebenarnya sangat halus. Ia tak menyangka pada akhirnya ia melakukan hal itu. Memberikan darahnya pada kaum yang sangat dibencinya. Namun, semua ini harus ia lakukan. Demi mencapai keinginan kuat yang membara di hidupnya selama ini. Ia harus melakukan semua ini.
Mata Lucy semakin menyala begitu merasakan darah manis melewati tenggorokannya. Seketika rasa haus yang menyelimuti dirinya menghilang. Ia belum pernah merasakan rasa manis seperti ini. Ia belum pernah mencoba darah yang mampu membuatnya gila jika saja ia tak menahan dirinya. Mungkin Brian telah mati kehabisan darah.
Brian memperhatikan Lucy yang menyesap darahnya. Matanya terfokus pada rambut halus abu keunguan milik Lucy yang menjuntai. Beberapa helai rambut gadis menawan itu jatuh mengenai tangannya. Seketika Brian mengangkat tangannya yang bebas dan mengelus pucuk kepala Lucy. Kemudian mengambil beberapa helai rambut itu menggulungnya.
Rasa nyaman menjalari kepala Lucy. Belaian lembutBrian membuatnya nyaman. Perasaan asing menelusup di hatinya yang dingin.Seketika rasa hangat menjalari dadanya. Mendadak, Lucy menarik taringnyalembut. Ia terdiam sambil menghapus sisa darah yang menetes di bibirnya.Kemudian mendongak kembali. Menatap mata biru Brian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Of Midnight (End)
Vampire[ Romance - Vampire] Di dalam nadiku, mengalir darahmu. Di dalam nadimu, mengalir darahku. Aku membawa darahmu dan kamu membawa darahku. Kita telah terikat oleh takdir tak kasat mata. "Aku sangat membencimu. Semua bangsamu. Semua ras yang kau perjua...