Lucy yang sudah pulih. Berjalan ke luar kediamannya. Setelan gaun putihnya terlalu mencolok dengan kulitnya yang pucat. Tak lupa gadis itu juga menggunakan topi yang lebar senada dengan gaunnya. Ia melangkah menuju sekolah.
Langit sore menemani perjalanan Lucy. Sebelumnya pelayan pribadinya berniat menemani Lucy, namun Lucy menolak. Ia tidak ingin ditemani oleh siapapun. Ia, butuh sendiri. Gadis itu terus melangkah menuju sekolahnya. Tidak satupun siswa yang terlihat.
Lucy tidak peduli. Ia terus melangkah menuju atap sekolah. Sesampainya di atap sekolah gadis itu berdiri sambil menatap langit yang terasa lebih dekat dibandingkan ketika ia menatap langit dari kediamannya.
"Brian..."panggil Lucy.
Lucy terhanyut akan suasana.
Beberapa hari berikutnya, Lucy kembali ke tempat yang sama. Di atap sekolah, menengadah menatap langit biru, merindukan sosok Brian.
Lucy teringat akan rasa nikmat begitu ia menghisap darah dari fovam. Ia sekarang paham. Mengapa para bangsawan ingin memiliki fovam di sisinya. Darah yang segar dengan sensasi menghidapnya langsung dari tubuh manusia benar-benar berbeda dari pada meminumnya lewat gelas.
"Wajas saja kalau mereka membeli fovam seperti itu."
"Tapi aku tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Manusia... butuh untuk dihargai."
Setelah mengucap kalimat itu Lucy teringat akan Brian. Sosok manusia yang sangat dihargainya. Disayanginya. Bahkan Brianlah satu-satunya di dunia ini bagi Lucy. Jika Brian tidak ada maka dunianya terasa hambar. Seolah semuanya sangat membosankan.
Namun hari itu terlihat berbeda. Langit sore yang mulai berubah jingga terlalu lama terpapar di cakrawala langit. Sore terasa lebih panjang. Dan Lucy tidak terlalu menghiraukan perubahan langit tersebut.
Lucy masih asik menatap langit walau warna biru sudah beranjak menjadi orange. Ia memejamkan mata. Merasakan hembusan angin yang menyejukkan membelai wajahnya.
Tiba-tiba aroma yang sangat dikenalnya menggelitik. Ia merindukan aroma ini. Secepat kilat Lucy membuka mata. Menoleh ke segala arah. Mencari sosok yang selalu mengihiasi detik hidupnya.
Tak ada. Sosok yang sangat dirindukan Lucy tak kunjung terlihat oleh manik merahnya. Hingga akhirnya, ia melihat satu sosok laki-laki yang menengadah menatap dirinya yang berada di atap.
"Brian..."lirih Lucy. Air mata yang hangat mengalir melalui pipinya. Ia mendekap dada. Menangis dengan amat sangat. "Brian..."lirihnya lagi.
Sosok di bawah yang memperhatikan Lucy tertegun. Ia mengulurkan tangan. Seketika tubuhnya sudah berpindah mendekap Lucy di atas atap. Memeluknya dan menenangkan gadis yang juga dirindukannya.
"Aku menyayangimu Lucy."ucap Brian lembut.
Lucy membalas pelukan itu. Ia menangis tersedu-sedu sambil terus memanggil nama Brian. Ia merasa semua ini seperti mimpi. Namun sosok Brian yang terasa nyata memeluknya hangat membuatnya sadar bahwa kenyataan ini adalah hal yang indah.
"Aku juga. Aku juga. Aku juga Brian."ucap Lucy.
"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi Lucy."
"Aku ingin ikut denganmu. Kemanapun. Kemanapun kamu pergi Brian."
"Tidak boleh!"teriak suara asing.
Mereka berdua menoleh. Menatap Jason yang dilumuti kemarahan.
"Kamu tidak boleh pergi kemanapun Lucy. Dan Kau!!"Jason menunjuk Brian. "Kau akan menerima hukuman yang setimpal."teriak Jason.
Brian diam. Ia melepaskan dekapannya dan mendorong lembut Lucy ke belakang tubuhnya. "Tunggulah disini. Aku akan menyelesaikan semua ini cepat. Setelah ini, mari kita pergi sejauh mungkin."bisik Brian lembut sambil mengusap pipi Lucy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Of Midnight (End)
Vampire[ Romance - Vampire] Di dalam nadiku, mengalir darahmu. Di dalam nadimu, mengalir darahku. Aku membawa darahmu dan kamu membawa darahku. Kita telah terikat oleh takdir tak kasat mata. "Aku sangat membencimu. Semua bangsamu. Semua ras yang kau perjua...