Perasaan yang Aneh!

1.2K 96 0
                                    

"Hentikan ayah!!"teriak Lucy berlari menghampiri Brian. Gadis itu segera menolong Brian untuk berdiri.

"Jangan ikut campur Lucy!"suara Antonius meninggi. Menyadari situasi, Jason berpindah ke samping Lucy dan membawa gadis itu menjauhi Brian. Lucy memberontak.

"Kau memiliki nyali untuk seorang manusia rupanya." Antonius mengulurkan tangannya. Bersamaan dengan itu Brian tercekik dengan kedua kaki yang tidak menapak ke lantai.

Brian mencoba memerontak. Ia bahkan dengan sengaja mengeluarkan energi yang selama ini disimpannya.

Antonius terkejut. Kekuatannya sedikit melemah mengetahui perubahan dari lawannya. "Apa yang terjadi?"tanya Antonius dalam hati.

"Hentikan ayah! Hentikan! Aku mohon ayah!"teriak Lucy menggila. Jason terlihat kewalahan menahan Lucy.

Antonius seakan tidak mendengar teriakan putrinya. Ia hanyut dengan pikirannya tentang mainan yang berada di cengkramannya. Ia merasakan aliran yang aneh dari manusia yang sejujurnya tak tercium seperti manusia kebanyakan. "Siapa kau?"tanya Antonius lantang.

"Ayahhhh!!!"teriak Lucy dengan suara yang menggema. Seketika semua kaca dalam ruangan itu pecah. Jason terpental ke belakang. Sedangkan Lucy berdiri diantara Brian dan ayahnya. Gadis itu memperlihatkan mata merahnya yang menyala.

"Kau berani melawanku Lucy?"tanya Antonius.

Lucy terdiam. Berangsur-angsur matanya meredup dan kembali ke warna yang sebenarnya. Gadis itu menunduk. "Ayah, aku mohon. Lepaskan Brian. Aku... aku tidak akan menentangmu lagi."

Antonius mempertimbangkan ucapan putrinya. Laki-laki itu sekilas tersenyum kemudian menurunkan tangannya.

Lucy menghembuskan nafas lega. Gadis itu tahu, bahwa jika ia tidak bertindak cepat, maka nyawa Brian melayang. Ayahnya bukanlah vampir yang masih menghormati kaum manusia. Ayahnya bisa saja membantai siapapun yang ia anggap pengganggu dalam hidupnya. Lucy? Bukanlah tandingan ayahnya. Ia tak akan mampu melawan ayahnya sendiri. Darah dagingnya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Lucy tidak akan tega melawan ayahnya sendiri.

Antonius berjalan dan duduk di salah satu kursi sofa. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Lucy. Gadis itu dengan cepat membantu Brian berdiri dan membawanya pergi dari kamar itu. Bukan, rumah Smith. Brian harus keluar dari rumah Smith untuk saat ini.

Setelah mengantarkan Brian hingga gerbang, Lucy dengan cepat kembali ke kamarnya. Gadis itu berjalan sambil menunduk. Ia melihat ayahnya telah duduk santai dengan Jason di salah satu sisinya.

"Duduklah!"ucap Antonius disambut Lucy dengan patuh. "Aku melarangmu untuk bertemu dengan laki-laki itu. Aku tidak suka dengannya."lanjut Antonius. Lucy masih menunduk di kursinya. Ia masih menyembunyikan wajahnya. "Dan kau akan bertunangan dengan Jason!"

Bagai disambar petir. Lucy membeku. Darahnya seakan tidak mengalir lagi. Ia? Akan bertunangan dengan Jason? Hatinya terlalu sakit menyadari pernyataan itu. "Ayah..."lirih Lucy.

"Bukankah kau sudah berjanji padaku Lucy?" Tepat sasaran. Perkataan Antonius tak mampu dibantah oleh Lucy. Gadis itu tak bisa berkata apapun.

"Baiklah."Antonius berdiri. "Aku akan mencari tanggal yang bagus."ucapnya berjalan keluar kamar.

Lucy masih tertunduk. Wajahnya ditutupi oleh surai abu keunguan.

"Lucy."pangil Jason lembut. Laki-laki itu tampak hendak memeluk Lucy.

"Bolehkah aku sendirian untuk saat ini Jason?"Lucy melemparkan pertanyaan pada laki-laki itu.

Sejenak Jason bimbang. Ia tak ingin meninggalkan Lucy yang pastinya akan menangis. Karena ia tahu bahwa gadis yang dicintainya telah cukup lama ini mulai menaruh perasaan pada seorang manusia rendahan yang bernama Brian itu.

"Ku mohon Jason."ucap Lucy lebih lirih lagi. Suara terdengar tertahan. Jason tak tega. Laki-laki itu akhirnya mengangguk dan menghilang tiba-tiba.

Tinggallah Lucy sendirian di kamar. Gadis itu menoleh dan seketika pintu besar kamarnya tertutup rapat. Gadis itu kembali tertunduk. Ia berkali-kali menghela nafas panjang. Namun, detik berikutnya seketika air matanya pecah. Ia menangis sejadi-jadinya. Terisak hingga pilu menusuk relung hatinya.

Kedua tangannya terangkat. Menyembunyikan wajah sedih dan pilu. Berharap bahwa tangan itu dapat menahan tangisnya yang pecah. Tiada suara yang terdengar selain isakan tertahan. Lucy masih menangis di kamarnya.

*___*

Brian mencoba berbaring. Tubuhnya terasa ngilu. Bagaimana tidak? Beberapa menit yang lalu tubuhnya menghantam tembok, dengan kuat. Bahkan ia sempat tercekik dengan tangan tanpa bayang. Tanpa bersentuhan dengan dinginnya kulit sang Antonius Smith, Brian merasa sesak begitu lehernya dicengkram.

Brian menghela nafas panjang. Pandangannya menatap langit kamar yang putih. Kedua tangannya diluruskan. Ia kembali menghela nafas. Lagi. Ia berkali-kali mendesah.

Jangan menganggu tunanganku manusia rendahan. Kau tak pernah pantas untuk bersanding dengan kaum kami. Brian mengingat suara pelan Jason ketika laki-laki itu hendak manjauhkan Lucy darinya. Suara itu memang pelan namun terdengar begitu tegas di telinga Brian.

"Begitu rupanya."ucap Brian, menghela nafas lagi.

Entah kenapa Brian merasa aneh. Ia tak rela dengan pernyataan yang diikrarkan oleh Jason. Namun, ia tak mampu menjawab. Hak apa yang ia miliki hingga mampu membuat Jason melangkah mundur. Hubungan apa yang ia pamerkan pada Jason hingga laki-laki bangsawan itu tak mampu tersenyum dengan harga dirinya. Tak ada. Tak ada alasan khusus Brian.

Brian menyentuh dadanya. Entah mengapa hatinya merasa tak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. "Mungkin rasa tidak rela?"ucap Brian perlahan.

Brian mendengus. "Tidak rela? Mengapa aku merasa tidak rela? Memangnya apa hubungan kami berdua?" Terdiam. Brian hening dengan mata yang menerawang. Ia mempertanyakan pada hatinya. Sesungguhnya hubungan apa yang mengikat kita? Apakah aku memiliki rasa yang Jason pamerkan itu? Apa aku menyayanginya?

*__*

Brian berangkat ke sekolah seperti biasa. Namun, ia tidak langsung menuju kelas. Laki-laki bermanik biru itu sengaja duduk di dekat pagar beton taman sambil menatap ke gerbang masuk. "Aku yakin, gadis itu belum sampai di kelas."ucap Brian.

Lima belas menit sudah Brian duduk disana. Namun ia ekor matanya belum juga menemukan sosok gadis yang ia cari. Brian melirik jam tangannya. sepuluh menit lagi, bel masuk akan berbunyi.

Belum sempat Brian mengangkat kepalanya, suara gaduh terdengar dari arah luar. Cepat, ia mendongak. Matanya membesar dan mulutnya terkatup rapat. Rasa perih mencoba menjalari hatinya.

Sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di halaman sekolah. Dari kursi pengemudi tampak Jason membuka pintunya. Ia berputar kemudian membuka pintu di sisi lainnya.

Lucy awalnya enggan menyambut tangan yang disodorkan Jason. Namun, gadis itu tak bisa berbuat banyak. Tanpa senyum, ekpresi datar dan mata yang redup, gadis itu itu menyambut tangan Jason. Ia keluar dari mobil. Dan ya, sambutan pernghuni De Noir membahana. Mereka menggila melihat pasangan menawan itu.

Tentu saja tidak bagi Brian. Laki-laki itu hanya diam dengan seribu gejolak di hatinya.

Lucy menyadari keberadaan Brian. Gadis itu menoleh. Memandang laki-laki yang sebenarnya telah mengisi ruang di hatinya. Laki-laki yang mampu membuat hidupnya penuh warna walau ia tetap akan terjebak dalam jurang kegelapan selamanya. Tanpa Lucy mengizinkan, bulit hangat menetes di pipinya. Sadar. Gadis itu cepat-cepat menghapusnya. Ia menunduk dan menurut saja begitu Jason mengantarkannya.

Jason sadar perubahan sikap Lucy. Laki-laki yang telah siap dengan seragam De Noir menoleh. Matanya merah menyala. Hanya beberapa detik tatapan menakutkan itu. Karena Jason dengan sikap tidak peduli menggandeng Lucy dan membimbing gadis itu menuju kelas mereka.

"Mengapa laki-laki itu juga sekolah disini?"tanya Brian kesal sambil berdiri dan berjalan menuju kelasnya di sisi lain.

Queen Of Midnight (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang