Munculnya Sang Putri (4)

1.5K 117 0
                                    

Bukan Lucy namanya kalau gadis itu menyerah begitu saja. Ia tahu. Naluri vampir yang ia miliki membuatnya setengah gila. Pertama dalam hidupnya. Ia meminta darah seorang pemuda. Pertama dalam hatinya. Ia sangat ingin mencicipi cairan merah kental yang harum menggelitiknya.

"Brian! Kau harus menghidangkan makanan untuk meja nomor tiga belas."ucap salah seorang rekan kerja Brian.

Patuh. Brian mengambil nampan berisi pesanan untuk meja yang ditugaskan padanya. Matanya menatap lurus melihat dari jauh seorang gadis yang menggunakan dress coklat dengan punggung berurai rambut panjang. Surai indah itu berwarna abu keunguan dengan topi senada bajunya bernaung di atas pucuk kepalanya.

"Bukankah dia..."Brian mengerutkan dahinya. Ia menebak-nebak gadis bersurai abu keunguan di meja tiga belas itu. "Kau??!"

Lucy menyeringai. Ia bahkan mengerlingkan mata manja pada Brian. Kemudian ia menopang dagu dan tersenyum tipis memperhatikan Brian yang setengah kesal menghidangkan pesanan Lucy. "Terima kasih Brian. Aku senang kamu yang mengantarkannya."

"Uhh! Bukankah itu permintaanmu?" Brian berbalik dan bergegas pergi dari meja itu.

"Tunggu." Lucy menahan tangan Brian. Menggenggamnya erat.

"Apa?"tanya Brian jengkel.

"Apakah kamu tidak ingin memikirkan permintaanku?"

"Tidak perlu. Karena aku akan tetap menolaknya."

"Tapi..."

"Sudahlah. Awalnya aku mengira anda adalah nona yang sedikit bermartabat. Namun ternyata semua itu salah. Aku harus tahu. Vampir tetaplah vampir." Brian menghempaskan tangan Lucy. Laki-laki itu kembali ke ruang belakang. Ia menuju wastafel dan menepuk air yang tergenang di sana. "Sial! Sial! Sial!"rutuknya kesal.

Di mejanya, Lucy menatap datar pesanannya. Pandangan yang tak tentu arah itu lurus menatap segelas minuman dingin bersoda yang diantarkan Brian. Sejujurnya ia memang berselera untuk meminum air segar tersebut. Namun setelah melihat mata Brian yang begitu menyimpan kebencian, Lucy mengeluh. Ia menjadi kehilangan semua seleranya.

Lucy tahu semua ini salah. Ia tahu bahwa seorang manusia seperti Brian membenci dirinya yang berasal dari ras vampir. Ras yang haus akan darah. Tak bisa dipungkiri. Seorang Lucy Smith yang sangat menghargai manusia saja tidak mampu menolak harumnya darah yang mengalir di dalam diri Brian. Hingga ia harus memberanikan diri untuk meminta izin pada sang laki-laki itu.

Lucy menggigit ujung jarinya. Taringnya yang tajam mencuat hingga menusuk dan melukai kulitnya yang cantik itu. "Aku harus mendapatkannya." Mata Lucy merah menyala. Lidahnya menghisap habis darah yang menetes di ujung jarinya.

*___*

"Kau belum menyerah juga ternyata."sapa Brian begitu melihat seorang gadis cantik dengan setelan dress merah dan topi hitam polos.

Lucy tersenyum manis. Ia bersandar di pagar dengan melipat kedua tangannya.

"Hingga bertamu ke rumahku."lanjut Brian.

"Brian. Tolong pikirkan permintaanku. Aku akan menawarimu hal yang lain. Apa yang kau inginkan? Aku akan mengusahakannya."Lucy mengedipkan matanya berkali-kali.

"Berapa kali harus aku katakan padamu? Aku menolaknya!"tegas Brian.

"Brian!!" Lucy menahan Brian yang akan masuk ke dalam pagar rumahnya.

Sontak Brian menghempas tangan itu. "HENTIKAN!" nafas Brian memburu. "Aku...membencimu!" Puas mengatakan apa yang di benaknya, Brian melangkah cepat ke dalam halamannya. Kemudian membuka pintu dan masuk. Terdengar pintu utama rumah kecil Brian dihantam keras. Laki-laki itu benar-benar murka.

Lucy membeku. Ia menunduk dalam. Matanya yang merah menyala menatap ujung sepatu hitamnya. Terlihat manik indah itu berkaca. Perlahan, butiran bening melalui pipinya. "Aku...aku...tak akan mengganggumu lagi. Maafkan atas sikapku selama ini." Lucy terisak. Ia mengucapkan kalimat itu dengan penuh rasa iba. Detik berikutnya, sosok indah dan menawan itu menghilang.

Jelas, Brian mendengar ucapan gadis itu. Ia masih berdiri dan bersandar di pintu.

Malam semakin larut. Brian masih belum tidur. Ia berbaring di kasurnya dengan kedua tangan di belakang kepalanya. Matanya memperhatikan langit kamar yang berwarna putih. Di kepalanya terngiang ucapan Lucy beberapa jam yang lalu. Aku akan menawarimu hal yang lain. Apa yang kau inginkan? Brian mendesah. "Apa yang aku inginkan? Huh! Mana mungkin gadis itu menyanggupi permintaanku. Jika seandainya yang aku inginkan memusnahkan semua ras vampir? Apa dia sanggup? Jelas saja artinya ia membunuh semua keluarganya dan dirinya sendiri." Brian tertawa miris. Ya, jauh di lubuk hatinya ia menginginkan tidak ada yang namanya vampir di atas bumi ini. Jika saja ia memiliki kemampuan yang luar biasa, ia akan menghancurkan kerajaan biadab yang bergelimang darah itu. Jika saja...

Brian bangkit duduk. Ia berjalan menuju salah satu lemari kayu dan membuka laci paling bawahnya. Ia menggeser beberapa tumpukan buku hingga muncullah sebuah buku coklat yang terlihat sangat lusuh. Brian membuka buku tersebut. Halaman demi halaman ia balik. Ia sampailah ia di suatu halaman yang memuat kalimat yang entah berapa kali ia baca.

Makhluk yang membawa dosa dan kebaikan akan memiliki kekuatan yang setara dengan kaum bangsawan. Namun segel yang terkunci hanya mampu dibuka oleh kaum bangsawan. Kunci yang membuka neraka dan surga sekaligus. Dosa dan kebaikan.

Brian tak pernah mengerti maksud kalimat-kalimat yang ditulis tangan entah oleh siapa itu. Selama ini ia telah mencoba mencari apa maksud kata-kata yang aneh itu. Dan ia, tak bisa menemukan jawaban apapun.

Brian menutup buku tersebut. Ia meletakkan buku lamaitu ke tempatnya semula. Menghimpitnya dengan beberapa buku seperti sebelumnya.Lalu ia berjalan menuju kasurnya. Hendak tidur dan berharap waktu yang panjangini cepat berakhir.

Queen Of Midnight (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang