Perjanjian dan Kesepakatan (2)

1.3K 118 0
                                    

Istirahat siang.

Lucy duduk bersantai di tempatnya. Taman sekolah yang dipenuhi dengan kolam dan bunga. Hanya untuknya. Kolam itu diperuntukkan sekolah untuknya. Tiada siswa yang boleh bermain di kolam tersebut.

Sambil menikmati secangkir kopi hitam, Lucy bersandar. Ia memejamkan mata merasakan suasana yang terasa damai. Hatinya masih berkecamuk. Setidaknya itu yang akan ia lakukan untuk menenangkan hatinya. Tak jauh darinya, Natha, pelayan setia Lucy berdiri sambil mengawasi sekitar.

"Apa yang kau lakukan disini?"suara Natha membuat Lucy membuka mata secepat kilat. Ia mengenal aroma yang bahkan tanpa menumpahkan darahpun Lucy tahu siapa. Brian. Laki-laki yang membuat tidurnya tidak nyaman akhir-akhir ini.

"Brian?"ucap Lucy, terkejut.

"Bisakah kau mengatakan pada pelayanmu untuk menyingkirkan benda tajam ini?"tanya Brian membeku. Bagaimana tidak? Natha langsung mengarahkan kuku tajamnya pada leher Brian.

"Natha!"ucap Lucy memberik perintah.

Sontak Nantha menurunkan tangannya. Ia melompat dan berdiri di sisi Lucy.

"Aku ingin berbicara denganmu. Tapi..."Brian mengalihkan pandangannya pada Natha.

Seakan tahu maksud Brian, Lucy juga menatap orang yang sama, Natha. "Tinggalkan kami Natha."

"Tapi nona..."tolak Natha, keberatan.

"Natha..." ucap Lucy dingin.

Natha menunduk hormat, mundur beberapa langkah dan menghilang.

"Nah Brian! Apa yang akan kamu katakan?"tanya Lucy memperbaiki duduknya.

Brian berjalan mendekati Lucy. Ia duduk di depan Lucy walaupun Lucy belum mempersilahkan laki-laki itu.

Lucy tersenyum. Ia mengambil cangkir kosong dan menuangkan kopi hitam. Ia menyajikannya untuk Brian. "Minumlah."ucapnya lembut.

Brian mengangkat sudut bibirnya sebelah. Mengulurkan tangan dan mengangkat cangkir hendak meminumnya.

"Aku tidak menambahkan racun di sana."lanjut Lucy.

"Aku tahu." Brian menyesap kopi hitam yang terasa nikmat tersebut. "Memang kopi kelas bangsawan."puji Brian sambil meletakkan cangkir itu lagi.

Lucy tersenyum manis. Ia duduk baik menatap Brian. Seolah menunggu apa yang hendak diucapkan oleh Brian.

Brian menghembus nafas kasar. Kemudian menarik nafas dalam dan menatap lurus Lucy. "Aku telah mempertimbangkan permintaanmu."

"Benarkah?" Lucy tersenyum cerah.

"Tapi... aku memiliki persyaratan. Aku tidak akan memberikan darahku secara cuma-cuma. Aku meminta imbalan."

"Apa itu?"

"Darahmu!"

"Darahku?" Lucy terkejut. Pasalnya, posisi dirinyalah yang harus meminta darah seorang Brian. Namun mengapa laki-laki itu juga meminta darahnya. Tak mungkin bukan ia juga seorang vampir. Jelas saja, Lucy mencium aroma manusia di tubuh Brian. "Tapi Brian, darahku adalah racun bagimu."ucap Lucy.

"Itu bukan urusanmu."Brian menolak untk menjelaskan lebih lanjut. Ia masih menatap Lucy tajam. Meminta ketersediaan Lucy terhadap penawarannya.

"Untuk apa darahku bagimu?"tanya Lucy.

"Sekali lagi, bukan urusanmu!"Brian terus menolak.

"Apa kamu ingin meminum darah itu?"tanya Lucy lagi.

"Mungkin saja!"

"Tapi Brian, nyawamu akan terancam. Darahku bisa membunuhmu."

"Itu urusanku!"

Lucy terdiam. Ia menatap Brian sendu. Matanya jelas sudah berkaca-kaca. "Aku tidak ingin kamu mati Brian! Aku tidak ingin kamu menghilang. Aku tidak ingin membuat dosa dengan membunuh dirimu."isak Lucy.

Brian membuang muka. Entah mengapa ia tidak tega melihat Lucy seperti itu. Kata-kata Lucy menusuk di relung hatinya. Tidak ingin menjadi pendosa? "Akan aku pastikan darahmu tidak mengancam nyawaku Lucy. Dan sekali lagi. Itu adalah urusanku. Jadi... bagaimana dengan penawaranku?"tanya Brian kembali ke tujuannya.

Lucy tampak berpikir. Ia mengedarkan pandangannya ke sisi meja. Manik matanya menelisik setiap sudut permukaan meja. Jemarinya yang mungil mengetuk. Menciptakan getaran yang beraturan. "Baiklah. Aku terima penawaranmu." Akhirnya Lucy menerima kesepakatan yang ditawarkan Brian.

Brian tertawa sinis. Ia segera berdiri dan keluar dari taman itu. Namun ia berhenti sejenak. Berbalik dan mengucapkan sesuatu. "Aku lupa mengatakannya. Darahku hanya boleh diambil satu kali dalam seminggu." Brian kembali berbalik.

*___*

Brian kembali berbaring di kasurnya. Ia baru saja masuk ke dalam rumah setengah jam yang lalu. Walaupun lelah menggantung di pundaknya namun yang membuatnya menghela nafas panang berkali-kali bukanlah hal itu. Pikirannya yang melayang entah kemana membuat tubuhnya lelah. Bukan. ia teringat akan kesepakatan dengan si nona muda, Lucy Smith.

"Ahh! Tak ku sangka akan melakukan hal itu. Berbagi darah dengan vampir dan menerima darahnya yang membuatku jijik setengah mati."desah Brian.

Tiba-tiba laki-laki itu berbalik dan menjangkau buku tua yang berada di atas meja di samping tempat tidurnya. Ia membalik halaman demi halaman. Berhenti di halaman yang menjadi fokusnya selama ini. Makhluk yang membawa dosa dan kebaikan akan memiliki kekuatan yang setara dengan kaum bangsawan. "Dosan dan kebaikan..."Brian mengulang kalimat itu.

Malam yang panjang bagi Brian. Matanya mengawasi setiap bait kalimat buku kuno itu.

Berbeda dengan Lucy.

Gadis itu entah bisa disebut bahagia entah sedih. Ia hanya menghela nafas panjang berkali-kali sambil duduk di kursi di sudut kamarnya. Secangkir kopi hitam juga terhidang di depannya. "Mengapa aku merasa tidak senang? Bukankah harusnya aku bahagia bisa mencicipi darah yang manis itu? Mengapa..." Lucy bangkit dari duduknya dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ia berdiri di sisi pagar dengan kedua tangan berpegangan pada beton pagar. Kepalanya menengadah. Menatap rembulan yang bersinar terang. "Purnama."ucapnya perlahan.


Queen Of Midnight (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang