Duapuluh Dua

2.8K 194 66
                                        

Sssrrrh...

Semprotan yang keluar dari botol parfum menghantam tubuhnya.

Salsha sudah siap dengan dress berwarna peach selutut, dengan flatshoes berwarna senada yang kini ia kenakan. Juga dengan make up natural sederhana dengan tatanan rambutnya yang juga digerai sederhana. Cantik.

Cewek itu memandangi dirinya di cermin. Melirik jam tangannya.

Pukul tujuh malam.

Aldi berjanji untuk menjemputnya pukul tujuh malam, tapi Salsha sama sekali belum melihat kemunculan cowok itu.

Tas kecil yang ia selempangkan sudah dijejali ponsel, dompet, dan beberapa alat make-up secukupnya sudah masuk di dalamnya.

Kini, Salsha menuruni tangga, menunggu di ruang keluarga. Duduk di sofa, menatap televisi yang sebenarnya hanya menemaninya. Berkali-kali cewek itu melirik jam tangannya.

Televisi yang sedari tadi mengoceh belum bosan menemaninya. Padahal sudah satu jam berlalu.

Pukul delapan malam.

"Aldi belum dateng?"

Salsha menggeleng. Tanpa mendongak pun ia tau bahwa itu adalah suara ibunya.

Helen yang sedang berdiri dengan buku sketsa ditangannya itu pun bergerak menghampiri Salsha. Mengelus rambut anak perempuannya itu.

"Mungkin sebentar lagi juga dateng," ujar Helen, menenangkan. "Kalau kamu capek, ngantuk, lebih baik kamu masuk kamar aja, ya, Sayang. Tidur."

Salsha menatap ibunya, mengangguk.

"Bunda ke kamar dulu, ya."

Setelah berkata seperti itu, Helen mencium puncak kepala Salsha dan berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai satu, meninggalkan anak perempuannya.

Salsha mengikat rambutnya yang tadi tergerai dengan asal. Sesekali mengumpat karena cowok itu belum juga datang. Tidak mungkin, kan, jika Aldi lupa?

Hingga dua jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Salsha sudah menekuk lututnya di atas sofa, membenamkan wajahnya pada lingkaran lengan yang bertumpu pada lututnya. Tidak perduli dengan dressnya yang kini kusut terlipat-lipat karena posisi duduknya yang sudah tidak beraturan.

Tiga jam berlalu, pukul sepuluh malam.

Salsha sudah merebahkan tubuhnya, menjadikan lengan sofa sebagai alas kepalanya.

Lagi-lagi, cowok itu membuat Salsha menjadi 'gadis penunggu', yang menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Hingga ponsel yang berada dalam tasnya bergetar. Salsha meraih benda kotak itu dengan malas, menggulir layar ponselnya ke kanan hingga suara berat di seberang sana terdengar.

"Halo? Salsha? Lo nggak nungguin gue, kan? Maaf, maaf. Tadi Katya telepon gue. Dia... -engh, nanti gue ceritain. Maaf, ya, Ca. Bye."

Sambungan telepon terputus. Ponselnya masih menempel di telinga. Salsha kini merasa dadanya penuh sesak. Mendorong naik menyekat tenggorokannya. Dan... Dorongan itu berhasil mengeluarkan beberapa lelehan air mata. Masih dengan posisi yang sama, berbaring di atas sofa. Dengan dress, flatshoes, dan tas yang masih tergeletak di sampingnya.

Kenapa semuanya terasa sakit?

Salsha meremas kencang ujung dressnya. Bahunya bergetar hebat. Bodohnya ia menganggap kejadian tadi di malam itu —saat Aldi memeluknya— berarti bagi cowok itu. Bodohnya ia menganggap kejadian di malam itu —saat Aldi mengatakan bahwa Aldi menyayanginya— berarti bagi cowok itu. Mungkin saja saat itu, pikiran Aldi tengah kalut, tidak bisa berpikir jernih setelah kejadian Devan memukulinya dan putus dengan Katya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnobtainableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang