Perasaan 'part 2'

73 4 1
                                    

Min seok meneguk bir lagi setelah tiga puluh satu gelas ia minum. Ia menatap bartender yang ingin menuangkan kembali kedalam gelasnya yang sudah kosong. Ia menggeleng, dan mengeluarkan beberapa uang.

Separuh kesadaran Min seok telah hilang. Beberapa orang yang berada di dalam bar tanpa sengaja di senggolnya. Ia melambaikan tangan dan membungkuk, "maaf, maaf, maaf."

Min seok keluar dan berjalan mencari keberadaan mobilnya. Begitu menemukan mobil berwarna hitam, ia merogoh saku celana mencari kunci mobil. Satu kali, dua kali, ia menjatuhkan kuncil mobilnya. Kepalanya begity pening, penglihatannya juga mulai menggabur. Sial! Ia tak menyangka jika minuman itu bisa membuatnya seperti ini.

Ketika berhasil masuk kedalam mobil. Dengan kecepatan tinggi ia melajukan mobilnya. Ia harus sampai di rumah secepatnya.

Saat lampu lalu lintas berwarna merah. Min seok tak peduli, ia terus menginjak gas hingga pengemudi truk pengangkut pasir itu membunyikan klakson.

Jinaa menggenggam selimut yang berada di dada Min seok. Napas pria itu yang menyentuh pipinya, berhasil membuat bulu kuduk Jinaa merinding. Ia mengikuti gerak bibir Min seok yang berulang-ulang menghisap bibir atas dan bawahnya bergantian.

Ia tidak tahu kenapa Min seok melakukannya. Tapi ia menyukainya. Saat tangan Min seok menyentuh lehernya dan semakin memperdalam ciuman mereka. Jinaa pun menangkup wajah Min seok dengan kedua tangannya.

Ia belum pernah melakukannya. Tapi entah kenapa, sekarang ia dapat melakukannya dengan baik. Saat Min seok melepaskan ciuman yang terjadi di antara mereka. Perlahan mata Jinaa terbuka, ia mengatur napasnya yabg habis akibat ciuman tadi.

Sekarang mereka sangat dekat. Jinaa memandangi kedua mata Min seok yang tertutup. Benarkah aku menyukainya? Ia memegangi dadanya yang berdetak cepat. Kemudian menyentuh bibirnya. Apa yang kami lakukan tadi?

Jinaa bangkit dari tempat tidur Min seok. Pria itu mungkin sudah tertidur pulas. Ia tersenyum singkat. Lalu berjalan keluar.

Setibanya di kamar, Jinaa menuju kamar mandi. Di basuhnya seluruh wajahnya dengan air. Begitu selesai di pandanginya wajahnya dari cermin. Tadi aku dan Min seok berciuman? Yang benar saja?

Jinaa terkikik geli. Di tutup mulutnya dengan kedua tangan agar tidak berteriak. "Aku berciuman! Akh! Eomma!"

Di keluarkannya kalung dari dalam bajunya penuh semangat. Lalu di ciuminya beberapa kali. Sebuah kalung berbentuk hati, satu-satunya kenangan yang di berikan ibuya. Jinaa memberenggut, "eomma marah tidak? Jika eomma marah, aku benar-benar minta maaf. Tapi sekarang aku sudah dewasa eomma. Aku sudah bisa merasakan jatuh cinta itu seperti apa. Dan aku menyukainya. Apa tidak apa-apa eomma."

Sekali lagi Jinaa mencium kalungnya sebelum di masukkan kembali kedalam baju. "Yah... aku memang menyukainya." Ucapnya sembari menatap pantulan wajahnya di cermin.

***

Sengaja Jinaa tidak tidur semalam. Bayangan akan ciumannya bersama Min seok sukses membuat mataya terus terbuka lebar.
Setelah mandi dan rapi dengan seragamnya. Jinaa berlari kedapur. Ia harus membuatkan bubur penghilang mabuk untuk Min seok. Apalagi pria itu harus masuk kantor. Jadi ia tidak mau kalau pekerjaan kakak tirinya itu terganggu.

Dengan bantuan penjelajah google. Satu mangkuk bubur gandum ia ciptakan. Sebenarnya ia tidak ingin membuat bubur. Tapi jika ia memaksa untuk membuat sup, itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

"Kapan eomma pulang?"

Jinaa berbalik. Tubuhnya menegang saat mendapati Min seok telah berada di depannya. Pria itu sudah mandi dan pakaiannya juga berbeda dari semalam. Matanya membesar saat Min seok menoleh kearahnya dengan tatapan dingin pria itu. Apa dia ingat?

"Baik eomma. Aku harap kalian cepat pulang karena minggu depan aku harus ke paris."

Paris? Siapa yang akan ke paris? Min seok memutuskan sambungan telepon lebih dulu. Melihat Jinaa yang diam tak bergerak di dekat tempat pencucian piring. Satu alisnya terangkat. "Ada apa?"

"Eh, kenapa?" Ujar Jinaa sedikit terkejut.

"Kenapa menatapku seperti itu?" Tanya Min seok. Ia duduk di kursi menghadap meja makan. "Kamu yang membuatnya?" Lanjutnya begitu melihat semangkuk bubur di atas meja makan.

Jinaa mengangguk cepat, "menurut google itu makanan dapat meredakan gangguan perut setelah mabuk " lalu ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan yoghurt cair. "Kamu juga harus meminumnya, untuk mencegah agar tidak muntah nanti."

Min seok bergumam. Di raihnya sendok yang ada di samping tangan kanannya, sebelum memakan bubur buatan Jinaa itu. Di liriknya perubahan pada wajah adik tirinya yang terlihat tegang. "Kamu mencobanya dulu sebelum menyajikannya?"

Jinaa mengerjap. "Tidak."

Min seok menghela napas. Lalu memakan bubur itu dalam diam. Sedangkan Jinaa, ia memainkan roknya penuh ketakutan. Aku tidakmeracuninya, kan? Prosedur pembuatannya sudah aku ikuti. Jinaa Meringis di di dalam hati.

"Apa semalam telah terjadi sesuatu?"

Sontak Jinaa terperanjat. Ketika Min seok menatapnya menunggu sebuah jawaban. Kepala Jinaa menggeleng cepat. "Tidak. Tidak terjadi apa-apa semalam."

"Siapa yang membawaku ke kamar?"

Jinaa menunjuk ke wajahnya sendiri seperti orang tolol. "Aku."

"Sungguh tidak terjadi apa-apa?" Tanya Min seok lagi. Kali ia tidak menatap Jinaa.

Penuh keraguan Jinaa mengangguk. "Hm, aku hanya membantumu menuju ke kamar. Itu saja." Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku seragamnya. "Ini kartu kreditmu. Aku tidak menggunakannya kemarin. Terima kasih."

Secepat kilat Jinaa berlari menjauhi Min seok yang melihatnya keheranan. Jinaa menggumam, "bego, bego. Kenapa aku harus gugup. Dia juga tidak mengingatnya. Lagi pula, dia yang memulainya."

Bersambung...

***

Maaf jika ada typo. Dan maaf juga kalo partnya pendek

Semoga kalian suka sama bagian ini ya!!!^^

Jangan lupa juga buat vote dan commentnya ya!!!!

Baca cerita ku yang lain 'Promise'. Siapa tau kalian suka^^.

Salam manis,

SulisTia

Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang