Tak ada pergerakan apapun, bahkan hingga berbulan-bulan keberadaan Nina di perusahaan yang sama dengan Daniel. Bahkan Nina bersikap seakan tidak mengenal Daniel. Hanya saja...Daniel sangat tahu siapa Nina dan sangat tahu karakter Nina...
Daniel menghela napas panjang. Baru saja Savannah menelponnya. Memberitahukan hal yang membuat Daniel memijit pelipisnya. Ditatapnya layar komputer yang masih menyala. Proyeknya bersama dengan Stephanie telah selesai dengan hasil yang sanggup membuat Zachary tertawa lebar.
Dalam list kegiatan Daniel sekarang adalah menghadiri pernikahan Zach dan Skyla yang akan di selenggarakan di Kanada. Dari Stephanie sedikit banyak Daniel telah mengetahui betapa perjuangan Zach tidak mudah untuk sampai ke jenjang itu. Daniel hanya bisa miris membayangkan Zach yang terjebak dalam permainan seorang pria bernama Luke yang begitu menggilai Skyla. Daniel juga merasa miris betapa Zach melalui masa sulit demi memperjuangkan Skyla beberapa bulan ini. Dan satu hal yang menjadi fokus Daniel adalah menjaga perasaan Stephanie yang begitu kalut dan khawatir dengan keadaan Zach dan Skyla.
Sekarang...
Setelah semua orang agaknya bisa bernapas lega. Nyatanya Daniel bahkan tidak bisa menghela napasnya dengan leluasa. Stephanie benar-benar membuatnya pening dan berulangkali memijit pelipisnya. Apalagi setelah menerima panggilan telpon dari Savannah, Daniel semakin tak mengerti dan kehilangan akal untuk menasehati gadisnya itu.
Dimulai dari Stephanie yang memindahkan isi kubikelnya ke rumah megah yang ditempati Stephanie. Tak mengatakan apapun, atau meminta persetujuan Daniel untuk apa yang dilakukannya.
Daniel menghela napas. Lelah.
Stephanie sedang menjalankan pemotretan terakhirnya sebelum mereka semua berangkat ke Kanada menyusul keluarga Leandro. Yang membuat Daniel agak lega adalah adanya Parvatti, manager Stephanie yang terlihat berani berteriak pada Stephanie dan Stephanie bahkan tak membalasnya.
Daniel melirik jam di pergelangan tangannya. Cukup larut dan Stephanie belum kembali. Dan Stephanie menolak Daniel menjemputnya.
Daniel menoleh dan mendapati Stephanie berdiri di depan pintu dengan wajah yang sangat lelah.
Stephanie melangkah ke arah sofa di ruang kerja Daniel. Menghempaskan tubuhnya. Daniel melangkah menghampiri Stephanie dan mengusap wajahnya. Menyingkirkan rambut yang menutupi wajah pucat yang terlihat sangat kelelahan itu.
"Apa kau butuh sesuatu?" Daniel mengulurkan tangannya.
"Peluk aku. Aku lelah sekali. Dan...rasanya aku mau pingsan." Stephanie menyambut uluran tangan Daniel.
"Aku akan bicara pada Parvatti. Kalau kau tidak keberatan aku akan mengatur ulang jadwalmu", ujar Daniel sambil memijit pundak Stephanie lembut.
"Aaaah...." Stephanie melenguh tanpa sebab.
"Jangan mulai..." Daniel mencebik gemas begitu mendengar lenguhan yang hampir mirip dengan desahan dari mulut Stephanie.
Stephanie terkekeh pelan. Bukan apa-apa. Sentuhan sekecil dan seringan apapun dari Daniel mampu membuatnya melayang dan mendesah tak kenal malu.
Daniel memijit lembut tungkai kaki indah Stephanie yang kini berada dalam pangkuannya.
"Aku lapar." Stephanie memegangi perutnya.
"Kau belum makan? Selarut ini? Ya Tuhan..." Daniel mulai menggerutu kesal sambil ingin beranjak dari duduknya.
"Aku lebih ingin memakan mu, Danie." Stephanie justru mulai menggoda.
"Jangan bercanda. Aku akan ambilkan makan untukmu. Diam di sini." Daniel beranjak dari duduknya dan keluar.
Stephanie merebahkan kepalanya di sofa. Matanya benar-benar tidak bisa diajak terbuka lagi. Sebenarnya masih ingin rasanya mengendus aroma Daniel yang begitu digilainya, tapi...Stephanie merasa sangat mengantuk. Deru halus napas Stephanie segera saja terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
STEPHANIE : MY PERVERT GIRLFRIEND (SUDAH TERBIT)
Storie d'amoreAku ingin mengikatmu dengan rantai agar kau tidak pergi dariku. Stephanie Rose Leandro Ikat aku jika itu membuatmu tenang. Aku akan tetap ada di sini ketika kau pulang nanti. Daniel Jefferson