Tareen POV
20 August 2016
Hari ini adalah jadwalku untuk bimbingan belajar. Setelah bimbingan belajar selesai, aku tidak langsung pulang, aku pergi ke dermaga. Rasanya hari ini cukup melelahkan. Waktu menunjukkan pukul 04.30pm. Aku memandang jauh ke seberang danau, merasakan tiupan angin yang berhembus pelan. Perlahan semilir angin meniupkan namanya Raza Ziyanasaqueilathan
"..." Aku tersenyum, merasakan air yang perlahan mulai menggenang. Aku menghapusnya dengan punggung tanganku sebelum air itu terjatuh.
"Aku tak ingin menangis" Batinku berkata.
"Apa yang kau lakukan di sini?" suara ini tak asing untukku.
"Tidak ada, lantas apa yang kau lakukan di sini?" Ujarku melihatnya.
"Aku ingin menemuimu" Ucapnya duduk di sebelahku.
"Menemuiku?" Tanyaku memastikan bahwa aku tak salah dengar, aku masih menatapnya.
"Iya. Ada yang salah?" Ia bertanya dan balas menatapku
"Tidak." Jawabku singkat.
Aku menundukkan kepalaku, berusaha mendengarkan detak jantungku yang biasanya terdengar jika sedang sendiri. Raza. Dia ada di sebelahku. Duduk di sini seakan ia tak pernah menghilang. Ia selalu seperti itu. Tapi ini cukup menyenangkan, melihatnya duduk di sebelahku mengenakan seragam nya yang serasi dengan seragamku, putih abu-abu.
"Maafkan aku." Ujarnya memecah keheningan, ia masih menatap ke seberang danau.
"Untuk apa?" Tanyaku menatapnya.
"Aku tak pernah memberimu kabar akhir-akhir ini," Balasnya, ia tak memalingkan matanya seolah ada sesuatu yang harus ia perhatikan di sana.
"Jadi?" Tanya ku masih tak mengerti.
"Jadi aku minta maaf, kau tak mengerti?" Tanya nya menatapku. Kini mata kami bertemu.
"..." Aku terdiam memalingkan wajahku darinya. "Aku mengerti, kau sudah harus mempersiapkan diri untuk UAN bukan? Belajarlah, aku ingin kau lulus dengan nilai yang baik." Ucapku melanjutkan.
"Aku beruntung punya kau." Ucapnya. Kini ia tak lagi memandangku.
"Hm?" Aku tak mengerti.
"Apa kau tau? Kau adalah adik yang paling mengerti aku, ku rasa kakakmu juga sangat beruntung karena kau adalah adik biologisnya." Ucapnya
"Ayolah, kau tidak hanya punya aku, kau juga punya pacarmu. Ia pasti lebih baik dari aku." Ujarku sedikit tersenyum.
"Aku tak ingin membahasnya." Ujarnya
"Kalian bertengkar?" Tanyaku
"Entahlah." Ia menjawabku asal. Aku hanya terdiam seakan menyadari bahwa aku salah karena mengungkit hal ini.
Ia selalu begini. Hilang tanpa jejak, datang tiba-tiba. Setidaknya kini aku sadar, ia datang hanya jika dia membutuhkanku.
Raza Ziyanasaqueilathan. Ia memiliki mata berwarna cokelat yang indah, hidungnya mancung, kulitnya tidak begitu putih ataupun hitam. Tinggi nya 179cm, ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia juga merupakan anggota tim basket di sekolahnya, kapten baket lebih tepatnya. Tapi katanya ia tak populer seperti yang lainnya. Ia juga memiliki seorang kekasih yang menurutku cantik, tidak, ia tak cantik, ia manis. Cukup serasi dengan Raza. Usianya satu tahun lebih tua dari Raza, tapi mereka ada di kelas yang sama. Bukan karena gadis itu tak naik kelas. Tapi karena ia disekolahkan mulai usia tujuh tahun, tak seperti Raza, Aku, dan Nareen yang mulai sekolah pada usia enam tahun. Arlyn Sazzahra Dharma. Nama yang indah bukan?
Raza adalah orang yang berhasil menarikku dari kesedihan saat aku kehilangan bunda. Tidak bagus memang, tempat kami bertemu adalah di tempat peristirahatan terakhir bunda. Saat itu ia melihatku sedang menangis seorang diri di makam bunda. Entah karena dia kasihan atau apapun, dia mengajakku pergi dan berusaha membuatku tersenyum, ia menganggapku adiknya, begitupun aku menganggapnya sebagai seorang kakak. Namun ku rasa anggapan-anggapan itu hilang setelah beberapa bulan ia mulai datang dan pergi.
Sama hal nya denganku, ia bukan seorang yang sempurna, ia menderita kelainan darah. Dia bersekolah di sekolah swasta yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolahku, SMK Azalea Ragnared. Jaraknya sekitar 250m dari sini. Ia mengambil jurusan farmasi. Katanya, pada awalnya ia ingin menjadi seorang dokter, namun karena terhalang biaya, ia mengurungkan cita-citanya itu. Ku akui, memang aku lebih beruntung darinya untuk urusan materi. Namun untuk hal lainnya, menurutku ia lebih beruntung karena memiliki keluarga yang selalu mendukungnya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya nya memecah keheningan.
"Tentu, aku selalu baik." Aku tersenyum padanya. Aku tak tahu mengapa, namun aku rasa ini bukan senyum yang biasa aku berikan padanya.
"Jadi, kenapa kau kesini?" Tanya nya lagi.
"Kau sudah menanyakan hal itu. Aku hanya ingin datang. Memangnya kenapa?" Aku menatap wajahnya sejenak, kemudian mataku beralih ke seberang danau.
"Kau harus memiliki alasan." Ucapnya. Ia menatap lurus ke depan.
"Kenapa?" Tanyaku. Kini aku menatapnya.
"Entahlah, aku hanya berfikir semuanya memiliki alasan." Ucapnya. Ia tak merubah pandangannya. "Seperti malam yang berganti menjadi siang agar manusia tidak membeku karena dinginnya malam, dan tidak terbakar karena panasnya siang." Sambungnya.
"Kalau begitu, aku datang untuk menunggu" Aku memalingkan wajahku darinya, berusaha menguatkan diri agar aku tidak menangis. Karena aku selalu baik.
"Menunggu apa?" Tanyanya menatapku.
"Menunggu hal yang ku rindukan. Suasana ini, tempat ini, aku merindukannya..." Kata-kataku terpotong karena sesuatu hal, mataku mulai panas. Tidak aku tidak ingin menangis, aku melihat keatas berusaha menyimpan kembali genangan air mata yang hampir menetes. "...dan kau" Lanjutku. Suaraku tak terdengar, karena memang aku tidak menyuarakannya.
"Kalau begitu kau sudah selesai bukan? Biar ku antar pulang. Aku melarang adik kecilku untuk berkeliaran di malam hari. Aku yakin Nareen juga begitu." Ucapnya, ia berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
"..." Aku menatap matanya lekat-lekat, berharap ia akan menemaniku lebih lama lagi, namun aku tau itu takkan terjadi. Aku memalingkan wajahku, menghirup nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar "...kau benar." Ucapku menyambut tangannya. Aku memasang resleting jaketku.
09.00pm
"Jadi kapan kau akan tidur adik kecil?" Nareen mengagetkanku. Karena ia berhasil masuk kamarku tanpa suara.
"Aku akan tidur." Ucapku membereskan buku-buku ku.
"Kau sudah meminum obatmu?" Tanya Nareen menghampiriku.
"Sudah." Aku berjalan ke tempat tidur. Membentangkan selimutku.
"Tidurlah." Ujarnya. Ia mencium keningku dan beranjak pergi.
Klick. Aku mematikan lampu kamarku dan menggantinya dengan lampu tidur. Nareen sudah menyuruhku tidur sejak tadi. Tapi aku baru tertidur sekarang. Aku tiba di rumah sekitar pukul 05.55pm. setelah itu Raza pamit dan obrolan kami berlanjut di Line. Namun hal itu tidak lama, seperti yang sudah-sudah. Ia selalu menghilang setelah aku menyuruhnya mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Entah karena ia tertidur atau bahkan lupa jika ia membiarkanku menunggunya. Ia menghilang bukan hanya malam itu, tapi berlanjut pada malam-malam berikutnya. Ia bilang segala hal yang terjadi selalu memiliki alasan. Sekarang aku ingin tau apa alasannya datang dan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betrayal
Teen FictionTareen terdiam seraya menatap keluar jendela. Memperhatikan setiap genangan air yang terus dijatuhi jutaan air hujan dari langit berwarna marun dengan gradasi warna gelap lainnya. Mendengar air dan angin yang saling bersahutan. Mungkin untuk sebagi...