Addio Per Ora

17 1 0
                                    

Author POV

25 September 2017

Tareen berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya. Seperti biasa, pukul 06.00. Tareen selalu tiba di sekolah lebih awal dari siswa lainnya. Alasannya, karena ia sangat membenci keramaian. Seakan-akan semua orang akan menertawakannya ketika melihatnya. Tareen benci menjadi pusat perhatian. Kalian tau introvert bukan? seorang yang mendapatkan energinya dalam sepi. itulah sifatnya. Yang tak ingin ia ubah sedikitpun.

Bangku di sudut kelas masih menjadi favoritnya. Dan seperti biasa, ketika ia sampai ia akan membuka novelnya, atau membaca bacaan yang tersedia di ponselnya. Kali ini, ponsel lebih menarik untuknya. Karena Tareen melihat kilatan hijau di bagian atas ponsel itu, yang menandakan ada suatu pesan yang masuk. Raza. Nama itu tertera jelas ketika Tareen membuka ponselnya.

Sudah sembuh?

Tareen mengabaikan pesan itu. Tak lama, pesan baru kembali menuntutnya untuk membuka ponsel itu.

Bisa temui aku di danau?

Tareen menghembuskan nafas kasar. Belum sempat ia menjawab pesan itu, pesan baru muncul kembali,

Ada yang ingin ku bicarakan. Ini penting. Temui aku pukul 3 sore.

Pemaksa. Mungkin itu deskripsi yang tepat untuk orang-orang yang berada disekelilingnya. Hanya Nareen yang terkadang bersedia mengalah untuknya.

"Re?" Ucap seseorang yang suaranya tak asing bagi Tareen.

"..." Tareen mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang memanggilnya. –Ray.

"Syukurlah, kau tidak membuang itu." Balas Ray seraya duduk di bangku sebelah Tareen.

"Sejak kapan kau duduk disana?" Tanya Tareen menatapnya. Namun yang ditatap hanya mengedikkan bahu seraya mengeluarkan sebuah buku.

"Sejak kapan kau tiba sepagi ini disekolah?" Tanya Tareen lagi.

"Dan sejak kapan kau perhatian padaku Re? huh?" Ucap Ray seraya menampilkan senyum smirknya.

"..." Rere terdiam sejenak dengan ekspresi datar andalannya. "Itu bukanlah suatu perhatian Raynathan." Ucap Tareen menekankan nama Ray seraya menyandarkan punggungnya di kursi.

"Itu perhatian Tareensia. Hanya kau tidak mengakuinya." Balas Ray menggodanya.

"Terserah." Ucap Tareen menyerah.

"Ini untukmu." Balas Ray menyerahkan buku yang tadi ia keluarkan.

"Untuk apa?" Tanya Tareen bingung

"Hampir 3 minggu kau absen, Tareen. tidakkah kau pikir kau tidak memiliki catatan apapun untuk ujian minggu depan?"

"..." Tareen hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa? Mungkinkah kau sehebat Einstein?" Ucap Ray asal.

"..." Tareen merebahkan kepalanya dan menghadap ke tembok, pertanda tak peduli.

"Hei, kau harus belajar. Materi nya sudah ku rangkum disini. Jangan lupa ulangan susulan yang kau lewatkan kemarin." Balas Ray meletakkan buku itu dikepala Tareen seraya berjalan keluar kelas.

03.00pm

Tepat pukul tiga. Seperti yang diminta, Tareen sudah berada ditempat yang diminta Raza, yang sekaligus menjadi tempat favoritnya. Tareen menurunkan kakinya setelah membuka alas kaki yang ia kenakan. Membiarkan permukaan air menyentuh telapak kakinya dan mulai menikmati matahari yang tidak begitu tinggi dan tidak pula begitu rendah. Tareen terdiam menunggu langkah kaki yang frekuensi nya telah ia rasakan mulai mendekat.

"Kau selalu tepat waktu." Ucap seseorang yang tak lain adalah Raza.

Seperti biasa, Tareen hanya diam. Karena menurutnya tak ada pernyataan yang harus ditanggapi dari pernyataan tersebut.

"Bagaimana rasanya berlibur panjang huh?" Tanya Raza mengambil posisi duduk dengan posisi sila disebelah Tareen.

"Kau ingin aku tau apa Za?" Tanya Tareen to the point.

"Hey. Kau ini tak bisa diajak basa-basi sedikit ya." Balas Raza tanpa berniat menjawab.

Tareen terdiam dan bergegas pergi, namun Raza menahannya.

"Hey! Santai dulu. Duduklah kembali, aku akan memberitahumu." Ucapnya menahan Tareen.

Tareen menggunakan ekspresi yang tak bisa ditebak. Dan kemudian kembali ke posisinya semula.

"Ini." Raza meletakkan setumpuk berkas di atas pangkuan Tareen.

Tareen menatap Raza, apa ini?

"Kau baca saja sendiri." Ucapnya.

"Bukti?" Tanya Tareen.

"Ya. Itu bukti atas apa yang ku katakan padamu beberapa minggu yang lalu." Ucapnya.

"Mungkinkah ia sejahat itu?" Tanya Tareen.

"Aku tidak tahu. Mungkin saja."

"Kenapa?"

"Aku tahu kau cerdas Tareensia. Jangan menanyakan hal yang bahkan kau sudah tau apa jawabannya." Balas Raza.

Tareensia terdiam, lantas air matanya turun begitu saja.

"Aku tak pernah bermaksud untuk menyakitimu kau tahu? Bahkan kejadian beberapa tahun lalu hingga kakakmu sangat membenciku, atau bahkan kejadian beberapa bulan lalu, atau bahkan beberapa minggu lalu. Aku hanya melakukan apa yang menurutku perlu ku lakukan. Aku sudah memikirkan matang-matang atas apa yang ku perbuat hari ini. Terkadang kenyataan yang kau terima tak selalu indah Re." Jelas Raza menyesal.

Tareen menampilkan smirk-nya. "Hidupku memang tak pernah indah." Balasnya singkat.

"Tak selalu hitam Re. Hitam ada karena ketiadaan putih. Aku yakin kau akan menemukan putihmu." Timpal Raza.

"Tentu. Saat aku tak lagi hidup." Balas Tareen tajam.

"Aku akan membantumu. Bagaimanapun caranya."

"Kau pikir bagaimana? Jantungku bahkan tak bekerja dengan baik. Ayahku sendiri bahkan ingin meracuniku agar ia dapat menjual organku secara illegal. Nareen takkan punya kekuasaan atas semuanya. Ayah memeliki kendali penuh atas ku dan Nareen. Kau tau itu."

"Cerdas. Bukankah artinya kau harus memiliki seseorang yang lebih berkuasa dari ayahmu?" Raza tersemyum penuh arti.

"Bagaimana maksudmu?"

"Aku punya rencana Tareen. Percaya padaku. Yang ku butuhkan hanya kepercayaanmu."

"Entahlah. Tiap kali aku percaya, selalu ada hal yang memaksaku berhenti untuk percaya."

"Aku takkan menyakiti orang yang ku sayang Tareen. dan kamu adalah salah satunya. Kau bisa percayakan itu padaku." Balas Raza menatap lurus ke seberang danau. Entah apa yang ia lihat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BetrayalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang