7 September 2016
Lagi. Untuk yang kesekian kali nya seorang gadis yang bernama Tareensia Ganendra harus terbaring di ranjang rumah sakit setelah sebelumnya ia pulang melewati jam malamnya. Tentu saja Nareen sangat mencemaskannya saat itu. Terlebih karena Tareen kembali ke rumah dengan keadaan pucat dan suhu tubuh yang sangat tinggi. Karena itu, Nareen segera membawanya ke rumah sakit.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 namun Tareen belum juga menunjukkan tanda bahwa ia akan segera sadar.
"Bagaimana keadaan adikmu?" Ucap seseorang tanpa mengetuk pintu- Ayah.
"..." Nareen melirik kearah ayahnya, kemudian berpaling. "Peduli apa kau?"
"Huh. Kau masih saja seperti terakhir kali kita bicara ya. Bukankah sudah ku bilang jaga bicaramu jika sedang berbicara denganku?" Ucap Ayahnya seraya menghampiri Tareen.
"..." Nareen hanya terdiam seraya tersenyum sinis.
"Pergilah ke sekolah. Aku akan menjaga nya hari ini." Ucap Ayahnya.
"..." Nareen menatap lelaki yang ada dihadapannya seraya memicingkan kedua matanya.
"Percayalah padaku Nareen. Kalian ini masih anak-anak ku." Ucapnya.
Tak ingin mendengar perkataannya lagi, Nareen pun memutuskan untuk pulang dan bersiap ke sekolah.
07.00- 7 September 2016
Seorang siswa bermata coklat- Ray terus memperhatikan bangku yang biasa digunakan Tareen. Ia khawatir karena hingga saat bel telah berdering gadis itu belum juga tiba. Padahal biasanya, ia adalah siswa yang paling awal mengisi ruang kotak yang cukup membosankan. Hingga akhirnya ia mengalihkan pandangannya pada seorang siswa yang datang untuk menyampaikan surat. Tak salah lagi, surat itu adalah surat sakit milik Tareen. dan yang mengantarkannya adalah seorang ketua osis yang tak lain dan tak bukan adalah Nareen- kakak dari Tareen. Hal itu membuatnya bingung, karena kemarin Tareen terlihat baik-baik saja.
04.00pm
Waktu belajar telah usai. Seluruh siswa meninggalkan sekolah dengan sisa-sisa tenaga yang masih mereka miliki. Ray berniat untuk mengunjungi Tareen di rumah sakit. Bukan Ray namanya jika ia tak mencari tahu dimana keberadaan Tareen. Tentu saja ia mengetahuinya dari surat yang tadi diantarkan oleh kakaknya. Rumah Sakit Ganendra. Ray menatap heran surat yang baru saja ia baca. Pasalnya, marga Tareen tertera disana, Ganendra.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Setelah ia sampai di rumah sakit dan mengetahui ruangan tempat Tareen dirawat, ia segera menemuinya. Namun ketika ia sedang menaiki lift menuju ruangan itu, seseorang memanggilnya dan menariknya keluar.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya orang tersebut yang ternyata adalah –Dr. Jose- Kakak Ray.
"Hey! Bisa tidak kau tidak menarikku seperti ini? Kau membuatku malu." Balas Ray mengabaikan pertanyaan kakaknya.
"Aku Tanya, kau sedang apa?" Tanya Dr. Jose, lagi.
"Aku ingin menjenguk temanku. Dan kau? Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Ray lagi.
"Memangnya apa yang dilakukan seorang dokter di rumah sakit? Dasar bodoh." Balasnya.
"Tunggu, bukankah kau bekerja di rumah sakit Aresta? Mengapa kau-"
"Aku bekerja disini Raynathan." Balas Dr. Jose memotong pertanyaan Ray seraya membawa Ray ke ruang kerjanya.
"Baiklah. Dan kenapa kau membawaku kemari dokter." Ucap Ray memberi penekanan pada kata -dokter-
"Aku ingin kau segera pindah ke Jerman Ray." Balasnya tanpa basa-basi
"Apa maksudmu? Aku bahkan belum menyelesaikan satu semester disini."
"Kau akan pindah akhir semester."
"Hey! Kau pikir kau siapa?"
"Aku? Aku kakak-mu. Ada sesuatu yang harus kau lakukan disana Ray. Mereka membutuhkanmu. Kau juga bias mengembangkan kemampuanmu disana."
"Terserah kau saja." Balas Ray meninggalkan ruangan itu dan kembali menuju ruangan Tareen
Tareen POV
"Re? bagaimana keadaanmu?" Tanya kakakku- Nareen
"..." Aku hanya tersenyum menatapnya.
*Sighs*
"..." Aku tahu Nareen memiliki banyak pertanyaan. Terutama mengapa aku pulang begitu larut semalam. Tapi ia menahannya karena tau pertanyaan itu terlalu berat untuk dibicarakan saat ini.
Knock knock
Seseorang mengetuk pintu ruanganku dan membukanya. Hal itu membuat kami mengalihkan pandangan padanya. Nareen menatapku siapa?
"Hey Reen, aku teman Rere disekolah. Boleh aku bicara padanya?" Ray.
"..." Nareen menatapku ragu, namun aku meyakinkannya bahwa aku tak apa. "5 menit saja." Ucap Nareen seraya meninggalkan kami.
"..." Ray tersenyum dan mengalihkan pandangannya padaku. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya. "Eh tunggu, tak usah kau jawab, tentu saja kau sedang tidak baik." Jawabnya sendiri.
"Baiklah Tareen, aku hanya ingin kau mendengarkan apa yang ingin ku katakan. Kau tak perlu menghabiskan tenagamu yang hanya tersisa sangat sedikit untuk membalas perkataanku. Okay?" Ucapnya memberitahuku.
"Begini." *sighs* "Sebenarnya..." Ucapnya menatapku. "Aku tak ingin mengatakan apa-apa" katanya seraya tersenyum dan memperlihatkan gigi putihnya yang berjajar rapi. "Aku hanya ingin melihatmu. Aku merindukanmu. Aneh bukan? Aku pun tak mengerti mengapa bisa begitu. Aku hanya merasa jika aku tak menemuimu sekarang aku akan menyesal entah kenapa. Perihal penyakitmu, aku sudah tahu. Kau menderita penyakit yang cukup berat. Sangat. Dan kau membutuhkan donor bukan? Jika kau ingin bertanya darimana aku tau semua itu, kau tak perlu heran. Aku ini siswa yang mengikuti olimpiade di sekolah lamaku. Jadi wajar saja jika rasa penasaranku sangat besar dan berujung dengan mencaritahu agar rasa penasaran itu terobati." Ucapnya menyombongkan diri. "Aku akan membantumu mencari pendonor, atau apapun yang kau butuhkan. Kau tenang saja, aku yakin kau akan sembuh. Jika kau bertanya-tanya mengapa aku ingin membantumu, itu karena aku tertarik padamu. Aku tau itu aneh. Tapi sudahlah. Jangan terlalu memikirkannya." Ucapnya, berhenti sejenak. "Nah, kurasa rinduku sudah terbalas Tareen, cepatlah sembuh, aku rindu mengganggu dan bertengkar denganmu, dan aku ingin memberimu ini." Ia memasangkan gelang ditangan kananku. "Aku akan mengambilnya jika kau sudah sembuh. Istirahatlah. Aku pergi dulu." Balasnya. Bersamaan dengan itu, Nareen masuk ke ruanganku.
"Sudah selesai?" Tanya Nareen.
"Terimakasih, Aku pergi dulu." Ucap Ray.
"Temanmu aneh juga ya." Ucap Nareen yang kemudian meminum minuman kaleng yang ia ambil saat membiarkan Ray berbicara padaku.
Matahari mulai turun. Senja tertelan malam. Hari mulai gelap. Gemerlap cahaya kota yang terlihat dari jendela menjadi pemandanganku malam ini. Keadaanku semakin buruk. Itu yang ku tahu. Bagaimanapun caranya Nareen, Dr. Jose, atau Ray yang memberitahuku bahwa aku akan baik-baik saja, aku tak percaya. Bagaimana bisa aku percaya bahwa aku akan baik-baik saja sementara tubuhku terlilit banyak selang? Bernafaspun aku butuh bantuan. Entah kenapa aku merasa hidupku takkan lama. Aku bermimpi tentang hal aneh yang mungkin saja mencelakakanku, atau mungkin itu bukan mimpi? Entahlah. Bahkan sekarang aku rasa aku berada diantara sadar dan tidak. Perkataan Raza malam itu benar-benar mempengaruhiku. Perkataan dengan bukti yang tak bisa kupercaya. Aku tak ingin lagi mengingatnya, tapi aku tak dapat menghapusnya. Satu yang ku tahu, Nareen akan selalu ada untukku. Dan mungkin Ray juga.
"
KAMU SEDANG MEMBACA
Betrayal
Teen FictionTareen terdiam seraya menatap keluar jendela. Memperhatikan setiap genangan air yang terus dijatuhi jutaan air hujan dari langit berwarna marun dengan gradasi warna gelap lainnya. Mendengar air dan angin yang saling bersahutan. Mungkin untuk sebagi...