Jilid 1

5.8K 60 1
                                    

Angin menderu, awan berarak mengelilingi lereng bukit Jong-liong-nia yang merupakan lereng pegunungan Hoa. Bukit yang memanjang terjal dengan jurang yang dalam, puncaknya yang menegak dipandang dari jauh serupa sebilah pisau mengilat yang menembus awan di tengah langit.

Cahaya fajar menyimak awan, kabut pun mulai menipis. Di puncak Jong-liong-nia itu, di bawah tugu peringatan pujangga Han-bun-kong berdiri seorang gadis rupawan dengan gayanya yang indah sedang memandang jauh ke arah jalan yang menuju ke atas bukit dengan kening bekernyit.

Tidak lama kemudian, benarlah di jalan pegunungan itu muncul beberapa sosok bayangan orang. Wajah si nona cantik berubah berseri, lalu mendengus perlahan penuh rasa benci dan dendam.

Sekejap kemudian beberapa sosok bayangan itu sudah melayang tiba dan berhenti di depan si nona cantik.

Nona itu mengerling sekejap, lalu berucap dengan dingin, "Ikut padaku!"

Dengan suatu gerakan indah ia melompat mundur beberapa tombak jauhnya, tanpa memandang lagi ia terus melayang ke atas menuju ke puncak selatan sana.

Pendatang itu seluruhnya terdiri dari lima orang, seorang di antaranya lelaki kekar berbaju hitam, bermuka berewok, berbaju ringkas dan membawa pedang, alis tebal dan mata besar, ia berkata kepada seorang nyonya muda berbaju merah di sampingnya dengan tertawa, "Hah, latah benar nona cilik tadi, tampaknya lebih angkuh daripada waktu engkau masih muda."

"Masa?" si nyonya muda berpaling dengan tersenyum.

"Sudah tentu benar," seru lelaki baju hitam dengan tertawa. "Bilamana orang memperistrikan dia, tanggung akan lebih runyam daripada aku Liong Hui. Hahaha!"

Suara tertawanya menggema angkasa, mengandung rasa kasihan atas diri sendiri dan juga penuh rasa puas.

Si nyonya muda bersuara aleman dan mendekap ke dada si berewok, rambutnya tertebaran tertiup angin dan bertaut dengan jenggot pendek si lelaki kekar.

Di tengah gelak tertawa, seorang pemuda berbaju merah dan berbadan kurus yang menyusul tiba mendadak berdehem dan berucap, "Suhu datang!"

Seketika si berewok berhenti tertawa dan si nyonya baju merah juga berdiri tegak kembali.

Tertampaklah muncul seorang kakek berjubah satin, muka memakai kerudung kain sutera tipis warna hitam. Di belakangnya mengikut dua lelaki kekar lain dan juga berbaju hitam mulus, berdandan ringkas dan membawa golok.

Kedua orang ini menggotong sepotong barang sepanjang satu tombak dan lebarnya antara tiga kaki, berbentuk lonjong, tapi tertutup oleh sehelai kain pancawarna sehingga tidak jelas kelihatan sesungguhnya barang apa yang mereka usung ini.

Melihat si kakek, si berewok, nyonya muda baju merah dan pemuda kurus tadi sama berdiri dengan sikap hormat dan tidak berani bersuara lagi.

Sesudah berhenti, si kakek menyapu pandang sekejap dengan sinar matanya yang tajam, lalu bertanya dengan suara tertahan, "Di mana dia?"

"Sudah naik ke atas," jawab si berewok dengan hormat.

Si kakek mendengus, "Ayo berangkat!"

Segera ia mendahului menuju ke atas puncak gunung, ujung jubahnya tersingkap oleh tiupan angin sehingga kelihatan sarung pedangnya yang berwarna hijau terbuat dari kulit ikan hiu.

Si nyonya muda yang tertinggal di belakang berucap perlahan, "Ai, hari ini ayah ..." dia tidak meneruskan ucapannya.

Si pemuda kurus tadi berpaling memandang dua orang muda-mudi sekejap, ia terkesima sejenak, lalu berkata. "Simoay (adik perempuan keempat) dan Gote (adik kelima), boleh kalian menunggu di bawah gunung saja."

Amanat Marga (Hu Hua Ling) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang