Jilid 27 (TAMAT)

1.2K 28 0
                                    

Tik Yang berempat kelihatan kaku, serupa terpengaruh obat bius. Terdengar mereka mengiakan dan membalik tubuh, serentak mereka meloloskan pedang.

Akan tetapi mendadak mereka membalik tubuh pula, empat pedang menutuk sekaligus, bukan Lamkiong Siang-ju yang diserang melainkan Swe Thian-bung sendiri.

Sudah tentu kejadian ini lama sekali tak terduga oleh Swe Thian-bang, tanpa ampun dada dan perutnya tertusuk keempat pedang. Namun dia memang tokoh maha tangkas, sebelah kakinya masih sempat balas menendang dan tepat mengenai bawah perut Kwe Giok-he.

Kontan Giok-he menjerit dan roboh terguling. Swe Thian-bang juga tidak tahan lagi, sambil meraung ia pun roboh terjungkal dengan tangan memegang dada dan perutnya yang mengucurkan darah.

Kiranya tadi waktu Lamkiong Peng disuruh berdamai dengan bekas sahabat dan saudara seperguruannya oleh sang ayah, kesempatan itu telah digunakan olehnya untuk memberi obat penawar racun kepada Tik Yang berempat.

Sesudah pikiran sehat mereka jernih kembali, diain-diam Tik Yang berempat merencanakan tindakan balasan terhadap Swe Thian bang, terutama Kwe Giok-he yang merasa telah tersesat dan malu terhadap suami dan para adik seperguruan, ia menyerang paling ganas dan akibatnya ia sendiri pun tewas kena tendangan Swe Thian-bang.

Kejadian tak terduga ini seketika membuat begundal Swe Thian-bang menjadi panik mereka bingung dan tidak tabu apa yang harus berbuat serupa ular tanpa kepala.

Segera, Lamkiong Peng beneru, "Ayo kawan, sikat kawanan durjana ini!"

Serentak orang banyak bersorak ramai dan menerjang maju.

Dengan sendirinya Yim Hong-peng dan kawannya tidak tinggal diam, mendadak ia menyebarkan kabut putih, hanya sekejap saja kabut tebal telah memenuhi seluruh ruangan.

Lamkiong Peng pernah melihat kabut berbisa ini dan tahu berbahayanya, cepat ia berteriak, "Awas kabut beracun, tahan napas dan mundur keluar!"

Karena tebalnya kabut itu, Lamkiong Siang-ju suami-istri dan jago lain tidak sempat lagi menerjang begundal Swe Thian-bang. beramai mereka berusaha menyingkir.

Hanya sekejap saja anak buah Swe Thian-bang sudah terlindung di tengah kabut dan bermaksud kabur.

Dengan menyesal Lamkiong Peng berucap, "Sungguh sayang, meski biang keladinya sudah binasa, namun antek-anteknya sempat lolos!" 

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terdengar gelak tertawa orang, sesosok bayangan melayang tiba dari luar didahului oleh cahaya bunga api warna biru yang gemerlapan di tengah kabut tadi, menyusul pendatang itu lantas membentak, "Kawanan tikus semuanya perlihatkan diri!"

Aneh juga, begitu kabut tebal itu berbaur dengan cahaya biru itu, seketika kabut menipis dan buyar serupa kabut pagi tertimpa sinar sang surya.

Di bawah cahaya lampu terlihat Yim Hong-peng bersama begundalnya sudah mundur sampai di ambang pintu perkampungan.

"Panah!" bentak Liong Hui mendadak.

Serentak terjadi hujan panah bagaikan belalang terbang, pintu gerbang perkampungan teralang dan sukar ditembus, anak buah Swe Thian-bang yang lari paling depan sana menjerit terkena panah dan roboh binasa, hanya sekejap saja 20-30 orang sudah terkapar.

Melihat gelagat jelek, cepat Yim Hong-peng memberi tanda agar begundalnya menyerbu kembali ke tengah ruangan.

Dengan membentak gusar segera mereka disambut Liong Hui, Koh Ih-hong, Ciok Tim dan anak buah Ci-hau-san-ceng.

Dengan sendirinya Lamkioag Peng dan lain-lain juga lantas ikut bertempur, juga kawanan pengemis pimpinan Ih Hong lantas menyerbu dari luar

Maka terjadilah pertempuran sengit di perkampungan termashur ini. Lamkiong Peng berhadapan dengan Tong Goan satu lawan satu hanya beberapa gebrak saja, anak muda itu membentak, pedang pusaka Yap-siang-jiu-loh berkelebat, kontan kepala Tong Goan terbelah menjadi dua tanpa sempat menjerit.

Yim Hong-peng dikerubut Ih Loh dan Tik Yang, juga cuma beberapa jurus saja tubuh Yim Hong-peng sudah terkacip menjadi tiga bagian oleh kedua pedang Tik Yang dan Ih Loh.

Melihat gelagat tidak enak, Pang Liat dan Iain-lain yang masih tersisa cepat mencari jalan untuk kabur, begitu pula anak buahnya.

Karena biang keladi sudah binasa, Lamkiong Siang ju lantas memberi tanda agar pertempuran dihentikan supaya tidak lebih banyak menimbulkan jatuhnya korban.

Setelah semuanya tenang kembali, dengan terharu Lamkiong Peng berpegang tangan dengan Yap Man-jing. Liong Hui pun sedang mencucurkan air mata dan memandangi jenazah sang istri yang terkapar di lantai itu.

Sejenak kemudian barulah Lamkiong Siang ju teringat kepada pendatang terakhir yang menghamburkan cahaya biru penghapus kabut berbisa tadi.

Waktu ia memandang ke sana, ketahuanlah siapa gerangannya. Kiranya Cak lain tak bukan adalah orang yang dulu menumpang makan di rumahnya, yaitu Ban Tat adanya.

Segera ia mendekatinya dan mengucapkan terima kasih, "Syukurlah kau datang tepat pada waktunya, kalau tidak sungguh sukar dibayangkan bagaimana jadinya."

"Ah, itu pun kewajibanku yang tidak berarti," kata Ban Tat. "Malahan di tengah perjalanan aku bertemu dengan nona Bwe dan mendapat titipan sepucuk surat."

Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat kepada Lamkiong Peng.

Tergetar hati anak muda itu, cepat ia bertanya, "Ke mana dia?"

Ban Tat menghela napas, katanya dengan menyesal, "Dia .... dia sudah, ikut ke Kun-mo-to bersama Sun-siau tocu."

Seketika kepala Lamkiong Peng mendengung, hampir saja ia jatuh pingsan.

"Nona Bwe sungguh perempuan hebat," kata Ben Tat pula. "Justru dia rela berkorban demi kesejahteraan dunia persilatan umumnya. Dia yang minta pimpinan Kun-mo-to itu mencegah bergabungnya tokoh ketujuh aliran besar dengan Swe Thian-bang. Kukira sukar bagimu untuk membalas jasanya ini."

Baru sekarang Lamkiong Peng paham apa sebabnya tokoh ketujuh aliran itu tidak muncul membela Swe Thian-bang, kiranya telah mendapat perintah pimpinan Kun-mo-to untuk mengundurkan diri atas permintaan Bwe Kim-soat.

Dengan berlinang air mata ia membaca surat Bwe Kim-soat yang antara lain tertulis : 

"....hendaknya kau jaga adik Jing dengan baik, aku ini perempuan yang teramat jelek... Semoga mengikat jodoh pada kehidupan yang akan datang ....."

"Semoga . . . . " Lamkiong Peng mengulang kalimat itu, mendadak tercetus dari mulutnya, "Tidak, tidak, biarpun ke ujung langit juga akan kutemukan dirimu . . . . "

Tiba-tiba sebuah tangan halus memegang lengannya dan suara lembut mendesis di tepi telinganya, "Engkoh Peng...."

Pelahan Lamkiong Peng berpaling, dilihatnya Yap Man-jing sedang menatapnya dengan sorot mata yang penuh rasa kasih sayang, tanpa terasa ia pegang tangan si nona ....

Malam sudah hampir lalu, cahaya fajar mulai menerangi bumi raya ini

T A M A T

Amanat Marga (Hu Hua Ling) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang