Jilid 17

1.1K 31 1
                                    

"Hm, berani kau keluar selangkah saja dari pulau ini, segera kupotong kakimu!" ancam si kakek, dia tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu sudah menghadang di depan Bwe Kim-soat.

Padahal ginkang Kim-soat terkenal tiada tandingannya di dunia persilatan, maka dapat dibayangkan betapa hebat ginkang si kakek baju belacu ini.

"Jika tidak lekas naik ke kapal dan meninggalkan tempat ini, jangan menyesal bila kuperlakukan dirimu dengan kasar," kata si kakek pula.

Kim-soat melengak, tapi biji matanya lantas berputar, mendadak ia tersenyum manis, katanya, "Ai, kakek setua ini masakah menggoda anak perempuan, apa tidak malu?"

Kakek itu melenggong, belum lagi ia bersuara mendadak Kim-soat melayang lewat di sisinya dan menerjang keluar pintu yang setengah terbuka itu.

Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, di tengah keremangan pagi itu kelihatan sebuah sungai mengalir di bawah tebing sana. Pepohonan lebat di kanan kiri sungai.

Selagi ia hendak melompat turun dari tebing, sekonyong-konyong ada suara orang membentak dari belakang. "Sungguh perempuan licin . . . . "

Terdengar suara angin menderu, tahu-tahu si kakek berbaju belacu sudah mengadang di depannya dengan sikap dingin.

"Dia sudah mati, mengapa tidak kau perlihatkan jenazahnya kepadaku . . . . " ucap Kim- soat dengan terputus-putus dan air mata pun bercucuran.

Namun kakek itu sama sekali tidak terharu, mendadak ia bertepuk tangan, dari bawah tebing segera melompat ke atas seorang lelaki kekar bertelanjang badan, hanya pada pinggangnya tertutup sepotong kulit macan tutul, sekujur badan pun berbulu kuning sehingga tampak mengkilat, mulut lebar dan bersiung, sekilas pandang akan disangka orang hutan, terdengar ia berkata, "Cukong ada perintah apa?"

"Sudahkah semua barang muatan dibongkar?" tanya si kakek.

Orang itu menjawab dengan hormat, "Belum!"

"Lekas selesaikan tugasmu!" si kakek memberi tanda, secepat kilat mendadak ia menutuk Nui-moa-hiat di pinggang Bwe Kim-soat.

Karena tidak tersangka, Kim-soat menjerit dan roboh terkulai.

Si kakek lantas membawanya kembali ke ruangan seram itu dan ditaruh di atas dipan, jengeknya, "Begitu selesai barang muatan dibongkar segera kunaikkan dirimu ke atas kapal, sudah kuselamatkan jiwamu dengan obat mujarab, masakan engkau belum puas?"

Pelahan ia menutup pinta ruangan dan ditinggalkan pergi.

Dengan penuh rasa curiga diam- diam Kim-soat mengerahkan tenaga dalam, tadi waktu tutukan si kakek menyentuh pinggang, sedikit banyak ia sempat mengelak sehinga tutukan kakek itu tidak tepat teluruhnya, maka setelah berusaha sebentar, dapatlah ia melancarkan hiat-to yang tertutuk itu.

Segera ia melompat bangun dan berlari ke depan pintu, ia coba membukanya, ternyata pintu tembaga itu digembok dari luar. Dinding sekeliling juga terbuat dari tembaga, kecuali pintu ini tiada jalan tembus lain.

Seketika ia merasa seperti tersekap kembali di dalam peti mati itu, kecuali ukuran ruangan ini jauh lebih luas daripada peti mati, rasa seramnya sungguh tiada ubahnya berada di dalam peti mati.

Sesudah berusaha dan tetap tiada jalan keluar, akhirnya ia putus asa, kembali ia berlinang air mata, dicarinya lagi meja pemujaan tadi, abu jenazah di dalam kaleng masih terletak di situ, tiba-tiba terpikir olehnya, jika barang muatan kapal belum dibongkar, kenapa jenazahnya sudah terbakar menjadi abu?

"Dia belum mati, dia pasti tidak mati!" demikian timbul harapan baru.

Tiba-tiba terdengar suara pintu berbunyi pelahan, cepat ia menyusup ke kolong meja sembahyang, tabir meja yang panjang itu dapat menghalangi tubuhnya.

Amanat Marga (Hu Hua Ling) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang