Jilid 3

2.2K 35 0
                                    

Begitu tutup peti mati terbuka, seketika kedua orang berdiri melongo seperti patung.

Butiran keringat tampak menetes dari dahi si Tojin, dengan muka pucat ia bergumam, "Ini ... ini ... dia ... dia ...."

Kiranya peti mati itu kosong melompong tiada terisi sesuatu.

Muka Lamkiong Peng berubah pucat, mendadak ia membentak, "Kau berani main gila ...."

Ia putar pedangnya terus menusuk si Tojin.

Saat itu si Tojin lagi memandangi peti kosong dengan linglung, tusukan Lamkiong Peng seolah-olah tidak dilihatnya, tertampak bibirnya bergerak seperti mau bicara, tapi hanya sempat terucapkan, "Peti ini tentu ...." tahu-tahu dada kiri sudah tertusuk oleh pedang Lamkiong Peng.

Dada kiri tepat di atas jantung, bagian yang mematikan, keruan darah lansas muncrat membasahi jubah pertapaannya. Tojin itu tampak melongo kaget, ia mengerang dan meraih batang pedang, tubuh bergoyang, dengan sinar mata buram ia pandang Lamkiong Peng, dengan suara terputus-putus ia berucap, "Suatu ... suatu hari kelak kau pasti akan ... akan menyesal ...."

Suaranya serak, pedih dan penuh rasa penasaran, tapi lemah dan akhirnya roboh terkulai.

"Bluk", tutup peti juga menutup kembali terlepas dari pegangan Lamkiong Peng, ia pandang jenazah yang menggeletak tak bergerak itu, lalu memandang pedang yang dipegangnya dengan terkesima, tetes darah terakhir pada ujung pedang baru saja menitik.

Karena guncangan emosinya, hampir saja ia lemparkan pedang itu ke jurang, ia berdiri termenung dan bergumam, "Akhirnya aku ... aku membunuh orang ...."

Untuk pertama kalinya ia membunuh orang, sungguh tidak enak perasaannya. Padahal Tojin ini baru saja bertemu dengan dia, bahkan nama masing-masing saja tidak tahu, namun jiwa orang yang tak dikenalnya ini sekarang telah melayang di bawah pedangnya.

Dengan bimbang ia angkat peti mati itu dan melangkah ke arah datangnya tadi, kembali ke puncak Jong-liong-nia, tiba-tiba teringat olehnya, "Seyogianya kukubur mayat Tojin itu ...."

Cepat ia berlari lagi ke sana. Tapi aneh, darah masih kelihatan berceceran di tanah, namun jenazah si Tojin yang malang itu sudah menghilang entah ke mana.

Suasana sunyi senyap, angin meniup kencang, gumpalan awan mengambang di udara, Lamkiong Peng berdiri bingung di situ, ia memandang ke jurang yang tak terkirakan dalamnya itu, ia mengira mayat si Tojin mungkin tertiup angin ke dalam jurang, diam-diam ia berdoa semoga roh si Tojin mendapatkan tempat yang lapang di alam baka.

Entah berapa lama lagi, akhirnya ia merasakan hawa tambah dingin, ia angkat peti mati dan menuruni puncak gunung itu, setiba di pinggang gunung, angin dingin rada mereda, suasana lereng pegunungan semakin sunyi.

Pikiran Lamkiong Peng juga tambah kusut, selain rasa penyesalannya terhadap si Tojin yang terbunuh olehnya itu, dalam hati juga penuh tanda tanya yang belum terpecahkan.

Yang aneh dan membingungkannya adalah peti mati kayu cendana yang dibawanya ini sesungguhnya mengandung rahasia apa sehingga mendiang sang guru perlu memberi tugas khusus kepadanya untuk menjaga peti mati ini.

Ia mencari tempat sepi di bawah pohon yang rindang, perlahan ia menaruh peti mati itu di atas tanah rumput yang mulai layu. Ia coba menyingkap lagi tutup peti, jelas kosong tanpa sesuatu isi apa pun. Ia coba meneliti lagi, ia merasakan dipandang dari luar peti ini cukup besar, namun bagian dalam peti ternyata sangat dangkal dan sempit. Pada papan peti yang berwarna gelap itu seperti ada beberapa titik noda minyak, kalau tidak diperiksa dengan cermat sukar mengetahuinya. Namun tetap tidak ditemukannya sesuatu tanda mencurigakan pada peti mati itu.

Ia duduk di bawah pohon dan mengelamun dengan bertopang dagu, sukar baginya memecahkan tanda-tanda tanya ini, ia sampai lupa mencari tahu sebab apa para saudara seperguruannya sampai saat ini belum kelihatan menyusulnya.

Amanat Marga (Hu Hua Ling) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang