Jilid 21

1.1K 29 0
                                    

Dengan tak acuh Tek-ih Hujin menjawab, "Betul, tamuku itu ialah Lamkiong Peng. Apa-kah ingin kautemui dia? Ia justru sangat ingin melihatmu?"

"Kenapa kutemui dia?" gumam Kim-soat, "Dalam hatiku kuanggap dia sudah mati."

"Masa sudah kau lupakan janji setia kalian? Kau lupa kalian sudah terikat menjadi suami istri?"

"Aku tidak lupa, tapi sekarang kubenci dia," ucap Kim-soat dingin. "Ketika di Cu sin-to kuminta dia membuka mata dan memandang sekejap padaku, apa pun dia tidak sudi, kenapa sekarang harus kutemui dia?"

Habis berkata demikian ia terus tinggal pergi.

"Nanti dulu," scru Tek-ih Hujin. "Dengan susah payah orang mencarimu, apa pun juga harus kau temui dia."

Kim-soat merandek, katanya, "Menemui dia atau tidak apa gunanya?"

"Tunggu sebentar, segera kubawa dia ke sini," seru Tek-ih Hujin sambil berlari pergi. 

Sungguh lucu juga, semula dia berharap Bwe Kim-soat akan memohon padanya agar membawa Lamkiong Peng ke sini, siapa tahu sekarang dia yang memohon Bwe Kim-soat suka menemani anak muda itu.

Lamkiong Peng mendengar percakapan mereka, hati terasa duka dan juga girang, sebentar kecewa, sebentar lagi mendongkol karena Bwe Kim-soat tidak dapat memahami jalan pikirannya, tapi segera terpikir pula olehnya, "Biasanya dia dapat berpikir panjang, jangan jangan dia tahu maksud tujuan Tek-ih Hujin, mak,a sengaja hendak memperalatnya..."

Selagi sangsi, dilihatnya Tek-ih Hujin sudah berlari tiba, ia berjongkok membetulkan baju Lamkiong Peng dan merapikan rambutnya, lalu berkata dengan bengis, "Setelah bertemu nanti, harus kau mohon dia dengan sangat, pengaruhi perasaannya, mohon dia mengampunimu, tahu tidak? Hm, kalau tidak, kau tahu sendiri, apa pun dapat kulakukan."

Lamkiong Peng mengertak gigi dan tidak bersuara. Tek-ih Hujin lantas mengangkatnya dan menuju ke tempat tadi.

Dari jauh Lamkiong Peng meiihat sesosok tubuh yang ramping berdiri mungkur di hutan yang rindang itu, seketika hatinya berdebar, serunya, "Kim-soat . . . ."

Tubuh Bwe Kim soat seperti rada gemetar tapi tetap tidak berpaling.

"Adik yang baik," kata Tek-ih Hujin dengan tertawa. "Lihatlah, Cici sudah membawa datang buah hatimu. Lihatlah betapa kurus dan cemasnya karena rindu padamu"

Sampai sekian lama barulah Kim-soat membalik tubuh, namun sikapnya tetap dingin. Melihat sikap dingin itu, berbagai isi hati yang hendak dilampiaskan Lamkiong Peng serasa tersumbat di kerongkongan dan sukar dikeluarkan.

Melihat keduanya diam saja, Tek-ih Hujin menarik tangan Lamkiong Peng dan berkata, "Ayolah bicara, kenapa diam saja? Mengapa kau tidak senang melihat dia? Segala apa hendaknya kau katakan, masa malu?"

"Apa pula yang dapat dikatakannya?" jengek Kim-ioat. "Lekas kau bawa pergi dia!"

"Masa engkau benar-benar putus hubungan dengan dia!?" teriak Tek-ih Hujin.

"Memang tepat ucapanmu," jawab Kim-soat.

Tek-ih Hujin mendengus, "Hm, jika begitu segera akan kusiksa dengan cara yang paling keji, biarkan dia mati, dengan tumpah darah, ingin kulihat apakah hatimu tahan."

Sambil bicara tangan lantas meraba hiat-to Lamkiong Peng, diam-diam ia melirik Bwe Kim-soat dan berharap orang akan turun tangan menolong.

Siapa duga Bwe Kim-soat hanya mendengus saja, "Hm, silakan mampuskan dia, aku pun ingin tahu betapa dia akan tersiksa."

Tek-ih Hujin melengak, mendadak ia mc-lompat bangun sambil memaki, "Sungguh perempuan hina yang tak berbudi, tega kau saksikan suami mati konyol, pantas orang kangouw menyebut dirimu perempuan berdarah dingin, ternyata benar engkau berdarah dingin dan berhati keji."

Amanat Marga (Hu Hua Ling) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang