6

374 43 1
                                    

Ya, bagaimana pria itu bisa tahu namanya?

Mungkin desakan dalam suaranya membuat pria itu menoleh untuk menatapnya sejenak, dia mengernyitkan keningnya saat melihat ekspresi Livvy. Pria itu tersenyum kecil dan menunjuk badge yang masih dipakai oleh Livvy ketika keluar dari supermarket tempatnya bekerja. Livvy terkesiap dan menyentuh benda kecil itu. Rona malu kembali menjalari wajahnya, tapi pria itu sudah mengembalikan pandangannya ke arah jalanan di depannya dan tidak memperhatikan perubahan kecil itu. Namun Livvy bisa melihat seulas senyum tipis bermain di bibirnya.

Livvy berusaha duduk tegak sementara matanya tampak terpaku di satu titik di bawah kakinya sementara ia mencoba melonggarkan tenggorokannya. "Maaf," untuk yang ketiga kalinya. Pria itu kembali tertawa kecil, agaknya juga menyadari bahwa gadis itu tidak bisa berhenti meminta maaf bila bertemu dengannya. Livvy menggigit bibirnya dan mulai merasa salah tingkah. Sikapnya yang selalu penuh kewaspadaan dan kecurigaan terhadap pria asing memesona – terutama pria asing kaya yang memesona, tambahnya dalam hati sambil memikirkan mobil yang sedang dikendarai pria itu – mulai tumbuh di hatinya sejak perlakuan Maurice. Tapi mungkin sikap waspadanya sudah mulai keterlaluan. Bagaimana mungkin ia bisa mencurigai pria yang sedang duduk di sampingnya ini mengenalnya? Bodoh, bodoh, bodoh, makinya dalam hati.

Livvy bertekad untuk tidak lagi bersikap seperti itu, setidaknya ia harus mencoba bersikap menyenangkan untuk membalas kebaikan pria ini. Otaknya sibuk berputar mencari bahan percakapan ringan yang bisa mereka obrolkan bersama, tapi hal itu tak pernah berhasil dilakukannya karena pria itu kembali berbicara.

"Dari mana asalmu?"

Livvy tampak bingung sesaat karena sedari tadi benaknya sibuk berputar. Tapi kemudian ia merespon juga pertanyaan pria itu. "Menurutmu aku tidak mirip dengan warga negara Australia?"

Pria itu tergelak seakan-akan Livvy sedang menceritakan lelucon untuknya. Livvy memutar bola matanya dengan kesal.

"Kau ingin jawaban yang jujur?" tanya pria itu lagi.

"Yah," ucap Livvy sambil berusaha mengetuskan suaranya.

"Tidak, kau sama sekali tidak mirip."

"Karena aksen bicaraku?" tanya Livvy sedikit tersinggung.

"Ya," jawab pria itu jujur. "Itu dan juga karena penampilanmu yang berbeda dari mereka semua. Kau lebih Asia daripada gadis-gadis keturunan Asia di Australia. Membingungkan?"

"Tidak," Livvy menjawab sambil menggelengkan kepalanya. Ia mengerti maksud ucapan pria itu. Ia sama sekali tidak canggih dan modern dibandingkan dengan warga Australia keturunan Asia. Kali ini mereka bertatapan, lebih tepatnya mata Livvy bertatapan dengan mata di balik kaca mata hitam yang dikenakan pria itu dan serentak keduanya tertawa kecil. Semua ketegangan, kewaspadaan, keseganan atau perasaan lain yang tadi sempat dirasakan Livvy segera mencair.

"Aku datang dari Indonesia," jawab Livvy kemudian.

"Ah... Indonesia," ucap pria itu perlahan, seolah mengulang kata-kata Livvy. "Negara yang indah."

"Terima kasih."

"Sama-sama."

"Kau pernah ke Indonesia sebelumnya?" tanya Livvy penasaran.

"Ya," jawab pria itu singkat. Terlalu singkat, menurut Livvy.

"Oh... Berlibur?" usik Livvy lagi.

"Semacam itulah."

Livvy mengerutkan keningnya dan sengaja memasang tampang kebingungan.

Forever Mine (forever#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang