prolog

895 66 3
                                    

Sydney, Australia

Tubuh Livinna membeku saat ia merasakan tangan pria itu mulai menjelajahi tubuhnya sementara dia mencium mesra bibirnya. Pria itu membisikkan sesuatu ke telinga Livvy dan mulai mendorong tubuh gadis itu ke arah sofa.

"Livvy sayang, sudah lama sekali aku menunggu saat ini."

Tidak!!! Benak Livvy yang menjerit panik menyadarkan tubuhnya yang sedari tadi membeku. Bukan ini yang diinginkan oleh Livvy. Ia tidak datang ke sini untuk berakhir di ranjang pria itu atau tepatnya di sofa pria itu. Dengan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya, ia mendorong pria itu hingga sosok tersebut terhuyung-huyung menabrak meja sofa. Livvy memanfaatkan kesempatan itu untuk berdiri dan mulai merapikan gaunnya yang sedikit kusut. Lalu, gadis itu mendongak untuk menatap pria tampan bermata biru yang berdiri dengan tampang sedikit bingung.

"Apa-apaan ini?" bentak pria itu marah.

Hati Livvy mengerut kecil saat mendengar bentakan penuh amarah itu, tapi ia berusaha menguatkan dirinya. "Aku mau pulang," jawabnya sambil berusaha kedengaran ketus. Datang ke apartemen pria ini adalah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya. Livvy hampir mendekati pintu keluar saat lengannya ditarik dengan kasar. Pria itu membalikkan tubuhnya lalu menatapnya dengan campuran amarah dan rasa lapar yang tidak berusaha disembunyikannya saat dia melahap tubuh Livvy terang-terangan. Dia mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih.

"Kenapa? Kehilangan keberanian di saat-saat terakhir? Atau tawaranku tidak cukup untukmu, Livvy? Atau kau mengharapkan sebentuk cincin melingkar di jari manismu sebelum aku bisa menidurimu, itukah yang kau inginkan? Kenapa tidak kau katakan saja, berapa hargamu untuk semalam? Untuk gadis dari kalangan sepertimu, aku bisa membayar dengan pantas, kau tahu?"

Livvy tidak memerlukan pemicu lainnya, seumur hidup ia belum pernah merasa begitu terhina. Dengan penuh amarah ia merenggut lengannya sampai terlepas dari cengkeraman pria itu serta mengangkat tangan kanannya yang bebas dan menampar pipi pria itu sekeras-kerasnya sampai telapak tangannya terasa terbakar. Pastilah dia tidak pernah ditampar oleh siapapun sebelumnya, karena pria itu hanya bisa berdiri membeku dan menatap gadis yang berdiri di hadapannya dengan penuh kebencian. Livvy tidak mau membuang-buang waktu, ia langsung berbalik dan berlari secepat kilat meninggalkan apartemen mewah pria itu. Livvy menaiki taksi pertama yang ditemuinya dan baru bisa bernapas lega saat ia sudah duduk dengan aman di kursi belakang kendaraan tersebut. Tubuhnya masih gemetaran, entah oleh amarah atau karena rasa takut yang tadi sempat melandanya.

-------------------------------------------

Selamat menikmati, semoga berkenan dengan suguhan cerita ini.

=CZ=

Forever Mine (forever#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang