13

273 25 5
                                    

Ouuhh, baru sadar kalau ternyata part sebelumnya dianggurin lama. Balik up lagi nih, doain aja semoga lancar mulus terus tanpa tersendat. Yang suka, jangan lupa vote dan komentarnya yah. Oyah, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Semoga bulan ini membawa berkah. 

CZ

+++++++++++++++++++++++++++++++

Livvy berlari melalui lobi aparemen dan langsung menuju lift yang membawanya ke lantai sepuluh tempat apartemennya berada tanpa mempedulikan tatapan heran orang-orang. Matanya masih memerah dan tampak bekas air mata di pipinya, tapi Livvy tidak mempedulikan semua itu. Ia hanya ingin segera sampai ke apartemennya yang aman. Dua kali, dua kali selama lima bulan kehidupannya di Sydney, dengan dua pria kaya yang dikenalnya, Livvy diperlakukan seperti gadis murahan oleh mereka. Dua kali dalam kurun waktu seminggu benar-benar sudah keterlaluan.

Gadis itu membuka pintu apartemennya dengan pelan, masih dengan mencoba menahan isakannya, dan langsung merasa sedikit lega melihat ruang tamu mungil mereka sudah sepi. Hanya ada cahaya kecil dari lampu dinding mungil yang terpasang di dekat pintu masuk yang sengaja dibiarkan menyala, selain itu ruangan lain di dalam apartemen ini sudah sepi dan gelap. Livvy berjalan lunglai ke arah sofa dan menghempaskan dirinya ke atas benda empuk itu. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa yang empuk dan membiarkan air mata panas menuruni kedua pipinya. Dipejamkannya matanya untuk menenangkan dirinya. Livvy berusaha mengenyahkan bayangan ketika Xander menunduk dan menciumnya dengan paksa. Tapi gagal total. Ia berusaha menghilangkan rasa pria itu yang tertinggal di bibirnya. Namun juga gagal. Dan ia juga berusaha sekuat mungkin untuk mengutuk pria yang sudah berani memperlakukannya seperti itu, tapi Livvy malah menemukan dirinya menangis tersedu-sedu. Ini bukan sekedar air mata marah, juga bukan air mata karena merasa dihina, air mata ini memiliki arti lebih dari sekedar harga diri yang terluka. Jauh di dalam hatinya, Livvy tahu ia kecewa dengan sikap Xander. Padahal ia telah berpikir kalau pria itu mungkin sedikit lebih baik daripada Maurice. Dan kelakuan pria itu hari ini malah menunjukkan sikap yang sebaliknya.

Kecewa, memang perasaan yang menyesakkan dada. Tapi mungkin ini lebih baik, setidaknya Xander menunjukkan sifat aslinya jauh sebelum hati Livvy direbut olehnya. Livvy harus mengakui bahwa pria itu bisa dengan mudah mencuri hatinya, dan kalau sampai ia mengetahui siapa sebenarnya pria itu setelah semuanya terlambat, Livvy pasti akan mati karena patah hati. Mungkin ini memang lebih baik, perasaan kecewa memang lebih mudah disembuhkan. Padahal tadinya, Livvy sedikit tergoda untuk membiarkan pria itu mendekatinya. Ia berencana memberikan kesempatan bagi dirinya sendiri dan juga pada pria itu. Sedikit ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi ketertarikan yang dirasakan satu sama lain. Memang, ia sedikit menjaga jarak demi mempertahankan kewaspadaannya dan juga kewarasannya. Tapi kalau tidak tertarik dengan pria itu, bagaimana mungkin ia membiarkan Xander merecokinya terus-menerus, bahkan mengizinkan pria itu menjemputnya. Tapi ternyata, Xander hanyalah seorang pria brengsek.

Brengsek, brengsek, brengsek, maki Livvy dalam hati. Ia menghapus air matanya dengan kasar dan berjalan ke arah dapur sambil berpikir bahwa secangkir teh panas mungkin bisa sedikit memperbaiki suasana hatinya yang buruk. Dan juga untuk menghilangkan rasa ciuman itu dari bibirnya.

♥ ♥ ♥

Xander berjalan memasuki suite-nya di lantai tiga puluh empat Four Season Hotel dan menahan dirinya untuk tidak membanting pintu tersebut. Ia menuang segelas wiski dan membawanya ke ruang tamunya yang berdekorasi mewah. Tegukan demi tegukan minuman itu serasa membakar tenggorokannya tapi memang itulah yang dibutuhkannya sekarang. Ia menghela napas lelah dan berusaha untuk tidak memikirkan air mata gadis itu. Ia memang bukan pria yang mulia, tapi ia juga bukan pria brengsek yang dengan senang hati mempermainkan seorang gadis polos. Ia tidak bermaksud membuat Livvy ketakutan. Sial! Itu hanya sebuah ciuman, kenapa gadis itu bereaksi seakan ia ingin memperkosanya? Itu karena kau berbuat kasar padanya, sebuah suara di kepalanya memberitahu pria itu.

Sialan!

Xander kembali menenggak minuman yang sedang dipegangnya itu. Baik, mungkin ia memang salah, mungkin ia memang pria brengsek, tapi tindakan Livvy telah memicu lepasnya kontrol diri yang selama ini ia miliki dan ia bangga-banggakan. Ia tidak pernah bertemu dengan seorang gadis yang lebih membingungkan daripada Livvy. Bukankah gadis itu seorang pemburu harta, seorang gadis yang hanya mengejar dompet seorang pria? Xander bukannya tidak pernah bertemu dengan gadis seperti itu sebelumnya. Malah ia sudah kenyang pengalaman. Awalnya mereka memang memasang tampang dingin dan menjaga jarak, membuat si pria tergila-gila untuk mendapatkannya dan kemudian memerasnya tanpa ampun. Dan meninggalkannya ketika si pria sudah tidak memiliki apa-apa. Xander bukan pria bodoh yang bisa dengan mudah jatuh dalam perangkap seperti itu, tapi jika gadis-gadis cantik itu ingin bermain-main dengannya, Xander dengan senang hati melayani mereka. Tapi tanpa ikatan apa pun, tanpa komitmen apa pun dan mereka takkan pernah bisa mendapatkan lebih dari yang pantas mereka peroleh dari dirinya.

Xander berjalan ke arah jendela lebar sambil menatap pemandangan kota Sydney yang gemerlapan. Pikirannya kembali melayang pada Livvy. Gadis Asia yang memiliki kecantikan yang begitu lembut dan mampu memikatnya dalam sekejap. Mungkin saja Livvy juga tidak akan segan-segan merayu pria-pria kaya untuk kepentingannya sendiri. Bagaimana ia tidak berpikir seperti itu? Gadis itu lebih tertarik untuk mengetahui pekerjaannya dan bukannya cukup peduli untuk bertanya siapa nama pria yang sedang memberinya tumpangan? Dan lagi-lagi firasatnya benar, bagaimana mungkin gadis yang bekerja sebagai seorang pelayan kafe bisa tinggal di apartemen Harbour Garden Tower yang sewanya mencapai ribuan dolar Australia perbulannya. Bahkan untuk ukuran apartemen berkamar satu pun, gaji gadis itu pasti akan langsung habis digunakan untuk membayar sewanya. Jadi bagaimana gadis itu bisa bertahan hidup di lingkungan prestisius seperti itu jika semua gajinya sudah ludes untuk membayar sewa?

Dan sikap gadis itu yang dingin dan menjaga jarak juga membuatnya semakin yakin. Kalau memang tidak bermaksud merayunya, kenapa Livvy tidak mengabaikannya saja? Gadis itu menikmati perhatiannya dan juga tidak menolaknya dengan sungguh-sungguh. Jadi kenapa malam ini, ketika Xander menciumnya, gadis itu harus menangis sesenggukan seolah-olah dia gadis perawan yang baru pertama kali disentuh oleh seorang pria. Jadi, sisi manakah yang benar? Livvy si gadis penggoda atau sebenarnya dia memang seorang gadis polos yang belum mengenal sentuhan pria. Apakah air mata gadis itu hanyalah taktik belaka? Apakah tubuhnya yang gemetaran itu hanyalah sekedar sandiwara? Mungkin begitu cara gadis Asia memikat lawan jenisnya. Menunjukkan kepolosan dan keluguannya, dan bila si pria telah terjerat, baru dia akan menancapkan taringnya dan menghisap semua yang bisa didapatkannya.

Xander mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Ia mengutuk situasi yang sedang dialaminya saat ini. Kalau saja ia mendengarkan akal sehatnya, sekarang ia pasti sudah kembali ke Amerika. Tapi Xander tidak berminat untuk meninggalkan Sydney, tidak sekarang. Ia tidak akan meninggalkan tempat ini sampai ia bisa melihat apa yang ada di balik penampilan Livvy. Apakah gadis itu benar-benar seburuk yang dipikirkannya?  

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Forever Mine (forever#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang