"Minumannya, Sir?"
Pria itu meliriknya sekilas sebelum berkonsentrasi pada menu minuman yang disodorkan Livvy padanya. Livvy berdiri dengan sabar sementara pria itu memilih minumannya dan iseng-iseng ia memperhatikan sosok yang saat itu sedang serius membaca satu demi satu nama minuman yang tertera di buku itu.
Wow... adalah kata yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan penampilan pria itu. Sejak saat pria itu melangkahkan kakinya ke dalam kafe ini, Livvy berani bersumpah semua mata para gadis yang ada di ruangan ini melekat pada sosok tersebut. Dalam balutan jas resmi hitam yang necis, tubuh kekarnya yang menjulang tinggi tampak mendominasi seluruh ruangan tersebut. Tetapi pria itu kelihatannya tidak peduli, dia malah melangkah dengan penuh percaya diri menuju salah satu meja dan mengangkat tangannya untuk memanggil Livvy.
Dilihat dari dekat, pria ini tampak semakin memesona, pikir Livvy sambil membiarkan matanya menjelajahi wajah pria itu. Tampan tidak cukup menggambarkan karakter wajah pria itu. Dia tidak memiliki ketampanan seorang selebritis seperti yang dimiliki Maurice. Tapi, setiap bagian wajah pria itu seakan-akan menggambarkan kekuatan baja yang dimilikinya. Satu hal yang tidak Livvy temukan dalam diri Maurice, tentu saja. Livvy mulai memperhatikan pria itu dengan lebih teliti. Di mulai dari dahinya yang lebar dan indah, turun ke sepasang alis gelap yang membingkai kedua matanya yang tidak bisa dilihat Livvy dengan jelas, hidung mancungnya yang tampak arogan, kemudian diikuti sepasang bibir paling menggoda yang sayangnya tampak sinis di mata Livvy. Bahkan rahang pria itu seakan-akan memahatkan kekeraskepalaannya. Tak bisa dicegah, pandangan Livvy turun menjelajahi kulit leher pria itu yang kecoklatan, menelusuri bahunya yang sangat lebar, lengannya yang tampak kekar bahkan dari balik balutan setelan mahalnya dan berakhir di jari tangan pria itu yang lentik yang saat ini sedang mengetuk-ngetuk meja dengan gaya tidak sabaran. Tersentak, Livvy langsung mengangkat wajahnya dan napasnya seakan berhenti saat ia bertatapan dengan pria itu.
Makhluk memesona yang mencuri konsentrasi dan pikiran Livvy itu sedang tersenyum geli memandangnya. Livvy tidak bisa menahan rasa malu yang menjalari wajahnya. Demi Tuhan, apa yang sedang dilakukannya? Bagaimana mungkin ia membiarkan dirinya larut dalam lamunan saat membanding-bandingkan pria itu dengan Maurice. Pria brengsek yang hanya membawa kesialan dalam hidupnya. Pria yang seharusnya tidak lagi ia pikirkan keberadaannya. Otaknya pasti sudah rusak karena sesaat yang lalu ia membiarkan sosok Maurice singgah di pikirannya.
"Maaf," bisik Livvy pelan.
"Sudah sadar?" suara bariton yang indah melengkapi kesempurnaan fisik pria itu namun saat ini Livvy sudah terlalu malu untuk memperhatikan hal lainnya.
"Suka dengan apa yang kau lihat?"
Livvy mengerjap bodoh beberapa saat sebelum pemahaman atas kata-kata pria itu menancap di otaknya. Gadis itu menelan ludah beberapa kali saat berusaha menemukan suaranya yang masih tercekik di lehernya. Mungkin Livvy memang benar-benar terlihat bodoh, karena sejurus kemudian tawa kecil terlontar dari bibir pria itu.
Maka dengan terbata-bata, berusaha sebisa mungkin untuk memperbaiki kelakuannya yang memalukan, Livvy melanjutkan ucapannya dan mengabaikan pertanyaan pria itu, "Maaf, saya tadi sedikit melamun. Saya harap Anda bersedia memaafkan kelalaian saya barusan."
Diam sejenak. Livvy sudah khawatir kalau pria itu akan menyulitkannya sebelum terdengar jawaban ringan dari bibir pria itu, "Tidak masalah."
Mau tak mau, Livvy tersenyum lega. Ia tahu kalau sampai pria ini mengkomplain sikapnya, ia akan berada dalam masalah. Gadis itu menundukkan kepalanya sedikit dan mengucapkan terima kasih dengan tulus.
"Lalu, Anda ingin memesan apa, Sir?"
____________________________
=CZ=
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Mine (forever#1)
RomanceCerita ini sudah pernah diterbitkan beberapa tahun lalu dan ini adalah draft awalnya. Kisah tentang Livvy - gadis asal Indonesia dengan Xander - pengusaha kaya Amerika dan perjuangan mereka meraih cinta. =CherryZhang=