12

510 46 4
                                    


Mensepati janjinya kemarin, Livvy melihat Xander kembali duduk di meja kafe yang sama keesokan malamnya dan kembali menyantap makanan yang dipilih oleh Livvy karena pria itu bersikeras gadis itu yang harus menentukan menunya. Livvy sebenarnya tidak ingin menuruti keinginan Xander begitu saja, tapi ia sedang sibuk bekerja dan tidak punya waktu untuk berlama-lama di satu meja. Maka dengan berat hati, Livvy pun memilihkan menu untuk Xander.

"Silakan dinikmati, semoga Anda menyukainya," ucap Livvy sambil menjaga suaranya agar tetap terdengar formal, pura-pura buta dengan tatapan penuh arti yang bermain di mata pria itu. Setelah menyunggingkan senyum kecilnya, Livvy segera berlalu dari tempat itu. Ia tidak mau memberi kesempatan pada pria itu untuk mengacaukan hatinya lagi. Namun, dalam hati Livvy yakin tatapan pria itu pasti akan mengikutinya semalaman dan Xander pasti akan menunggunya sampai ia selesai bekerja. Mencoba mengabaikan pikiran itu, Livvy kembali menyibukkan diri. Masa bodoh, kalau Xander punya waktu sebanyak itu untuk dihabiskan dengan menunggunya, maka biarkan saja.

Dan lagi-lagi dugaannya tepat, Xander sudah menunggunya di dalam mobil ketika ia berjalan keluar dari Customs House. Pria itu melongokkan kepalanya dari jendela mobil dan menyapanya, "Livvy, biarkan aku mengantarmu pulang, please?"

Livvy tidak memiliki banyak energi untuk mendebat pria itu, maka dengan patuh ia mendekati mobil tersebut. Kalau memang Xander bersikeras, biarkan saja, lagi-lagi Livvy memberitahu dirinya sendiri. Ia akan menganggap pria ini sebagai supirnya saja, lagian itu berarti ia menghemat biaya transportasi yang harus dikeluarkannya bila ia naik bus. Tapi saat ia menatap Xander, ia tahu ia takkan bisa menganggap pria ini sebagai supir. Sama sekali tidak ada miripnya.

Pelan-pelan Livvy mendesah di dalam hati saat ia diam-diam memperhatikan pria itu. Supir itu seharusnya berpenampilan biasa saja, tidak dalam balutan kemeja yang menonjolkan otot-otot dada dan lengannya, tidak juga mengenakan celana gelap yang gagal menyembunyikan kaki-kakinya yang jenjang dan kuat. Supir itu harusnya sedikit botak, bukan malah memiliki rambut hitam tebal yang membuat lawan jenis tergoda untuk mengacaknya dengan gemas. Dan seorang supir itu dilarang untuk memiliki mata emas yang menyesatkan orang-orang, juga tidak seharusnya memiliki mulut yang begitu indah apalagi hidung mancung yang tampak terlalu arogan. Supir itu seharusnya pria yang sudah berumur, tidak tampan dan tidak juga kekar. Tidak menyerap semua oksigen di sekelilingnya dan tidak membuat ruangan mobil terasa sesak dengan keberadaannya. Pendek kata, Livvy begitu menyadari kemaskulinan Xander sehingga itu semakin menyulitkan tekadnya untuk tidak membiarkan dirinya menjadi milik pria itu, seperti yang sudah diucapkan pria itu dengan terus-terang. Oh sungguh mudah menyerah pada pesona Xander dan membiarkan pria itu memilikinya. Tapi Livvy tahu bagi pria seperti Xander, dirinya hanyalah sekedar tantangan yang ingin ditaklukan. Setelah mendapatkannya, Xander pasti akan mencampakkannya. Pria itu pasti juga sama seperti Maurice. Dan Livvy tidak sudi menjadi selingan bagi pria-pria kaya seperti mereka. Lain cerita, bila Xander ingin menjalin hubungan serius dengannya, ia mungkin akan tergoda.

"Sabuk pengaman."

"Hah?" suara Xander akhirnya sampai juga ke indera pendengarannya.

"Kau melamun lagi?" tanya Xander sambil tersenyum geli.

"Ti...tidak," bantah Livvy cepat-cepat.

"Aku bertanya, kau ingin memasang sendiri sabuk pengamanmu atau kau ingin aku yang melakukannya untukmu?"

"Oh..."

"So?"

"I can do it by myself," ucap Livvy sambil cepat-cepat memasangkan sabuk pengaman ke tubuhnya. Ia bisa gila kalau membiarkan Xander menyentuhnya lagi. Bisa-bisa ia akan langsung menyerah detik itu juga.

"Aku bisa melihatnya."

Livvy hanya terdiam.

"Kau tidak banyak bicara."

"Aku harus mengatakan apa?" cetus Livvy tanpa memandang Xander. Sebenarnya ia tidak berani mengizinkan dirinya untuk memandang pria itu.

"Baiklah. Katakan padaku, kapan hari liburmu? Aku ingin mengajakmu berkeliling Sydney."

Sekali ini ia lebih memilih untuk membisu. Mengatupkan bibirnya rapat-rapat, ia tidak mengabaikan ucapan pria itu barusan.

"Tidak mau mengatakannya? Kalau begitu, aku akan mencari tahu sendiri," putus pria itu dengan angkuhnya. Geram dengan tingkah Xander yang seenaknya dan juga marah pada sikap lembeknya terhadap pria itu, Livvy pun hilang sabar.

"Apa sih maumu? Kenapa kau tidak membiarkan aku saja? Aku tidak menyukaimu, Mr. Clayton!" Livvy menyerukan semua kekesalannya tanpa mempedulikan raut wajah Xander yang semakin membatu. Mereka kemudian berkendara dalam diam. Suasana tegang yang ada di antara mereka begitu intens sehingga Livvy hampir menangis dibuatnya. Ketika mobil itu sampai di depan kompleks apartemennya, Xander menginjak rem dengan tiba-tiba sehingga bunyi decitan ban memekakkan telinganya dan benturan yang terjadi hampir saja melontarkan gadis itu keluar dari kaca depan. Untung sebelumnya, Xander sudah memperingatkan tentang sabuk pengaman yang harus dikenakannya. Dengan marah, Livvy menoleh untuk mendamprat pria itu. Tapi dampratan itu tidak pernah meluncur dari bibirnya.

Xander sudah mencondongkan tubuhnya dan meraih Livvy dengan cepat, tangan kanannya meraih tengkuk gadis itu dan mendongakkannya. Dengan mata terbelalak lebar, Livvy tak berdaya saat melihat kepala pria itu menunduk di atasnya. Dengan panik, Livvy berusaha mendorong tubuh Xander agar menjauh, tapi kedua tangannya malah di tahan oleh tangan pria itu yang masih bebas. Bibir Xander kemudian berpesta pora, mencicipi bibir Livvy yang lembut dengan gairah yang tidak ditahan-tahan. Pria itu menciumnya tanpa ampun. Xander menggigit lembut bibirnya yang ranum, membuat Livvy menjerit tertahan dan pria itu pun tidak membuang kesempatan. Dia semakin mendekatkan wajah mereka dan memperdalam ciuman keduanya, membuat Livvy kehabisan napas dan gelagapan. Air mata amarah mengambang di kedua mata Livvy. Dan dalam keputusasaan untuk membebaskan dirinya, gadis itu menggigit bibir Xander sampai pria itu mengaduh kesakitan dan seketika melepaskannya.

Mata Xander tidak pernah lepas dari wajah gadis itu saat ia menghapus darah yang menempel di bibir bawahnya. "Kau kucing liar yang kecil. Berapa pria yang sudah mencicipimu sebelum aku?" desis pria itu marah.

Livvy tidak mempedulikan kata-kata Xander. Seluruh tubuh gadis itu bergetar hebat dan ia terisak pelan. Kenangan akan malam itu kembali menghantuinya. Ia tidak sudi menghabiskan sedetik lebih lama lagi bersama dengan Xander. Gadis itu meraih pegangan pintu dan menghambur keluar. Dan tanpa sempat menutup pintu mobilnya, Livvy sudah berlari menjauh. Xander memandangnya dengan tatapan aneh dan sedetik kemudian pria itu menghantam kemudi mobilnya.

_____________________________________________________

-CZ=

Forever Mine (forever#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang