Perlombaan

3K 187 2
                                    

Hari besar yang dinanti-nanti oleh Medina pun hadir. Perlombaan memasak tingkat internasional yang akan diselenggarakan di Wittenborg Univercity akan dimulai satu jam lagi. Jantung Medina berdegup sangat kencang, keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Betapa tidak, Medin akan mengikuti perlombaan besar yang belum pernah ia ikuti sebelumnya, dan hadiahnya pun tidak main-main, beasiswa kuliah di Wittenborg Univercity. Sebelum berangkat tadi Medina sudah sholat dhuha, meminta kemudahan dari Allah SWT, karena hanya Dia lah yang bisa mempermudah situasi. Berbeda dengan Medina, Chef Remon terlihat lebih tenang dari pada gadis itu, sejak tadi Chef Remon sibuk berbincang dengan peserta lomba yang lain.

Lima belas menit sebelum lomba dimulai, semua peserta sudah bersiap di pantry masing-masing, begitu juga dengan Medina dan Chef Remon. Jantung Medina berdebar semakin kencang. Perlombaan itu akan diliput oleh salah satu stasiun televisi terbesar di Belanda, sehingga seluruh warga Belanda bisa menyaksikan acara tersebut.

"Kamu tenang saja, anggap saja kita sedang memasak di dapur hotel seperti dulu kita bekerja." Bisik Chef Remon menenangkan Medina.

"Oke Chef." Jawab Medina singkat.

Waktu lomba pun tiba, semua peserta lomba sibuk mempersiapkan masakan terbaiknya. Peluh mulai mengalir di kening Medina, namun dengan sigap Chef Remon mengelap kening Medina dengan sapu tangan yang ada di saku celananya, adegan itu tertangkap kamera, sehingga membuat hati seseorang terasa sesak. Orang itu menyaksikan acara perlombaan itu di depan layar televisi di apartemennya. Karel, ya orang itu adalah Karel.

Peristiwa buruk terjadi saat waktu perlombaan hanya tersisa empat puluh lima menit lagi, Medina tak sengaja menumpahkan seluruh isi masakan yang hampir sembilan puluh lima persen selesai. Sontak seluruh peserta lomba, juri dan semua orang yang menyaksikan perlombaan itu kaget, pun dengan Medina dan Chef Remon. Medina teriak histeris, ia terduduk menyaksikan masakan yang berceceran di lantai. Untunglah Chef Remon bukan orang yang emosional, ia menenangkan Medina, ia sedikitpun tak marah pada gadis itu padahal impiannya untuk memenangkan lomba hampir pupus.

"Aku menghancurkan semuanya." Ujar Medina sambil menangis.

"Hei, untuk apa kamu menangis?" tanya Chef Remon duduk jongkok di samping Medina.

"Chef masih bisa tanya kenapa aku menangis, kau tidak lihat apa yang sudah ku lakukan?" teriak Medina.

"Aku tahu, tapi masih ada waktu. Dari pada kau menangis lebih baik kita buat masakan lagi."

"Apa kita masih bisa?"

"Medina yang ku kenal adalah gadis kuat dan selalu optimis. Bukan gadis cengeng seperti ini."

Medina menatap nanar wajah Chef Remon, gadis itu masih ragu apakah mereka masih bisa menyajikan hidangan yang lezat dengan waktu yang sangat singkat.

"Ya kita berusaha saja, hasilnya kita serahkan pada Tuhan." Ujar Chef Remon menatap lembut Medina. Sebenarnya pria itu masih menaruh harapan pada Medina, berharap Medina akan menerima cintanya. Namun lagi-lagi masalah keyakinan memang tidak bisa dirubah.

Akhirnya Medina bangkit, ia dan Chef Remon kembali membuat masakan, waktu yang tersisa kini hanya empat puluh menit lagi. Medina dan Chef Remon harus berusaha sekerasnya untuk menghasilkan masakan yang sempurna dalam waktu yang sangat singkat. Mereka membagi pekerjaan, Medina membersihkan ikan dan sayuran lalu Chef Remon menyiapkan bumbu. Sesaat kemudian mereka larut dalam pekerjaan masing-masing. Sesekali Chef Remon melirik Medina yang terlihat sangat serius, pria itu tersenyum kecil. Andai bisa, saat itu juga ingin memeluk Medina. Namun ia ingat, Medina bukan gadis yang bisa sembarangan ia peluk.

SYAHADAT CINTA DI APELDOORN (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang