Wedding Ceremony

3.8K 227 4
                                    

Sebulan kemudian acara pernikahan Hensen dan Medina di gelar di kediaman Pak Husain. Acara akad nikah yang dihadiri kerabat dan keluarga Pak Husain dan Keluarga Hensen yang dalam hal ini hanya Moeder Aleen Karel dan ketiga teman Karel, yaitu Larry, Drick dan Nico terasa begitu khidmat. Walau Karel sudah tak menjadi bagian dari De Vromme, ia masih menjalin komusikasi baik dengan ketiga temannya itu. Sarah dan keluarganya pun juga hadir di acara akad nikah Hensen dan Medina.

"Misi kita berhasil ya." Bisik Sarah pada suaminya, Ilyas yang saat itu duduk di sebelahnya. Ilyas hanya mengangguk sembari tersenyum.

Akad nikah dilaksanakan dengan bahasa Indonesia. Semua saksi tertegun saat mendengar wali mengucapkan bahwa mahar pernikahan adalah sehelai kain kerudung dan pembacaan surat Ar-Rahman oleh mempelai pria. Kenapa maharnya sesederhana itu? Bukankah Hensen mampu membelikan ratusan kali lipat dari pada itu? Jawabanya adalah karena Medina tak ingin memberatkan pihak mempelai pria. Karena wanita yang baika adalah yang maharnya sedikit. Medina hanya meminta sebuah kain kerudung untuk maharnya, kain kerudung yang disukai Hensen ketika Medina mengenakannya.

Medina keluar dari persembunyiannya saat para saksi mengucapkan kata, "Sah." Medina terlihat anggun dengan gaun berwarna putih lengkap dengan khimar dengan warna senada. Medina mendekat pada Hensen dan duduk menghadap Hensen. Persaan keduanya begitu campur aduk, gugup, malu, canggung. Kemudian Medina meraih tangan Hensen dan menciumnya. Saat itu juga hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh Medina. Ia masih tak percaya bahwa dia sudah menjadi istri seorang Hensne Everhart. Setelah itu, giliran Hensen mencium kening Medina. Hensen terlihat lebih santai. Setelah itu, dengan sangat khusyuk dan merdu Hensen membacakan surat Ar-Rahman dihadapan Medina dan para saksi. Deraian airmata mulai mengalir di pipi Medina dan semua saksi saat itu. Sungguh mahar yang sangat indah.

Semua tamu undangan memberikan selamat pada Hensen dan Medina, setelah itu mereka menikmati hidangan yang sudah di siapkan oleh Pak Husain dan keluarga. Meoder Aleen tampak sedang berbincang dengan Pak Husain dan Bu Husain, sementara itu Karel dan ketiga temannya sedang menikmati hidangan bersama tamu yang lain. Seketika acara pernikahan Hensen dan Medina menjadi ajang jumpa fans, hampir semua tamu undangan mengenal De Vromme sebagai group musik yang sedang naik daun bahkan lagu-lagu mereka sudah mencapai chart billboard.

***

"Hens, ada yang ingin ku bicarakan padamu." Ujar Medina pada Hensen yang saat itu sedang mengancingkan piamanya.

Hensen dan Medina sudah menganti pakain mereka dengan baju tidur. Hensen melihat Medina tanpa kerudung, rambutnya begitu panjang dan indah.

"What is that my dear wife?"

"Sebenarnya....."

"Sebenarnya apa?" Hensen mendekati Medina yang duduk di tepi ranjang.

"Boleh aku jujur padamu?"

"Katakanlah. Jangan membuatku penasaran seperti ini."

"Sebenarnya..." Medina mulai gugup. "Sebelum menikah dengan mu aku telah mencintai seorang pria. Bahkan aku sangat mencintainya. Dan aku ingin sekali menikah dengan pria itu. Tapi......."

"Tapi kau menerima lamaran ku dan menikah dengan ku?" Hensen menatap tajam mata istrinya. "Lalu kenapa kau bersedia menikah dengan ku? Kenapa kau tak mengatakanya dari awal? Sekarang kau menyesal menikah dengan ku?" nada bicara Hensen mulai meninggi. "Sekarang kau masih suci Medina, aku belum melakukan apa pun pada mu, kau boleh pergi dan menikah dengan pria yang kau cinti itu." Kata Hensen kemudian bangkit dari duduknya.

"Hens, coba lihat mataku." Medina berdiri dan menghadap Hensen, ia manatap lembut wajah suaminya. Medina tersenyum tipis. "Pria itu adalah kau Hensen." Kata Medina seraya memeluk suaminya.

"Masya Allah, sayangku. Kau hampir membuatku marah." Hensen memeluk erat tubuh istrinya.

Inilah cara Medina mengungkapkan rasa cintanya pada Hensen. Walau sempat membuat Hensen merasa kecewa dan marah namun Medina berhasil membuat hati suaminya itu berbunga-bunga. Bagi Hensen ini adalah perlakuan romantis yang pernah diterimannya.

"Oh iya istriku." Hensen mengurai pelukannya.

"Kenapa?" Medina kaget.

"May i ask something for you my dear wife?"

"Tanya apa?"

"Tapi janji kau jangan tersinggung?"

"Tanya apa sih? Bikin penasaran aja deh."

Hensen menatap lebut kedua mata istrinya. "Boleh aku tahu berapa banyak mantan pacarmu?"

Alih-alih menjawab, Medina malah tertawa.

"Kenapa tertawa. Aku nggak bercanda lho." Hensen terlihat geram.

"Suami ku yang paling tampan dan paling baik. Kau bertanya padaku perihal mantan pacar? Nah, ini saat yang tepat untuk ku mengakui semuanya di depan mu. Jangankan mantan pacar wahai suami ku, jatuh cinta pada seorang pria pun belum pernah. Tadi kan sudah ku katakan bahwa sebelum menikah dengan mu aku mencintai seorang pria. Dan itu adalah kau. Itu artinya......" Medina memutus ucapannya.

"Artinya?" tanya Hensen, ia seperti tak sabar menanti kelanjutan penjelasan istrinya.

"Itu artinya kau adalah pria yang membuatku jatuh cinta untuk yang pertama kalinya dan Insya Allah juga untuk yang terakhir kalinya."

"Maafkan aku Medina." Hensen kemudian memeluk kembali istrinya.

"Maaf untuk apa?" tanya Medina.

"Bahwa kau bukan orang yang pertama untuk ku. Dulu aku pernah berpacaran dengan seorang gadis ketika SMA. But trust me, you'll be the last." Hensen mengecup lembut rambut istrinya. "Kau tau? Kau itu gadis termanis yang pernah ku temui."

"Ih ternyata kamu jago ngegombal juga ya."

"Apa itu ngegombal?"

"Me ra yu."

"Merayu? ini memang kenyataan kok. Bukannya kalau aku memperlakukan istriku dengan baik dan memujinya aku akan dapat pahala ya?"

"Iya sih. Ah, sudahlah aku mau tidur. Aku ngantuk dan lelah sekali. Berjabat tangan dan mengobrol seharian dengan para tamu membuatku badanku pegal-pegal." Medina melepaskan diri dari pelukan Hensen dan berjalan menuju tempat tidur.

"Ehmmmmmm....." Hensen berdehem.

"Apa sih?" Medina menoleh.

Hensen tersenyum sembil menganggak alis kirinya.

"Aku sedang haid. Anda sedang tidak beruntung. Coba lagi besok." Ujar Medina seraya mengangkat kedua bahunya.

Hensen menghela nafas panjang, menyadari bahwa dirinya memang sedang tidak beruntung. Dalam hatinya ia tersenyum. Hensen pun menyusul istrinya yang sudah lebih dulu tertidur.


Ucapan Fatimah Az-Zahra setelah menikah dengan Ali bin Abi Thalib

SYAHADAT CINTA DI APELDOORN (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang