Em memeluk dirinya sendiri di balik kaca mobil yang tengah melaju. Benda melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan waktu pukul sebelas malam. Sesekali Em merogoh kembali saku mantelnya, mengambil benda eletronik layar sentuh untuk memastikan, apakah waktu berjalan dengan seharusnya, apakah jam tangannya menunjukkan waktu yang sesuai.
Tapi nihil. Ini seperti selamanya.
Detik waktu berjalan begitu lambat seolah tak menginginkan Em tiba di rumah lebih cepat. Em benci merasa seperti ini. Ini terlalu larut untuknya. Cuaca sedang tak baik di luar sana dan itu membuatnya semakin gelisah.
"Bisa lebih cepat?" tanya Em pada orang yang sedang memfokuskan pandangannya ke depan, menembus jalanan Manhattan. "Ini sudah terlalu larut. Kumohon."
Sopir taksi yang sedaritadi berusaha menahan emosinya, kembali menghela napas. Sepertinya dia tidak benar-benar bisa menangani penumpang malam seperti Em. "Sebentar lagi, Nona. Bersabarlah."
Namun kata-kata itu tak bisa meredakan perasaan yang mengganggunya. Rok pendek warna krimnya kini pun ikut terkena imbasnya karena jemari Em semakin lihai memilinnya. Entah berapa kali helaan napas dilepaskannya. Kini Em melakukan hal itu lagi, sambil membuang pandangannya ke jalanan.
Em mungkin tidak bisa bertahan lebih lama lagi apabila jalanan sedang berada dalam jam puncaknya. Kenyataannya, lalu lintas memang tak padat, taksi melaju konstan, kehidupan malam mulai terbentuk di luar sana. Tapi ia tetap saja tak kunjung tiba di tempat tujuan.
Bermenit-menit berlalu dalam kegelisahan. Menembus jalanan kota New York pada Senin malam yang rasanya tak seramai biasanya. Entahlah. Em tak tahu apa yang salah. Biasanya dia merasa gelisah ketika pulang terlambat, tapi tak pernah segelisah ini.
Semua ini karena bosnya yang terlambat memberikan pemberitahuan untuk bekerja lembur. Waktu sudah menunjukkan pukul lima ketika Em bersiap pulang. Bosnya, Tuan Trindl, tiba-tiba menghampirinya untuk mencegahnya pulang. Suatu pekerjaan yang harus segera diselesaikan, memaksanya untuk bekerja hingga selarut ini.
Sebenarnya, Em tidak siap untuk bekerja lembur malam ini. Tapi tak banyak yang bisa dilakukannya. Dia hanya seorang asisten dari seorang kepala divisi di suatu perusahaan konsultan yang tengah merintis. Em membutuhkan pekerjaan ini untuk bertahan hidup di kota metropolitan seperti New York.
Mobil warna kuning itu berhenti di sebuah gedung apartemen sederhana di tengah kota. Bahkan dengan sigapnya, Em membuka pintu sebelum taksi itu berhenti sepenuhnya.
Akhirnya.
Em keluar dari mobil tumpangannya, setelah membayar dengan segulung dolar-Em meyakini uang itu lebih daripada harga seharusnya, ia tak terlalu peduli. Em hanya perlu tiba di apartemennya, segera.
Kakinya dengan lincah menaiki beberapa anak tangga yang menyambutnya sebelum memasuki gedung. Semakin lincah lagi ketika harus menaiki puluhan anak tangga untuk mencapai lantai tiga.
Gedung ini tak punya lift yang mungkin mempermudah Em mencapai apartemennya. Tapi tak ada masalah dari itu. Nilai ekonomis gedung ini memang sangat menggiurkan di tengah kemelut perekonomian negeri.
Bangunan itu tidak terlihat spesial. Hanya sebuah gedung yang tak dicat. Ornamen batu-bata itu konon merupakan gaya artistik tersendiri. Namun Em meyakini, itu hanya semata-mata karena pengelola gedung ini tak mempunyai cukup uang untuk menyelesaikan pembangunan.
Tangan Em merogoh ke dalam tas jinjingnya. Sepatu hak tingginya beradu dengan tangga beton. Dia sama sekali tak keberatan dengan keadaan apartemen yang sepi ketika hampir tengah malam. Beruntung, meski sederhana, tapi gedung itu tak pelit dalam urusan pencahayaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Love
RomanceSURRENDER SERIES #1 √ Completed √ ~ Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Em untuk mengobati luka di hatinya. Susah payah ia bangkit, hingga akhirnya ia berjuang membangun kembali puing-puing kehidupannya. Namun semuanya berantakan sejak...