Seperti biasanya, Ryan selalu berlari ketika melewati tangga untuk mencapai lantai tiga. Em dengan sepatu hak tingginya dan sisa-sisa tenaganya setelah seharian bekerja harus mengalah tertinggal di belakang. Hari ini benar-benar melelahkan untuknya.
"Ayo, Bu! Ayo, Will!" teriak Ryan yang telah lari ke lantai atas. Em menduga, anak itu telah tiba di lantai dua.
"Apakah kalian terlalu lemah?!" teriak Ryan yang telah hilang sosoknya.
"Ada apa dengan anak itu?" gumam Em pelan. Gerakannya tidak bisa lagi disebut melangkah. Ia telah menyeret kedua kakinya untuk menaiki tangga. Selama tujuh tahun ia tinggal di sini, baru kali ini ia mengeluhkan tak adanya fasilitas lift. "Lantai tiga, sialan."
"Sesuatu terjadi pada kakimu," kata Will yang ternyata masih setia berada di belakang Em menjadi sosok pelindung. "Kau sebaiknya melepaskan sepatumu."
"Kau benar." Em setuju dan mengikuti saran Will. Ketika kakinya menginjak bidang datar, ia bahkan mengerang lega karena dinginnya lantai gedung ini. Ia mulai memerintahkan kakinya supaya tiba lebih cepat di apartemennya.
Mereka belum tiba di lantai dua ketika Will menarik Em hingga punggungnya membentur dinding. Lengan Will memenjarakannya. Tubuh Will condong padanya. Em bisa mencium bau soda yang diminum Will saat makan malam. Napas Will menerpa kulitnya menyebabkan reaksi tak terduga. Em memejamkan matanya sementara bibirnya, entah mengapa, sangat ingin dilumat oleh pria ini.
Em terangsang hanya dengan disudutkan.
"Apa kau perlu bantuan, Emmy?" bisikan Will terdengar sensual. Em bahkan melupakan di mana mereka berada. "Aku mungkin bisa menggendongmu sampai lantai tiga."
Tersentak, Em menatap mata biru itu. Mata biru yang terbakar. Mata biru yang menelanjanginya. Mata biru yang diliputi gairah. Entah dorong dari mana, tangan Em mendapat gerakan secepat kilat untuk meraih wajah Will. Menariknya dalam sebuah ciuman yang sangat dalam. Keduanya mengerang. Saling menyentuh tak tahu arah. Bergairah. Sementara mereka berdiri di tengah-tengah bordes tangga apartemen.
Sial. Bagaimana Em bisa kehilangan kendali?
"Favoritku," ucap Will setelah melepas ciuman mereka. Will mengecup berkali-kali setelahnya. Em tahu hasrat menggebu pria itu. Will sudah tak tahan untuk melumatnya habis-habisan. Tentu saja, mereka tipikal orang yang brutal saat berhubungan seks. Namun sepertinya Will cukup menyadari tempatnya berada. "Mari kita lanjutkan ini di suatu tempat."
"Tidak." Sementara suaranya terdengar setengah mendesah, siapa pun tahu, Em sedang berdusta. "Kita tidak akan melakukannya di mana pun."
"Kenapa?"
"Karena aku butuh kasurku yang menggiurkan sekarang ini." Em mengerling dan dibalas tawa pelan dari Will. Em menapaki kembali tiap-tiap anak tangga. Will mengikuti setiap langkahnya.
"Aku juga membutuhkan sebuah kasur di mana kau berada. Akan sangat menyenangkan di sana bersamamu."
Em tahu, Will tengah menggodanya. Sejujurnya, Em memang tergoda. Seringaiannya terbit untuk menggoda Will. "Teruslah berusaha, Archer. Cobalah keberuntunganmu."
Will terkekeh, ia menyeringai pada Em. "Tahukah kau bahwa aku adalah jimat keberuntungan di tim basketku saat SMA? Keberuntungan dan aku adalah teman lama, Em. Dia pasti akan dengan senang hati membantuku kali ini."
"Kita lihat saja." Em menyeringai pada Will tepat ketika kaki mereka tiba di lantai tiga. Ketika Em melemparkan pandangan ke pintu apartemennya untuk mencari Ryan yang mungkin sedang duduk terlantar menantinya, ia tak mendapatkannya. Ryan justru sedang berdiri tegang sementara rautnya menandakan kekesalan. Tangannya terlipat di dada. Ia menatap Em dengan seksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Love
RomansaSURRENDER SERIES #1 √ Completed √ ~ Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Em untuk mengobati luka di hatinya. Susah payah ia bangkit, hingga akhirnya ia berjuang membangun kembali puing-puing kehidupannya. Namun semuanya berantakan sejak...