SL - BAB 5

16.4K 1.2K 21
                                    



"Terima kasih atas pengertiannya, Tuan Trindl."

Suara Max Trindl yang berat terdengar di kejauhan sana. "Tentu. Tapi ingat janjimu."

Em tersenyum sambil memindahkan ponsel ke telinga kiri. "Ya. Aku akan kembali begitu masalah dengan mobilku selesai. Tak akan lama. Aku janji. Semuanya telah kusiapkan dan telah kukirim ke email-mu. Kau hanya perlu mengeceknya. Aku akan memperbaikinya begitu aku tiba di kantor."

Hening sejenak. Em membayangkan bahwa bosnya itu sedang berusaha keras membuka mata, namun asistennya benar-benar mengganggu sisa pagi harinya hanya untuk ijin terlambat. Kemudian terdengar lagi suara Max. "Oh, ya. Begitu saja. Selamat pagi." Max menutup panggilan itu terlebih dahulu.

Em menatap layar ponselnya dengan heran. Lantas mengabaikannya. Dan berlanjutlah kegiatan pagi harinya.

"Ryan!" teriak Em.

Ya, itulah kegiatan pagi harinya di hari efektif. Dia harus mengerahkan seluruh suaranya untuk menyiapkan Ryan ke sekolah.

Ryan keluar dari kamarnya dengan wajah lesu meski selesai mandi. Dia telah mengenakan pakaiannya ke sekolah, terlihat rapi, dan membawa tas punggungnya. Namun tak ada semangat dalam raut wajahnya. Seperti setiap paginya.

Em menyodorkan roti isi buatannya. Menyodorkan roti isi lain yang telah terbungkus kantong kertas untuk bekal makan siang Ryan. "Ubah wajahmu, Nak. Kau sama sekali tidak terlihat keren untuk ukuran remaja."

Ryan mengunyah dengan malas. "Menurutmu begitu?"

Em mengendikkan bahunya. Memakan sarapannya sendiri.

"Aku benci menunggu di halte pada pagi hari," gerutu Ryan.

"Aku lebih benci mendengar ban yang tersangkut di atas pohon."

Ryan mendengus. "Itu bukan masalah serius, Em."

"Jika kau tak mengijinkanku mengadukan hal itu ke pihak sekolah, jangan membantahku untuk menggunakan bus ke sekolah selama mobilku belum selesai diperbaiki."

Ryan terlihat tidak setuju, tapi tidak mendebat lebih lanjut. Selanjutnya mereka hanya makan dalam keheningan. Namun Em menangkap kerut-kerut di wajah Ryan seraya mengunyah sarapannya. Pikiran putranya sedang melalang-buana. Em bertanya-tanya, kiranya apa yang tengah dipendam putranya?

* * * * *

Em membayar taksi dengan segulung uang ketika dia telah berhenti di sebuah bengkel di pinggiran kota. Bukan bengkel yang besar, karena Em tahu, dirinya tak akan sanggup membayar tagihan yang mungkin dikeluarkan untuk menebus mobil tuanya.

"Hai, Mike!" sapa Em pada seorang mekanik yang tengah mengotak-atik VW 90'an-nya. "Bagaimana?"

Pria berambut ikal gelap itu menyeka peluh di keningnya. Mike telah menjadi mekanik yang mengurus mobilnya selama masuk ke bengkel ini. Bukan suatu kesulitan mengenal pria yang ramah itu. Mike menyeringai pada Em. "Butuh waktu yang cukup lama. Tapi aku telah berjanji akan menyelesaikannya."

"Apakah semuanya baik-baik saja?"

Mike mengendikkan bahunya ke arah mobil Em yang berwarna biru pudar. "Ada beberapa yang harus diganti. Kau mungkin butuh sekitar dua ratus dolar untuk itu. Aku akan mencari onderdil dengan harga terjangkau. Kau keberatan dengan barang murah?"

Sial, dua ratus dolar! Em bisa membayar sebagian tagihan dengan dua ratus dolar.

Em menggeleng mengenyahkan keberatannya. "Sama sekali tidak. Aku membutuhkan pengeluaran seminim mungkin."

Surrender of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang