Bodoh. Bodoh. Bodoh.
Bagian dalam diri Em terus mengatainya. Mengoloknya. Menghakiminya.
Bagaimana mungkin ia tak menyadari ini sebelumnya? Ia sudah pernah hamil. Kelelahan ekstra, nafsu makan berkurang, pusing yang sering menyerangnya; seharusnya itu telah menjadi pertanda. Ia tak pernah memperdulikan siklus menstruasinya yang tidak menentu sejak melahirkan Ryan. Tapi bagaimana mungkin ia kehilangan kendali?
Kau sudah tahu resikonya.
Aku tahu.
Kau menerimanya?
Aku menerimanya. Aku bahagia. Aku, Ryan, dan bayiku. Tak ada yang lain.
Tetap saja, kau ceroboh.
Em sangat tahu hal itu. Ia tahu ia ceroboh. Itu hanya empat hari terkutuk yang tak diduganya. Sekeras apapun ia melakukan seks yang aman, ia pernah beberapa kali kehilangan kendali dan melupakan kondom. Tidak memperhitungkan pil pengendali kehamilan. Atau mungkin kecacatan terjadi pada kondom yang ia gunakan. Atau mungkin sel sperma Will yang terlalu subur untuk membuahi, tak peduli jika itu adalah cairan pre-cumnya. Atau rahim Em pula yang kelewat subur sehingga dua kali ia melakukan seks dengan dua pria berbeda, dua kali pula ia menghasilkan keturunan pria itu.
Ia tak akan mengeluh. Ia tak akan menyalahkan keadaan. Ia juga bahagia dengan sosok baru yang akan hadir dalam hidupnya. Yang harus ia lakukan hanyalah menjauh dari Will sebelum pria itu mengambil segala hal darinya, sebelum Will berhasil menghancurkannya.
~
Will telah selesai dengan Max Trindl. Ia sempat beberapa kali bertemu dengan lelaki berumur setengah abad itu, ketika menjemput Em. Menurutnya, Max adalah orang yang bisa diajak bekerja sama. Meminta ijin karena Em sedang tidak sehat bukanlah sesuatu yang sulit. Em dimudahkan dengan adanya karyawan magang yang bisa menggantikan pekerjaannya untuk sementara waktu.
Ryan pun mau diajak bekerja sama dengan mandiri, mengurusi dirinya sendiri sebelum berangkat sekolah dan tak mengeluh soal halte atau keterbatasan Will yang tidak dapat mengantarnya. Will harus menjaga Em.
Wanita itu masih terduduk di sofa apartemennya. Masih diam sejak semalam. Tak bicara sepatah kata pun pagi ini sejak kepulangan mereka. Tatapan mata gelap itu masih kosong. Em sama sekali tak memperdulikan sekitarnya, bahkan tidak pula menanggapi Ryan.
Will merasa bias. Kecemasannya menjadi-jadi. Apalagi jika mengingat saran dokter agar tidak membuat wanita hamil itu stres.
Setelah apapun yang terjadi dalam hidup Em, Will tahu semua ini pasti akan sangat berat. Kehamilan keduanya di luar pernikahan, di luar kehendak, pastilah bukan suatu hal yang bisa diterima Em dengan mudah. Terlalu banyak yang telah wanita itu lalui.
Will mendekati Em perlahan. Wanita itu bahkan masih saja tak memperdulikannya meski Will telah berada di sampingnya. Televisi di depannya menayangkan berita pagi, namun mata wanita itu, meski tertuju ke sana, tak sedikit pun seperti ia memperhatikan.
"Em?" Will mengaduk sup krim jagung buatannya. Demi Tuhan. Ia merasa Em kehilangan berat badannya dalam semalam. "Aku telah menelpon Max. Dia baik-baik saja dengan absenmu."
Tidak ada jawaban dari Em.
Will belum menyerah. "Aku membuatkan sup krim. Aku tak tahu bagaimana rasanya, tapi aku telah memastikan bahwa kau tak akan muntah-muntah pada suapan pertama." Will menyendokkan sup dan menyodorkan ke dekat mulut Em. "Kau harus makan, kau tahu."
![](https://img.wattpad.com/cover/108542892-288-k387922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Love
RomanceSURRENDER SERIES #1 √ Completed √ ~ Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Em untuk mengobati luka di hatinya. Susah payah ia bangkit, hingga akhirnya ia berjuang membangun kembali puing-puing kehidupannya. Namun semuanya berantakan sejak...