SL - BAB 14

10.7K 910 17
                                    



Will termangu menatap pintu kaca yang baru saja dilewatinya untuk menggendong Em. Wajahnya lebih tak layak jika disebut kusut. Ketakutan tak mau pergi menghantuinya. Tangan-tangannya terkepal menahan gemetar yang tak kunjung reda. Ia bahkan tak yakin bisa bertahan di kursi ini lebih lama.

Akhirnya Will memutuskan untuk berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan pikiran kosong. Rasa cemasnya mendominasi. Ia tak tahu apa yang akan dilakukannya bila sesuatu terjadi pada Em.

"Will?" Suara Ryan terdengar gentar untuknya. Bocah itu pasti sedang berusaha menahan tangis. Ryan tahu dirinya harus melindungi Em. Menangis bukanlah adalah suatu hal yang terlarang meskipun itu legal. "Apakah ibuku akan baik-baik saja?"

"Em akan baik-baik saja." Will meyakinkan. Sementara dirinya sendiri tak yakin. Tapi jika dirinya putus asa, siapa yang membantu Ryan membangun asa? Anak itu lebih membutuhkannya saat ini.

"Aku takut," kata Ryan lirih.

Will kembali duduk, kali ini menempatkan diri di samping Ryan. Memeluknya. Menguatkannya. "Dia akan baik-baik saja. Dokter akan melakukan segalanya."

Dalam hati Will mengutuk bajingan tak ia kenal yang mengaku sebagai bagian dari hidup Em dan Ryan. Apanya yang paman Ryan? Em saja terkesan ingin melarikan diri dari pria itu pada detik pertama melihat batang hidungnya. Beruntung perhatian Will teralihkan pada Em yang jatuh pingsan. Bajingan itu sudah di ambang napas terakhirnya, tinggal tiga pukulan lagi dan Will akan masuk penjara karena membunuh. Tapi Will tak peduli.

Pintu terbuka dan seorang perawat paruh baya menghampirinya. "Keluarga Nyonya Joseph?"

"Ya."

"Nyonya Joseph baik-baik saja. Ia hanya kelelahan, stres, dan syok. Kami sarankan lebih baik ia beristirahat di sini malam ini untuk istirahat total. Jika beruntung, pagi-pagi sekali ia sudah bisa keluar dari sini."

Will dan Ryan mendesah lega. Will tak ingat kapan terakhir kali ia berdoa, namun kali ini ia memanjatkan pujian pada Tuhan. Rasa syukur tak terkira.

"Dokter akan menemui kalian sebentar lagi untuk penjelasan lebih lanjut dan apa saja yang harus dilakukan," lanjut perawat itu.

"Terima kasih," kata Will.

"Bolehkah aku masuk melihat ibuku?" tanya Ryan.

Perawat itu tersenyum. "Tentu, Nak. Sebentar lagi pasti ibumu sudah sadar."

Will dan Ryan bergegas masuk ke ruang gawat darurat. Em berada di ranjang pertama yang terdekat dengan pintu. Wanita yang terlihat kuat dan mandiri sehari-harinya, kali ini terlihat lemah dengan selang infus yang melekat di pergelangan tangannya. Selama beberapa saat, napas Will tercekat karena tak kuasa melihat keadaan Em yang terbujur seperti itu.

"Dia baik-baik saja," kata Will pada Ryan. Bocah itu mengeratkan pelukannya pada Will. Mendadak Will dilanda perasaan protektif ketika mendapati Ryan ketakutan seperti ini. Ia benar-benar menyayangi anak ini.

Tak lama kemudian gerakan terjadi pada kelopak mata Em. Ryan serta merta menghampiri ibunya yang baru saja siuman. Memeluk Em seolah benar-benar takut kehilangan. "Ibu... Ibu..."

"Hei," kata Em dengan nada lemah. Matanya masih sayu seolah enggan terbuka. Ia mengusap kepala Ryan dengan penuh kasih sayang. "Kau di sini."

"Aku takut sesuatu terjadi padamu."

"Aku baik-baik saja." Em beralih pada Will. "Terima kasih telah menjaga Ryan."

Will mengangguk. "Bagaimana perasaanmu?"

Surrender of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang