Waktu telah menunjukkan pukul lima dan Will telah berada di dalam mobilnya yang terparkir sempurna di tepi jalan, di depan sebuah gedung bertingkat di mana Em bekerja. Menurut Ryan, wanita itu tidak mengambil waktu lembur, sehingga wanita itu seharusnya telah keluar dari gedung setidak-tidaknya sekarang.
"Kau yakin dia akan pulang tepat waktu?" tanya Will pada bocah yang tengah memakan burgernya dengan lahap.
"Ya," jawab Ryan selagi mengunyah. Ia menelan dengan cepat, meminum soda yang telah dibelinya, lalu menatap Will. "Ibu berjanji akan mengajakku makan malam di luar."
Diam-diam Will merasa senang ketika bocah itu telah membiasakan diri untuk memanggil Em dengan sebutan ibu. Itu mengingatkannya lagi di hari pertama ia mengenal Ryan, bocah itu bercerita bahwa ia tinggal dengan Em—yang kala itu Will kira adalah kakak perempuannya. Dengan perubahan yang terjadi sekarang ini, Will benar-benar bersyukur.
Sejak kejadian dua bulan lalu, di mana pertengkaran hebat yang disaksikan Will terjadi, ia telah berusaha sekeras mungkin membujuk Ryan supaya meruntuhkan egonya. Perlu banyak hal yang dibicarakan Will pada bocah itu hingga sampai pada titik ini.
Em sudah lebih banyak tersenyum jika di hadapan putranya. Senyum yang sebelumnya tak terlalu sering dilihat Will. Wanita itu juga telah sedikit luluh padanya hingga membiarkan Will berada di sekitarnya dan Ryan. Sejauh ini, Will merasa puas dengan perjuangannya.
"Will, aku bertanya-tanya." Ryan menarik pikirannya kembali. Makanan yang tadinya terlihat menggugah selera bagi Ryan hanya dipandangi seolah makanan itu bersalah. Bocah itu tengah sibuk dengan pikirannya, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Will tahu betul gelagat itu. Waktu yang mereka habiskan terlalu banyak sehingga Will telah mengenal bocah itu dengan baik. Saat Ryan tak menatapnya ketika bicara, itu artinya sesuatu yang penting tengah mengganggu pikirannya. "Apakah kau tidak tertarik pada ibuku?"
Pertanyaan itu membuat Will tersentak. Sudah lama sejak kejadian di ranjang Em dan di mobil ini, ia belum pernah berhubungan seksual dengan siapa pun lagi. Will hanya menginginkan Em. Ia sangat tahu bahwa dirinya hanya bisa tertarik pada Em saja. Setiap harinya ia harus puas dengan tangan dan fantasinya. Ia tak ingin memaksa atau ia akan berakhir menjadi seorang brengsek lainnya untuk Em. Sebagaimana wanita itu yang tak memaksanya untuk menyerahkan diri. Namun Will dalam hati juga bertanya-tanya, kapan kirinya Em menginginkan dirinya? Will juga tak akan berpikir dua kali jika saja Em meminta untuk dipuaskan.
Tetapi Will tahu, bukan itu yang dimaksud Ryan.
Will balas beralih pada Ryan yang tengah mengerutkan alisnya dengan seksama. Ia menanti jawaban Will sementara kecemasan pun tersirat di wajahnya. "Tentu saja. Seperti kataku, ibumu adalah sosok yang luar biasa."
Ryan menggeleng. Ia meletakkan kembali burgernya ke kantong kertas, lalu mengamati Will dengan seksama. "Maksudku, apakah kau tertarik padanya secara fisik? Aku tahu ibuku hebat karena telah berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhanku, tapi... apa menurutmu dia cantik?"
Cantik. Seksi. Panas. Sensual. Amat sangat menggairahkan. Will punya banyak kata yang bisa menggambarkan keindahan dalam diri Em.
Will tersenyum penuh arti. Bukan bagian dari senyum jahil atau seringaiannya. Senyum tulus untuk menggambarkan apa yang ia pikirkan tentang Em. "Ya, dia cantik."
"Kau menyukainya?" tanya Ryan dengan semangat. "Apakah kau mencintainya?"
Will terhenyak. Ia mengangkat tangannya untuk menghentikkan Ryan supaya tak melewati batas. "Wow, Bung, tahan! Aku memang tertarik pada ibumu. Dia cantik dan seorang ibu yang hebat. Tapi aku tak yakin jika sejauh itu."
Bahu Ryan merosot seketika. Ia mengalihkan pandangannya dari Will. Mendesah putus asa. "Jadi... apakah kau tak mencintai ibuku seperti ayahku?"
Mendengar sosok itu disebut lagi, membuat Will mendidih. Sejak hari di mana Ryan menanyakan keberadaan bajingan itu, Will telah memberi peringatan pada Ryan untuk tidak mengungkitnya lagi. Itu akan terlalu menyakitkan untuk Em dan berpotensi menyulut emosi Will hingga rasanya seperti ingin meledak. Disamakan dengan sosok itu adalah hal terakhir yang diinginkan Will.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Love
RomanceSURRENDER SERIES #1 √ Completed √ ~ Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Em untuk mengobati luka di hatinya. Susah payah ia bangkit, hingga akhirnya ia berjuang membangun kembali puing-puing kehidupannya. Namun semuanya berantakan sejak...