SL - BAB 2

22.8K 1.5K 44
                                    



Tangan Em dengan cekatan meraih gula dan teh. Em yakin betul jika langkah yang dilakukannya dalam membuat teh telah sesuai dengan apa yang diketahuinya selama ini. Tapi Em membenci bagaimana semuanya terlihat salah ketika dirinya berada di suatu ruangan yang sama dengan Will. Sementara pria tampan bermata biru, berambut pirang gelap, dan berbadan jangkung itu; terus menerus memperhatikannya.

Mata biru cerah itu bahkan masih terlihat menenangkan meski mereka berada di dapur yang temaram. Em tidak pernah merasa seaman ini dalam gelap. Mata itu bersinar mengejarnya. Em bersusah payah supaya tidak gugup hingga menimbulkan bunyi aneh ketika mengaduk teh di cangkirnya.

"Maafkan aku," Will memulai lebih dulu. Matanya masih terpaku pada wanita muda yang tengah mengaduk teh, seolah itu adalah pemandangan paling menawan yang ditawarkan malam ini.

Em benci merasa ditelanjangi seperti itu hanya dengan sorot mata. "Kau memang seharusnya meminta maaf," katanya dengan nada sinis. Em menyodorkan cangkir teh itu dengan wajah datar, menutupi kenyataan bahwa di dalam sini, pipinya telah memanas hanya dengan sebuah tatapan.

"Tapi yang seharusnya adalah terima kasih," kata Will. Ia menyesap perlahan teh buatan Em. Will memejamkan matanya seolah menikmati aroma serta rasa teh dengan seksama. Menyerapi dengan tenang. Dan Em semakin membenci dirinya karena terhibur dengan pemandangan itu. "Ini enak sekali. Terima kasih."

Em kembali mengerjap karena kehilangan sebagian dirinya sedetik tadi. Dia meminum teh di tangannya dengan cepat untuk mengalihkan kegugupannya. Tapi tanpa memperhitungkan suhu dari teh yang ditenggaknya. Em tersentak. Lidahnya terasa terbakar sementara tangannya terkena percikan teh panas karena meletakkan terlalu kasar.

Will dengan sigap meletakkan teh miliknya. Merengkuh Em dari belakang, bergegas mengarahkan tangan Em ke kran air. Suhu dingin menerpa kulit tangan Em ketika merasakan air mengaliri kulitnya. Tapi tak dapat dipungkiri ketika bagian tubuh lainnya merasakan panas, sementara otaknya menggeram frustasi. Dia terlalu dekat dengan Will hingga punggungnya menempel pada dada bidang Will.

Lagi-lagi Em terhimpit di antara Will dan benda mati. Tak ada jalan keluar di sini.

"Kau harus lebih berhati-hati, Emmy," kata Will dari belakang. Suaranya terdengar lembut di telinganya, setara dengan bisikan indah yang menerpa pendengarannya. Bisikan itu melewati sela-sela rambut gelapnya yang telah terurai, menimbulkan sensasi nikmati pada bulu di sekitar lehernya. "Tanganmu merah. Kau melukai tangan indahmu."

Em kehilangan fungsi tubuhnya. Jadi ketika Will membalikkan tubuhnya dengan alunan perlahan namun pasti, Em hanya bisa mengikuti setiap arahan Will.

Em terbelalak bahkan mengeluarkan suara setengah mencicit ketika tiba-tiba Will meniup lembut kulit tangannya. Respon tubuhnya benar-benar mengkhawatirkan. Em ingin meluruhkan tubuhnya ke lantai dapur. Beruntung pantatnya tersangga meja dapur meminimalisir kemungkinan dirinya akan merasa malu hanya dengan sebuah tiupan manis.

Tapi ini... menggairahkan. Em tak kuasa menolak.

Tanpa ijin lebih lanjut, Will telah menjilati luka bakar itu. Lidah Will menari di sana, mengenyahkan rasa sakit yang beberapa saat lalu membakarnya. Em mendesah keras, tanpa disadarinya.

Namun bagian lain dari dirinya berdetam memperingatkan. Dengan cepat Em menarik tangannya. Terpaksa meninggalkan sentuhan Will yang terasa menyenangkan. Em merasa kehilangan, namun ia memaksakan dirinya untuk bertahan. Dia mendorong tubuh Will agar menjauh. Em benar-benar butuh ruang untuk mengambil udara.

Sebelum Em melontarkan kata-kata tajam pada Will atas kelancangannya, pria itu lebih dulu berkata. Sialnya, suara berat masih berbisik parau dalam jarak ini. Diam-diam Em senang bahwa mereka berdua baru saja kehilangan kemampuan mengendalikan gairah. "Beberapa enzim yang terkandung pada saliva manusia bisa mempercepat penyembuhan."

Surrender of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang