Malam mulai terbentuk di luar sana, sementara Em menghempaskan tubuhnya di jok belakang penumpang yang empuk, membiarkan sopir taksi membawanya kembali ke rumah. Em memejamkan mata, menikmati deru pelan mesin kendaraan. Entah bagaimana hari ini terasa cukup melelahkan.
Lalu bayangan itu kembali lagi.
Mata biru. Senyum nakal. Otot-otot di tubuhnya. Sentuhannya. Ciumannya.
Sontak mata Em terbuka. Dia memijit pelipisnya, menghapuskan bayangan William Archer yang tak mau pergi meski mereka hanya terjebak dalam ruangan sempit yang sama selama dua puluh menit.
Siang tadi Em seperti berada dalam dunia yang berbeda. Em merasa kehilangan dirinya setelah menerima tantangan yang diajukan Will. Em tahu itu keputusan bodoh. Pria itu... selalu punya cara membuat Em kehilangan tekadnya, selalu membuat Em merasa terjebak, selalu menariknya lebih dalam ke dalam lingkaran yang tak ingin diinjak Em. Harusnya Em menutup diri, harusnya Em berlari, namun pria itu pantang menyerah.
"William..." Em menggumamkan nama itu. Terasa menggelitik pada inderanya. Bahkan tanpa sadar nama itu telah akrab di bibirnya. "Brengsek," gerutunya pada diri sendiri.
Em mengangkat pandangannya. Matanya bertemu dengan sopir taksi yang sedang berkonsentrasi menyetir, namun mencuri pandang ke arahnya. Em merasa kikuk karena menggerutu tanpa sebab. Tangannya sibuk merogoh tas jinjingnya, mencari-cari ponselnya untuk pengalihan. Dahi Em berkerut ketika barang yang diinginkannya tak kunjung ia dapatkan.
"Kehilangan sesuatu, Nyonya?"
"Ya." Em berusaha mengulas senyum. "Sepertinya ponselku tertinggal di meja kerjaku."
"Apakah kita harus kembali?"
Em menggeleng. "Tidak, tidak. Aku yakin tidak terlalu membutuhkan ponsel malam ini. Di ujung blok ada sebuah gedung apartemen, itu tujuanku."
Sopir taksi itu menghentikan kendaraannya tepat di depan gedung apartemen. Em mengeluarkan sepuluh dolar dan keluar setelah sopir itu mengucapkan terima kasih.
Em mengernyit ketika di lorong parkir sempit milik gedung apartemennya terdapat mobil Prius familiar. Tentu saja, siang tadi dirinya baru saja menumpang mobil berwarna biru gelap itu. Em yakin betul jika itu adalah mobil milik Will meski dirinya hanya samar-samar mengingat nomor polisi mobil tersebut.
Memasuki gedung, menaiki tangga dengan cepat, Em hanya ingin segera memastikan.
Tidak. Sama sekali tidak merindukan William Archer.
Benar saja, pintu tertutup rapat namun tidak terkunci ketika Em masuk. Sudah pasti Will di dalam. Em selalu memperingatkan Ryan untuk mengunci pintu ketika sendiri di dalam rumah.
Di sana lah mereka. Tengah sibuk dengan konsol di tangan mereka. Will dan Ryan bersorak dengan hebohnya memandang layar laptop berukuran empat belas inci tersebut. Ruang temaram. Kaleng soda di mana-mana. Makanan ringan yang berserakan di karpet.
"Brengsek! Brengsek! Kau brengsek, Joseph!" seru Will dengan asyiknya.
"Tidak, tidak. Itu gol! Bukan brengsek, Archer."
"Baru satu babak, Bung. Jangan senang dulu."
"Akui saja, Will. Kau memang lebih baik di lapangan basket, tapi kau payah untuk sepak bola. Bahkan jika itu hanya sebuah game."
Em berdecak kesal. Dia tidak menyangka Ryan dengan fasihnya mengumpat di umurnya yang masih tiga belas. "Ryan!"
Ryan refleks melemparkan konsolnya, membuat Will menghentikan permainan sepak bola berbentuk digital itu. "Hai, Em. Kau sudah pulang ternyata."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Love
RomanceSURRENDER SERIES #1 √ Completed √ ~ Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Em untuk mengobati luka di hatinya. Susah payah ia bangkit, hingga akhirnya ia berjuang membangun kembali puing-puing kehidupannya. Namun semuanya berantakan sejak...