Twenty Two; Masih Kecewa

4.3K 509 9
                                    

Setelah meletakkan tasnya dimeja belajar, Prilly langsung merebahkan tubuhnya kekasur. Matanya terpejam memikirkan kejadian di sekolah tadi yang membuatnya bingung sekaligus takut. Entah ada masalah apa dengan mereka berdua, Ali dan Farel. Yang membuatnya bingung adalah ucapan Farel, meski dia bilang ucapannya belum selesai setelah dia menyatakan bahwa dirinya menyayangi Prilly, namun itu membuatnya penasaran. Ali, tanpa mau mendengar lanjutan katanya, kepalan tangannya sudah berhasil mengenai pipi kiri Farel membuatnya meringis. Memikirkan kejadian tadi membuatnya takut.

Janji yang tadi pagi Ali katakan sepertinya harus batal mengingat cowok itu mungkin saja masih marah sekarang. Ditambah, sebelum pergi setelah menghajar Farel, dia mengatakan kekecewaannya pada Prilly, dan itu membuat Prilly gelisah. Sebenarnya ada apa dengan Ali? Apa ada yang salah dengannya? Atau mungkin dia salah bicara? Prilly meremas rambutnya pelan, kepalanya terasa berat karena terlalu banyak perpikir. Dia pun tertidur tanpa melepas perlengkapan sekolahnya. Berharap semoga nanti, esok, dan seterusnya akan membaik.

Sementara dilain tempat, Ali dengan wajahnya yang terlihat kesal, menghisap dalam-dalam rokoknya, lalu menghembuskan asap rokoknya secara kasar lewat hidung. Hari ini benar-benar hari yang buruk.

"Ngapa sih, lo? Enggak enak banget tuh muka!" seru Dito. Sudah beberapa minggu ini Ali tidak pernah menginjakkan kakiknya ke base camp mereka saat masih di sekolah yang lama. Dan sekarang, cowok itu tiba-tiba saja datang dengan wajah kesal dan langsung mengambil rokok temannya yang masih utuh.

"Bacot lo! Lagi kesel, nih gue!" balas Ali dengan nada kesal.

"Pantes mukanya enggak enak dilihat! Kenapa, sih? Bermasalah lagi sama Karin?" tanya Dito yang kemudian menyalakan ujung rokoknya dengan korek api.

"Gue sama Karin udah putus, bego!" jawaban Ali membuat lima orang yang ada di hadapannya itu sedikit terkejut dan menatap Ali.

"Putus? Lo yang putusin? Ada cewek yang lebih mulus, ya?" tanya Andi— salah satu teman sekelas Dito.

"Bosen gue sama dia, bukannya ada yang lebih mulus, tapi ada yang bikin gue nyaman!"

"Nyaman doang? Lo sama Karin juga dulu gitu, bego! Ah, nanti juga ganti lagi lo, macem lo awet kalau pacaran? Mustahil." ucap Dito mengejek.

"Ini beda, tolol. Dia bahkan sama sekali enggak mirip Karin dan jauh lebih baik dari Karin. Yang perlu lo tau, gue bukan cuma nyaman, tapi gue juga sayang sama Prilly!"

"Prilly? Namanya Prilly? Namanya cakep, mukanya cakep enggak?"

"Kalau jelek ngapain gue deketin!"

"Tuh, kan, lo tuh cuma nyari yang cakep, bukan yang pas buat lo!"

"Ribet ngomong sama lo, tai! Yang jelas gue bukan lihat dia cakep atau enggak, gue nyaman, gue sayang, dan gue cinta sama dia!"

Mereka semua terdiam setelah mendengar ucapan Ali barusan. Berbeda dengan dulu yang sangat suka mendekati banyak cewek. Sepertinya sekarang dia sudah bertaubat, sudah menemukan cinta sejatinya.

"Lah, terus sekarang ngapain lo kesel?" tanya Dito memecahkan keheningan.

"Kecewa gue sama dia!" balas Ali dengan singkat dan padat.

"Maksudnya?"

"Dia lebih milih temen lamanya dari pada gue, mana temennya cowok lagi!"

"Wajar bro, teman lama enggak boleh dilupain."

"Tapi ini beda! Namanya Farel, dia temennya Prilly dari SD katanya. Dan yang paling bikin gue kesel, dia terlalu deket sama Prilly, bahkan dia bilang dia sayang sama Prilly. Kalau cewek lo lebih milih cowok lain, emangnya lo enggak marah?!"

ImperfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang