Ruangan itu begitu gelap. Terasa pekat tanpa setitik cahaya. Tidak ada suara yang menandakan kehidupan. Membuat ruangan itu terlihat begitu mencekam. Bahkan binatang malam enggan untuk bersinggah di dalamnya.
Di luar sana langit bertabur bintang. Bahkan bulan bersinar dengan sangat terang. Tapi tidak setitik cahayapun yang sudi mengintip ke dalam ruangan itu.
Namun masih ada kehidupan di ruangan mencekam itu. Seseorang meringkuk di sudut ruangan dengan menyembunyikan wajahnya. Matanya tertutup erat tanpa berniat membukanya. Karena saat retina itu terbuka, hanya kegelapan yang menyapa.
Tidak ada pergerakan dan suara yang ia timbulkan. Tetap diam berselimutkan kegelapan. Bahkan ia tidak mengharapkan adanya cahaya. Karena ia menyukai kegelapan. Ia menyukai saat sepasang retinanya tidak menangkap setitik cahaya.
Terangnya cahaya terasa menakutkan baginya. Cahaya hanya membuatnya melihat genangan berwarna merah. Warna yang benar-benar tidak ingin ia lihat di dalam hidupnya. Dan saat cahaya menerangi, semaunya begitu menjelaskan siapa dirinya.
Masih dengan tertunduk, matanya terbuka. Ia merasakan cahaya memasuki kamarnya. Atau bisa disebut memasuki kehidupannya. Membuat sebuah pedang yang masih berada dalam genggaman tangannya memantulkan cahaya.
"Arata-kun"
Dengan perlahan, kepalanya terangkat. Memandang sebuah suara yang berasal dari cahaya yang memasuki kamarnya. Di depan sana, berdiri seorang wanita dengan memakai kurotomesode. Kimono berwarna hitam yang bergambarkan lambang keluarga.
"Kau sudah terlalu banyak membunuh di sini. Sudah banyak nyawa yang kau hilangkan. Kau melakukan tugasmu dengan baik Arata-kun."
Ia terdiam mendengar suara yang terdengar lembut itu. Bahkan tidak mengelak semua kalimat yang terlontar. Karena memang sudah banyak nyawa melayang di tangannya.
"Tugasmu di sini sudah selesai. Kau harus menjalankan tugas baru di tempat lain Arata-kun. Dan jangan pernah gunakan nama itu lagi. Arata, bukan namamu lagi. Kau harus mencari nama baru."
Hanya itu kalimat yang terdengar sebelum pandangannya mengabur. Kepalanya terasa pening dan disambut dengan semuanya yang kembali menjadi gelap.
0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0
Sebuah rumah mewah yang terletak di daerah Gangnam tampak begitu ramai. Beberapa pria dengan beragam usia duduk dan saling bertukar cerita. Tidak jarang teriakan dan kekehan mereka lontarkan. Tampak begitu menyenangkan meski tidak ada ketenangan.
"Haraboji."
Laki-laki termuda di antara lainnya melompat dari sofa. Mendekati laki-laki tua berkaca mata yang berjalan menuruni tangga. Langkahnya begitu lamban dan dibantu sebuah tongkat.
"Haraboji akan pergi lagi?" tanyanya.
Laki-laki tua itu tersenyum melihat keributan cucu-cucunya yang terhenti seketika. Ia merangkul cucu termudanya berjalan mendekati yang lainnya.
"Haraboji memang harus pergi," ucapnya tanpa menghilangkan senyum hangatnya.
"Haraboji baru saja seminggu bersama kita." Keluhan itu terlontar dari cucu lainnya. Membuat senyum laki-laki tua berkaca mata itu semakin merekah.
"Aigoo ... kalian sudah dewasa sekarang. Bahkan Seungkwan sudah menyelesaikan sekolah dasarnya. Kalian tidak perlu selalu haraboji awasi," ucapnya sambil memandangi cucunya satu persatu. Bukan sekali dua kali ia harus pergi meski baru sebentar berkumpul bersama mereka.
"Aku akan mengantar Haraboji." Pemuda berusia paling tua berdiri dari duduknya. Namun pergerakannya terhenti saat sang kakek menolaknya.
"Ini hari liburmu. Jadi nikmati saja di rumah. Haraboji juga tidak sendiri." Laki-laki tua itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencari dua cucunya yang tidak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Dark
Fanfic[DISCONTINUE] Wonwoo seolah melihat cahaya memasuki kehidupannya sejak bertemu dengannya. Namun masih adakah tempat untuknya yang selalu disebut monster dan pembunuh?