Dua tahun berpisah dengan Natan di SMP, karena Ayah dan Om Halim sempat dikirim berbeda tugas, yang membuat Natan harus ikut pindah sekolah. Dua tahun tanpa Natan, hidupku benar-benar tak berbentuk, tapi ini melatihku untuk lebih mandiri. Tapi diluar dari itu Natan terus menjalin komunikasi denganku via skype.
"Nat, hari ini aku lolos test dan diterima di SMA Harapan."
"Wah bagus dong, itu yang kamu pengenin dari SMP bukan?" Tanyanya sambil menyeruput milo, berbicara dengannya via skype saja aku sudah sangat senang.
"Andai ya kamu bisa pulang ke jakarta lagi, pasti aku bakalan seneng banget."
"Jangan sedih, kamu kan udah ngelewatin 2tahun longdistance sama aku, tapi sahabatan kita masih awet-awet ajah kan?" Senyumnya melebar dibibirnya. Ah Natan sahabatku.
"Yasih, cuman aku pengen ajah kita main kaya dulu lagi, nongkrong di rumah pohon main sampe lupa waktu. Kangen Nat, 2 tahun udah lewat, tapi aku masih ngebatin terus." Jawabku, melihatnya dari layar laptop saja rasanya tidak pernah cukup.
"Yasabar Nik, tinggal 3 tahun lagi abis itu kita bisa bareng-bareng lagi, Sabar ya." Ucapnya dengan senyum lebar dipipi. "Nik, liat dek wall aku baru di bikin sama Ayah, katanya supaya gak rindu terus sama Niki."
"Wah si om, keren asli Nat tapi mukaku aneh sih disana, tapi keren asli Nat."
Kalau berbicara dengannya rasanya tidak pernah kenal waktu, satu jam, dua jam, kadang sampai Bunda matiin wifi dirumah karena kalau gak gitu pasti aku bisa kebablasan sampai tengah malam. Pernah sekali Natan off sampai dua bulan, aku benar-benar bingung, harus kemana lagi kalau ingin berbicara dengannya. Akhirnya aku memohon ke Ayah untuk telepon Om Halim, ternyata Om Halim sengaja menyita laptop, Handphone Natan selama dua bulan karena tiap malam Natan selalu berada dimeja komputer, Haha lucu juga ya bagian ini.
"Yah, Om Halim ada kemungkinan balik ke Indonesia gak sih yah?" Tanyaku ketika hendak mencari makan malam diluar.
"Kalo kata aku enggak kak." Celetuk Nyco adikku yang paling bawel. "Emang kak Natan masih inget muka kakak?"
"Ya Nyc gak mungkin Natan lupa ama kakakmu, orang tiap malam tatap-tatapan muka." Sindir Bunda.
"Ah, enggak tiap malam juga kok Bun." Belaku. "Yah, jadi gimana ada kemungkinan nda?" Desakku lagi.
"Sejauh ini sih belum keliatan peluangnya kak." Jawaban ini cukup membuat dadaku sesak, berarti aku harus menjalani tiga tahun kedepan bersama laptop lagi.
"Gak usah pura-pura sedih kak, udah biasa juga." Pernyataan Nyco seperti melempar arwahku kembali masuk kedalam tubuhku, ah sakit rasanya.
***
Bulan ini Ayah sedang sibuk-sibuknya, katanya akan ada teman Ayah dari Luar Negeri yang akan datang ke Indonesia, dan dia menyerahkan semua kepengurusan kepindahannya kepada Ayah. Tumben banget Ayah mau ribet-ribet ngurusin begituan.
"Kak, kamu udah siap masuk sekolah baru bulan depan?" Tanya Bunda ketika makan bersama.
"Yasudah, tapi coba ya bun Natan ada di Indonesia, Niki senang pasti." Ucapku sambil membayangkan bagaimana jika Natan kembali ke Indonesia.
"Katanya batinnya udah terhubung sama kak Natan, ini sih belum namanya gak bisa ngeliat pertanda." Celetuk Nyco yang langsung disenggol oleh Bunda.
"Tanda?"
"Tanda kalau kak Natan ga bakalan ke Indonesia, hahah." Jawabnya dengan ketawa hambarnya.