Tepat hari senin pagi setelah upacara bendera, Kepala Sekolah SMA Harapan pengumuman bahwa untuk Jurusan IPA kelas XI akan diadakan pertukaran kelas, banyak anak-anak yang berteriak menolak tentang hal tersebut, tapi banyak pula yang bersorak senang. Aku, termasuk bagian siswa yang kecewa dengan pengumuman tersebut.
"Kalian bisa liat kelas kalian di mading sekolah." Lalu Pak Martin berjalan meninggalkan lapangan upacara, kami pun anak-anak IPA berlari mendekati mading sekolah.
"Yah!" Teriakku ketika melihat daftar nama siswa, aku berada di kelas XI-IPA 1, dan Natan berada di XI-IPA 3. Bagaimana bisa Natan terlempar mundur ke kelas 3?
"Kita sekelas nik?" Tanyanya. Responku hanya menggelengkan kepala, lalu Natan maju ke barisan depan untuk melihat ada di kelas manakah namanya, lalu dia kembali kepadaku dengan raut wajah kecewa, ya aku bisa melihat bentuk kekecewaanya.
"Gue di IPA 3, Nik." Ucapnya dengan kaku. "Gue mundur kelas."
"Nat, coba lu liat lagi kelas lo anak-anak berprestasi semua." Jawabku yang berusaha menenangkannya.
"Tapi kita beda kelas."
"Gak masalah Nat, beda kelas gak bakalan ngebuat persahabatan kita renggang." Lalu kami berpisah, memasuki kelas yang berbeda, hari pertama pelajaran terasa sangat berbeda. Aku merasa sepi, entah kenapa sangat sepi, seperti kelas tidak akan menjadi menyenangkan lagi bagiku.
***
Malam sabtu kali ini aku habiskan bersama Natan di rumah pohon, membahas tentang satu minggu yang telah kita lewati sendiri-sendiri. Natan bilang dia sudah mendapatkan teman, lumayan bisa menghiburnya setelah kami pisah kelas katanya, aku juga cerita kalau aku menemukan teman yang bisa membuatku menikmati ketika berada di kelas.
"Memang siapa namanya Nik?"
"Nafael, dia teman sebangku ku awalnya kami tidak banyak bicara, dia begitu tertutup dan gue juga masih gak mood ngobrol sama siapa-siapa, cuman akhirnya dia jadi enak buat di ajak curhat, Nat." Tuturku panjang lebar, saat itu tiap kali ku bahas tentang Nafael memang responnya singkat sekali, seperti tidak mau mendengarnya. Mungkin ini rasa takut tergantikan, aku juga merasakannya saat Natan cerita ada yang berhasil menggantikanku, tapi saat itu aku tidak bilang kalau Nafael akan menggantikannya.
Namun, aku tidak pernah menyangka kalau ternyata itu adalah malam terakhir kami curhat, dan bertukar pikiran. Setelah malam itu, Natan tidak pernah menyapaku di sekolah, dan di rumah kami sudah jarang bertemu kecuali hari libur, Natan menjadi sangat kaku ketika bertemuku di sekolah, aku juga seolah menjadi canggung untuk sekadar menyapanya, entah apa yang mendorong fikiran kami berdua, kami menjadi seperti dua orang asing yang tidak pernah saling kenal.
Mungkin menyedihkan jika terus di fikirkan, dan akan sangat berat kalau aku menjalankannya seorang diri, untung saat ini aku memiliki Nafael. Dulu sekitar 11 tahun yang lalu aku, dan Natan pernah berjanji bahwa, aku tidak akan pernah mengganti sahabatku dengan yang lain. Tapi mungkin semua sudah berbeda, dan saat ini aku menemukan seorang yang mungkin bisa ku katakan 'Sahabat' berada bersama Nafael tidak ada bedanya dengan berada di samping Natan.
"El, nanti jadi ke toko buku gak?" Tanyaku ketika berada di kantin.
"Jadi Nik."
"Jemput yaa." Pintaku dengan senyuman penuh pengharapan.
"Ah, punya temen satu-satunya nyusahin ajah yaa."
"Lho justru karna satu-satunya harus di jaga."
Lalu Natan dan geng barunya datang ke kantin, melewati aku dan Nafael, dia menatapku dengan tatapan dingin, namun aku mengalihkan pandangan ke minumanku dengan nikmat.