Pagi ini aku memutuskan untuk pergi ke rumah pohon, sekadar mendengarkan lagu dan membuat tubuhku menjadi Relax lagi. Ternyata disana ada Natan, sedang membaca buku. Wajahnya terlihat muram sekali, rasanya aku ingin kembali mundur, dan masuk ke dalam rumah lagi.
"Lo ngapain disini, Nat?" Tiba-tiba aku mengeluarkan pertanyaan bodoh.
"Rumah pohon ini punya Niki dan Natan, jadi gua punya hak." Jawabnya dengan sorot mata tajam menatapku.
"Gue Join ya."
"..."
Niatan hati ingin menjadi lebih tenang namun yang ada saat ini malah kebalikannya, aku merasa seperti mayat hidup, ya tuhan.
"Gue masuk ke dalem dulu ya." Ucapku kepada Natan, dia sama sekali tidak menatapku, ketika aku ingin memanjat turun, suara beratnya kembali terdengar.
"Gua berani taruhan, lu gak bakalan balik lagi kesini setelah turun dari rumah pohon." Jawab masih dengan tatapan seperti ingin membunuh, lalu aku berusaha menenangkan pikiranku, agar bisa menghadapi Natan.
"Nat, siapa yang betah ada di situasi kaya gini?"
"Haha, itu buktinya lu betah." Jawabnya dengan ketus, rasanya tanganku ingin melayang di udara dan mendarat di pipinya, tapi sayangnya tidak ku lakukan.
"Gue gak ngerti arah pembicaraan lo kemana, Nat."
"Lu tau Nik, jelas lu tau apa yang gua maksud!" Suara itu kembali pecah, Natan benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya.
"Nat, Nata!" Ucapku yang mendekati badannya dan memegang kedua tangannya.
"Lo ini sahabat gue Nat, sahabat yang paling gue sayang, Even sekarang ada Nafael lo tetep yang paling gue sayang. Tapi Nat, persahabatan kita bukan kaya dulu lagi, lo udah banyak berubah, entah gue atau lo yang jelas itu selalu ngebuat gue sakit tiap malem Nat." Lalu aku memeluknya dalam dekapanku. Ya Tuhan, apa yang baru saja aku perbuat dengan Natan, sampai menyebabkannya seperti ini?
"Niki, gua kehilangan sahabat satu-satunya gua Nik. Gua gak bisa narik dia pulang lagi Nik, gua benar-benar sendiri."
Aku melepaskan pelukanku, dan menatap ke arah matanya. "Nat, kita masih tetap sahabatan Nat, lo gak bakalan bisa tergantikan Nat."
"Udahlah Nik, gua udah gak butuh janji itu lagi, gak usah pura-pura nyaman sama gua, gua gak butuh, yang gua butuh saat ini cuman pengen ngabisin satu hari sama lu."
"Apa?"
"Nik, udah berapa lama kita gak ngobrol bareng?" Tanyanya, lalu dia menghitung dengan jari. "Gak tau, udah lama banget ya. Sampai-sampai lu gak tau kalau gua mau ninggalin lu." Sambungnya.
"Apa, apa sih ngomong yang jelas!"
"Itu udah cukup jelas, Ayah di tugasin pindah kerja lagi ke luar negeri, tadinya Ayah gak ingin ngajak kami sekeluarga, karena waktu kerjanya lebih pendek, cuman gua maksa untuk balik lagi ke kehidupan gua yang lama, dan ayah memperpanjang kontrak kerjanya. 5 tahun atau mungkin lebih." wajahnya sangat murung, tak ada senyuman, atau tatapan penuh kebahagian seperti biasa, aku melihat Natan begitu sedih.
"Nata, enggak!" Teriakku yang langsung mundur ke pojok rumah pohon. "Jangan lagi!!!"
"Niki, its oke Nafael bisa jaga lu, gua percaya Nafael pasti bisa jadi gua, dia udah ngejalanin beberapa minggu dengan baik. Ngebuat lu ketawa, jemput lu pulang pergi, jalan, lu sama sekali gak inget gua. Itu udah bagus Nik, tinggal sedikit lagi."
"What the Fuck! Enggak Nat, gue gak mau pisah sama lo, gue gak bisa Nat gue gak mau, gak mau Nat. Nata!" Teriakku, sekarang aku kembali berada di dekapannya.