Setelah kenyang dengan nasi kuning spesial, kelima pangeran tidak bisa lanjut beristirahat. Ada pekerjaan yang menanti di depan mata untuk diselesaikan.
Hanif mengernyitkan dahi. Ia melepas sliper tipis dan menapakkan kaki telanjangnya. Pemuda itu buru-buru memakai sliper-nya.
"Lantainya agak berdebu." tukasnya.
"Mana barang-barangnya masih di dalam kardus pula..." sambung Vero. "jangan bilang kita disuruh beresin kontrakan ini!"
"Memangnya aplikasi membersihkan rumah nggak ada di bumi?" tanya Ferdinand sambil mengubek-ubek aplikasi play store. Ia mengeluh saat sinyalnya melompong. "Aduh, mana sinyalnya nggak ada!"
"Tapi lebih bagus kalau kita membersihkan rumah ini sendiri, Fer. Biar berasa jadi rakyat biasa." usul Vero.
"Biar greget maksudnya?" sambung Mamoru malas. Vero mengangguk semangat.
Vero mengambil sapu, namun niatnya urung karena alat pembersih itu direbut oleh Mamoru. Pemuda itu menunjuk tumpukan kardus di ruang tengah. Remaja bermata biru itu mengeluh panjang lebar.
Hanif mengecek rak makanan serta isi kulkas di dapur. Sayangnya, kedua lumbung makanan itu kosong melompong. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua siang.
'Mau tidak mau harus beli persediaan makanan.'
.
.
.
Hanif mendorong troli sambil melihat-lihat rak di sebuah hipermarket di dalam kawasan Botani Square. Ferdinand ikut menemaninya dengan alasan ingin membantu membawa belanjaan. Dalam pikirannya, Hanif tahu bahwa pemuda berlesung pipi itu ikut belanja karena ia malas membereskan rumah.
Ferdinand menatap malas Hanif yang sedang memilih beras. Ia mulai jenuh hanya mendorong troli tanpa adanya obrolan. Ia menghela napas sebelum memulai pembicaraan.
"Kenapa kita harus repot-repot belanja? Kita kan bisa pesan makanan."
Hanif menggeleng sekali, matanya beralih pada deretan rak roti. "Terlalu boros dan kurang sehat kalau setiap hari harus pesan makanan cepat saji."
Jawaban Hanif—yang terdengar seperti ibu-ibu—cukup masuk akal. Namun Ferdinand tidak bisa puas dengan satu jawaban.
"Memangnya siapa yang mau memasak?"
"Aku yang akan memasak."
Mata hazel Ferdinand menatap kagum Hanif. Namun satu pertanyaan muncul lagi di kepalanya.
"Apa kau tidak kecapekan kalau harus memasak? Terus siapa yang membersihkan kontrakan?"
"Kalau tidak salah Banyu tadi bilang nanti ada yang datang setiap hari untuk membersihkan kontrakan kita."
"Tapi kau beneran bisa masak?"
Hanif mengangguk pelan. Bahasa tubuh itu membuat Ferdinand berhenti bertanya. Ia memperhatikan Hanif yang tengah memilih daging cincang. Yang diperhatikan langsung menaruh daging di troli belanja, karena suara pikiran pemuda berambut cokelat itu mulai mengusiknya.
"Ada masalah, Ferdinand?"
Ferdinand menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Maaf kalau aku banyak bertanya, Nif. Soalnya aku baru pertama kali belanja di supermarket seperti ini."
Hanif tersenyum tipis. "Tidak masalah."
Belum berselang setengah menit, Ferdinand mulai mati kutu mengikuti Hanif ke meja kasir tanpa pembicaraan. Ia menepuk pundak pemuda arab itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/97103191-288-k984064.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Pangeran : Angin
ActionBumi adalah tempat tinggal semua makhluk hidup ciptaan Tuhan, salah satunya manusia. Hanya sebagian kecil manusia memiliki kekuatan spesial dalam diri mereka. Namun tidak untuk dunia Xena, sebuah dunia tiga setengah dimensi yang dihuni oleh manusia...