Molekul 3 : Pemimpin Terbaik

35 1 0
                                    


Hanif menghela napas. Misi ke bumi tinggal dua minggu lagi. Sampai saat ini, masih banyak tugas kenegaraan yang harus dihadirinya. Belum termasuk latihan elemen dengan keempat partner barunya.

Secara garis besar, hubungan mereka berlima mulai membaik. Mamoru juga mulai memahami bahwa Hanif masih perlu waktu untuk mengembangkan potensi kepemimpinannya. Walaupun pemuda berambut cepak itu masih senang menyindirnya.

Hanif menyentuh layar ponselnya. Sebagian besar layarnya menampilkan puluhan notifikasi pesan belum terbaca, aplikasi yang baru saja diperbarui serta 2 panggilan tak terjawab. Pemuda berambut hitam itu kembali mematikan layar ponselnya.  

Untuk menenangkan hatinya, Hanif berdiri mematung di depan pintu ruang kerja. Setelah jam delapan malam, ruang kerja istimewa itu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu—termasuk dirinya. Baru saja jarinya menekan tombol bel, suara berat di interkom memanggilnya.

"Masuklah, Hanif."

Suara khas itu membuat Hanif memutar kenop pintu, lalu masuk ke dalam ruangan. "Apa saya mengganggu Ayah?"

Umar tersenyum tipis. "Tentu tidak. Kecuali kalau kau mengacak-acak ruanganku."

Hanif duduk di atas sofa merah berbahan beludru, duduk berhadapan dengan sang ayah. Sepasang mata kelabunya menatap lurus raja sekaligus kepala kerajaan monarki absolut Qauya itu. Sementara otaknya menyusun kata-kata untuk mengeluarkan curahan hatinya.

"Bagaimana hubunganmu dengan teman-teman dari shayaftar lain?"

Pertanyaan itu sempat membuat lidah Hanif kelu. Ia ingat bahwa hubungannya dengan Mamoru masih memburuk.

"Hubungan saya dengan Ferdinand baik-baik saja, begitu juga dengan Vero. Saya masih sedikit canggung dengan Brilliant, tapi dia baik."

"Kamu masih kesulitan mengakrabkan diri dengan Mamoru ya?"

"Tidak, Ayah! Saya hanya—"

"Ada satu alasan mengapa aku memintamu sebagai pemimpin, bukan Mamoru—yang paling tua. Alasan itu bukan karena kau anakku, seorang shayaftar cahaya."

Sedari dulu, Hanif curiga bahwa ayahnya bisa membaca pikirannya. Bahkan sang raja memblokir isi pikiran agar tidak bisa dibaca olehnya. Raut wajah Umar tetap tenang, membuatnya semakin penasaran.

"Seorang pemimpin dikatakan hebat bukan karena kelihaiannya bertarung, namun sikap tegas dan kelembutan hatinya yang mampu menarik hati pengikutnya untuk berjuang bersamanya."

"Menurut saya, Ferdinand lebih pantas menjadi pemimpin kami berlima."

"Aku juga tidak memilih Ferdinand karena dia lebih baik sebagai penasihat. Sifatnya yang lembut dan penyayang lebih cocok menjadi pengikat tim dibandingkan menjadi pemimpin."

"Maafkan saya, Ayah. Saya hanya ragu apakah saya bisa memimpin mereka dengan baik—"

"Apa kau meragukan keputusanku?"

Hanif menggeleng kuat. Ia menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mata ayahnya. Ia tak melihat pria paruh baya itu mengulas senyum, dan bangun dari kursinya. Umar tahu bahwa putra semata wayangnya perlu dukungan moril.

"Mengenai Mamoru, dia hanya meminta bukti bahwa kamu pantas menjadi pemimpinnya."

Umar menepuk pundak putranya. Hanif mengangkat kepalanya dan menatap lurus sepasang iris hitam didepannya. Ia tidak bisa membaca pikiran ayahnya, namun raut wajah teduh dari Raja Qauya itu jelas mengungkapkan bahwa ia bisa diandalkan.

"Suatu saat nanti, mereka akan menganggapmu sebagai pemimpin terbaik."

Sang Raja beranjak dari ruang kerjanya. Hanif mengingat kembali janjinya dengan Mamoru. Waktunya untuk mempersiapkan diri untuk berduel tinggal seminggu lagi. Lebih baik malam ini ia menyiapkan keperluan untuk beraktivitas di hari esok.

Lima Pangeran : AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang