Molekul 13: Dewi Bumi

27 1 0
                                    

Udara dingin berhembus di hari Minggu pagi pukul lima, diiringi dengan suara rintik hujan. Cuaca yang mendukung untuk terlena dalam alam mimpi. 

—Tapi tidak untuk pangeran berkacamata itu.  

Setiap hari, Brilliant selalu bangun tepat pukul lima pagi. Seperti biasa, ia membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, Ferdinand merangsek masuk dan langsung menutup pintu kamarnya.

"Maaf, Brili. Aku masih penasaran soal semalam."

Brilliant melipat tangannya di depan dada. Ferdinand menghela napas lalu mengatupkan kedua tangannya—isyarat meminta maaf. Terlepas bahwa mereka adalah saudara kembar, mereka tidak melupakan etika satu sama lain.  

"Jadi benar kan kalau di sini ada shayaftar seperti kita?"

"Shayaftar di bumi berbeda dengan shayaftar dunia Xena. Shayaftar yang lahir atau tinggal lebih lama di Bumi memiliki kemampuan menyembunyikan aura mereka." jelas Brilliant.

"Semalam Mamo sempat cerita kalau orang berjubah hitam yang menyerangnya memiliki elemen api, namun ia bisa mengubah api menjadi benda padat seperti tali. Menurutnya, itu adalah salah satu tingkatan tersulit bagi shayaftar api. Kamu pasti lihat juga kan serangan orang itu?"

Brilliant mengangguk setuju. Ferdinand mengharapkan jawaban yang lebih panjang, dan membuatnya ingin terus bertanya. 

"Apa itu juga salah satu kemampuan dari shayaftar di bumi?"

"Bisa jadi."

"Kamu ikut masuk ke misi ini karena ingin menyelidiki mereka, kan?"

"Bukan."

Ferdinand pantang menyerah, walaupun pertanyaannya panjang lebarnya dibalas dengan kalimat singkat. Ia menatap tajam mata hazel adik kembarnya.

"Lalu—"

Pembicaraan mereka berdua terputus oleh ketukan pintu kamar. Ferdinand membuka pintu kamar. Vero menyapa Brilliant, belum menyadari kehadirannya.  

"Brili, aku mau—Wah, ada Ferdi juga di sini! Kalian berdua tidur bareng ya?"

Ferdinand menyunggingkan senyum. Ia melambaikan tangan ke Brilliant, lalu keluar sambil menarik tangan Vero.

"Heh, kamu beneran tidur bareng Brili?"

"Kepo banget."

Vero meninju lengan Ferdinand. Pangeran berambut cokelat gelap itu hanya tertawa sambil menghindari pukulan Vero. 

—Pembicaraan tadi cukup menjadi rahasia kembar Mathis.   

.

.

.

Hanif membuka matanya dan hampir terlonjak melihat jam mejanya menunjukkan setengah sembilan pagi. Beruntung ia langsung ingat hari ini adalah hari Minggu.

Pemuda berdarah arab itu langsung bangun dari tempat tidurnya dan keluar kamar. Di depan kamar, ia berpapasan dengan Ferdinand. 

"Maaf, aku bangun kesiangan." katanya sambil menunduk malu.

Ferdinand tersenyum maklum. "Nggak apa-apa, Nif. Kamu pasti lelah banget kan."

Hanif celingak-celinguk, lalu melihat Mamoru dan Vero yang asyik memainkan ponsel di meja makan. "Yang lain sudah sarapan?"

Ferdinand mengangguk. "Sarapan hari ini ada roti bakar sama telur mata sapi," Ia menunjuk meja makan yang masih belum dibereskan, "punyamu masih ada di meja makan."

Lima Pangeran : AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang