Molekul 14: Mimpi

30 2 6
                                    

Cuaca di awal April mulai berubah seiring pergantian musim di Indonesia. Waktu pun berjalan makin cepat, sampai tidak terasa beberapa hari lagi para siswa kelas tiga SMA akan menghadapi ujian nasional berbasis komputer (UNBK).

Semua siswa kelas 12 SMA akan memasuki waktu rehat seminggu sebelum UNBK. Hampir di setiap sekolah Negeri mengadakan doa bersama; mengharapkan semua siswa kelas tiga lulus dengan nilai terbaik.

Hari ini tepat hari terakhir siswa kelas 12 SMA Nusa Bangsa menjalani masa tenang. Senin depan mereka akan menghadapi UNBK. Sebagian besar siswa menggunakan waktu terakhir mereka untuk bersantai sejenak.

Elena menelungkupkan kepalanya di atas meja. Akhir-akhir ini, ia sering bermimpi aneh. Mimpi aneh yang seharusnya tidak terulang lagi karena mimpi itu bertepatan dengan kematian ayahnya.

Elena memejamkan matanya. Ia mengenang kembali mimpi aneh itu. Keesokan harinya setelah ia mendapatkan mimpi aneh itu, ia mendapatkan kekuatan tanah dan kemampuan mengendalikan tumbuhan.

Mimpi itu berlatarkan Kebun Raya Bogor di tengah malam. Langit begitu hitam pekat dengan bulan bulat sempurna. Penerangan yang seadanya membuat Elena cukup merinding. Ditambah lagi tangannya mulai kebas dan tubuhnya menggigil, padahal ia memakai jaket yang cukup tebal.

Saat itu, muncul dihadapannya seorang pria berjanggut lebat usia menjejak kepala empat. Wajah tegas, alis tebal dan janggut hitam lebat pria itu mengingatkannya dengan sosok pangeran dari Uni Emirat Arab. Pria paruh baya itu mengatakan bahwa ia harus mengasah kemampuannya untuk menjaga sebagian jiwanya.

"Elena."

Mata sipit Elena terbuka lebar. Matanya langsung tertuju ke wajah pemuda yang memanggilnya.

"Maaf membuatmu kaget," suara lembut pemuda itu menyadarkannya bahwa sedari tadi ia hanyut dalam pikirannya sendiri, "Boleh pinjam soal UN matematika tahun sebelumnya?"

"Oh, elo Nif. Sori, tadi gue ngelamun."

Dengan kaku, Elena menyerahkan fotokopi soal UNBK Matematika tahun sebelumnya ke Hanif. Ia menatap iris kelabu pemuda berdarah Arab itu. Tanpa sadar, isi pikirannya memutar kembali mimpi yang baru saja diingatnya.

—Ketika Elena melihat mata Hanif, ia merasa seperti bertemu dengan pria paruh baya dalam mimpinya.

.

.

.

Siang ini terasa melegakan bagi Elena. Hari terakhir ujian nasional dijalaninya dengan mulus. Masa-masa mendebarkan saat mengerjakan soal UN di depan layar komputer berhasil dilaluinya.

Sebelum pulang ke rumah, Elena masuk ke kelas Amanda yang berada di lantai bawah. Saat masuk ke kelas, Elena melihat Amanda menangis sesungukan ditemani Widya yang terus mengelus punggungnya.

Saat melihat Elena, Amanda menghambur lalu memeluk gadis tomboi itu. Alih-alih ingin memberontak—mengingat gadis cantik itu sering mendramatisir keadaan, Elena membiarkan sahabatnya bercerita terlebih dahulu.

"Bokap gue fix nyuruh gue kuliah bisnis di Amerika..." isak Amanda.

"Kuliah di mana?" tanya Elena dengan nada datar.

"Columbia University," Amanda mengambil tisu yang disodorkan Widya, "bulan depan gue tes masuknya..."

"Nggak apa-apa... emang bentar lagi kita bakal misah buat jalanin mimpi masing-masing," Elena menepuk pundak Amanda, "lagian masih ada grup line sama WA kan?"

Amanda menyingkirkan tangan Elena dengan kasar. "Peka dikit dong, Len! Gue kan maunya ketemuan langsung!" 

"Yaelah, Nda. Kurang-kurangin dramanya dah!"

Lima Pangeran : AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang