The Zombie's 3

10.7K 1.2K 40
                                    

12 Januari xxxx. 09.17 a.m

Aku jadi tahu nama lelaki yang duduk di sampingku. Namanya, Juliano Alexander. Umurnya 20 tahun, dan dia adalah satu-satunya manusia yang selamat di desanya. Menurut ceritanya, zombie mulai berdatangan pada sore kemarin, dan berhasil menggigit ibunya yang tengah membuang sampah. Seluruh keluarganya pun ikut terkena virus zombie dan hanya meninggalkannya seorang diri.

Menurut info yang dimilikinya, zombie tidak dapat memangsa ketika malam tiba. Pandangan mereka sangat buruk, dan mereka membutuhkan matahari sebagai penerangan. Jadi, kami akan jauh lebih aman ketika malam hari.

Saat ini kami masih jauh dari pusat kota, semakin lama duduk di dalam mobil membuatku takut. Apalagi melihat jalanan yang sudah terlihat sangat berantakan.

"Berhenti di sini sebentar."

Ucapan dari Julian membuatku menoleh terkejut. Tidak, sebenarnya kami berempat terkejut mendengarnya.

"Apa yang akan kau lakukan, nak? Jangan keluar, itu sangat berbahaya." Cegah ibuku.

Julian mengarahkan jari telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar. Kantor polisi. "Kita membutuhkan senjata untuk membunuh mereka."

Aku menyetujui perkataannya dalam hati. Tetapi, bagaimana caranya mengambil sejumlah senjata di tengah banyaknya zombie ganas yang berkeliaran?

"Tapi, aku membutuhkan seseorang untuk ikut membantuku." Ucapnya.

Tubuhku melemah. Apa-apaan ini? Jika ingin bunuh diri kenapa mesti mengajak keluargaku? Aku hendak menolak, tetapi seruan dari kakakku lebih dulu terdengar.

"Aku yang akan membantumu."

"Apakah kalian akan keluar dengan tangan kosong? Itu sama saja dengan bunuh diri." Protesku. Selanjutnya aku berbalik ke belakang dan tanganku mengambil dua buah pemukul bola kasti yang kuselipkan di sana. (Pemukul yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi).

"Setidaknya bisa membantu menambah luka di tubuh manusia jelek itu." Kusodorkan kedua pemukul itu pada mereka.

Julian tersenyum tipis ketika iris emerald-nya beradu dengan iris shappire punyaku, "Ya sudah, ayo pergi."

Setelah memastikan keadaan di luar aman. Keduanya keluar dari mobil secara perlahan. Sebelum menutup pintu mobil, Julian menatapku, "Kusarankan, selama kami berada di sana kalian menunduklah, jangan sampai mereka melihat. Sangat menunduk itu lebih baik."

Aku mengangguk lalu menutup pintunya dan mengunci dari dalam. Kami bertiga melakukan apa yang Julian sarankan. Aku duduk di tempat yang seharusnya menjadi tempat kakiku.

Udara di dalam sini sangat sedikit hingga mengundang keringat mengucur dari tubuhku. Baru kali ini aku merasa hidupku  berada di antara hidup dan mati. Sangat menakutkan.

"Yah, Bu." Aku memanggil kedua orang tuaku.

"Ada apa, nak?" Tanya Ayahku dari depan, sedangakan ibuku hanya menaikan kedua alisnya.

"Aku akan mengatakan sesuatu yang penting sebelum terlambat." Aku menghirup nafas dalam-dalam dan membuangnya. Kedua mataku kembali berkaca-kaca, "Aku mencintai Ayah dan Ibu. Maaf kalau kata ini jarang kukatakan, tapi sungguh kalian berdua adalah orang yang paling kucintai." Air mataku jatuh begitu kalimat ini terselesaikan.

"Ibu juga sangat mencintaimu, nak. Kau, Ayahmu dan juga David adalah harta terbesar ibu."

Aku menyeka air mataku dengan punggung tanganku, "Maaf jika aku selalu membuat kalian kesusahan."

"Valerie." Aku menoleh ke arah Ayahku melalui celah tempat duduk. "Berikan tanganmu."

Aku menyodorkan tanganku padanya. Tangan besar itu menggenggam tanganku erat. Aku merasakan kehangatan dari perlakuan Ayahku.

"Kami akan terus menggenggammu seperti ini. Kami tak akan pernah melepasmu."

Kalimat yang dilontarkan Ayahku membuatku kembali mengeluarkan air mata. Tuhan, semoga saja semuanya akan terjadi seperti yang kuharapkan.

---

JulianoAlexander POV

Aku memasuki bangunan besar ini dengan rasa ketakutan yang besar. Tanganku bahkan meremas kuat pemukul kasti yang dipeganganku. Aku terus menguatkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kau tinggal masuk secara perlahan tanpa membunyikan suara, ambil seluruh senjatanya dan keluar dengan selamat. Hanya itu.

Keadaan ruangan yang kumasuki sangat berantakan. Kursi-kursi terbalik, bahkan kertas-kertas bergelimpangan di mana-mana.

"Kau tahu di mana ruangan senjata itu?" David berbisik pelan padaku. Yeah, memang sebelum kami masuk aku mengingatkannya agar tak bersuara keras karna bisa mengundang kedatangan zombie.

Aku menggeleng pelan. "Sebenarnya aku tak tahu. Tapi, kata Ayahku, di setiap ruangan pasti tersedia berbagai macam senjata."

"Ayahmu seorang polisi?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Kami berdua pun berjalan pelan sambil terus saling menjaga. Kami berdua berhenti di depan suatu ruangan. Jantungku berpacu sangat cepat.

Aku memegang gagang pintu dengan tangan yang bergetar. Aku mendorong pelan pintunya dan mengintip apakah ada zombie di dalam atau tidak. Dan ketika pintu sudah terbuka lebar, aku membuang nafas lega. Tak ada zombie di sini.

Kami berdua cepat-cepat masuk ke dalam dan mengunci pintunya. Aku segera berlari menuju rak-rak kecil dan membukanya satu persatu. Rak pertama kosong, kedua kosong, ketiga....kosong, keempat tetap kosong. Aku berdecak kesal lalu beralih ke rak berikutnya. Aku tersenyum tipis karna di rak pertama kudapati dua buah pistol lengkap dengan tambahan pelurunya.

"Aku menemukan 4 pistol dan sebuah pisau di sini." Ucap David sambil memperlihatkan ke empat pistol serta tambahan pisau itu.

Aku menaruh semua senjata itu ke dalam tas selempang yang ku dapati di dalam ruangan tersebut.

"Sudah selesai? Ayo kita pergi."

Kami berdua dapat keluar dari bangunan besar ini dengan selamat tanpa bertemu dengan zombie sedikit pun. Meski sudah di luar bangunan kami tetap harus waspada karna zombie ada di mana-mana.

Srekk srekk

Sebuah suara membuat langkahku dan David berhenti. "Kau dengar suara itu, Dav?"

David mengangguk. Bisa kulihat wajahnya kembali memucat karna ketakutan. "Mungkinkah itu zombie?"

Aku berpikir keras. Mungkinkah itu zombie? Aku mendekati sebuah semak-semak yang mengeluarkan suara itu. Jantungku berdetak cepat sekali. Manusia mana yang tak akan ketakutan di masa seperti ini?

Rambut coklat teranglah yang kulihat pertama kali. Itu seorang perempuan. Aku makin memantapkan langkahku untuk mendekat, "Kau manusia?"

Perempuan itu tersentak kaget, "Jangan gigit aku zombie!"

---

ValerieJovita POV

Aku semakin gerah dengan posisi seperti ini. Sudah 15 menit mereka pergi dan belum juga kembali. Pikiran-pikiran buruk bertumpuk di otakku. Mungkinkah? Aku semakin takut jadinya jika mereka tak juga kembali.

"Bu..."

"Tenang, Valerie. Mereka akan kembali." Ucap ibuku menenangkan.

Tok, tok, tok.
Ketukan di kaca jendela membuat jantungku langsung berpacu cepat. Pelakunya hanya ada dua, antara Zombie dan Julian serta kakakku.

Aku menghembuskan nafas lega karna wajah Julianlah yang ku dapati. Tetapi, ada yang aneh.

Siapa wanita di belakangnya?

Journey To The AirportTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang