12 Januari xxxx. 10.42 a.m
Kami ketambahan manusia lagi. Dia seorang perempuan berumur 18 tahun sama sepertiku. Namanya, Afsheen (Dia tak memberitahukan nama belakangnya).
Tiba-tiba saja tubuhku terjungkal ke depan karna mobil yang berhenti tiba-tiba. "Kenapa berhenti tiba-tiba, kak?" Sungutku sambil mengelus dahiku yang membentur kursi depan.
Kakakku nampak gelisah sambil menyalahkan mesinnya, "Argh! Kita kehabisan bahan bakar." Ia memukul-mukul kemudi dengan kesal.
Suara pintu terbuka membuatku menoleh ke samping. Julian keluar dari mobil diikuti Afsheen. "Hey! Kau gila? Kau ingin cari mati keluar dari sini?!" Aku berteriak kesal.
Dia menatapku datar. "Kau yang ingin cari mati. Jika berdiam diri di sini bisa-bisa zombie mendapatkanmu."
"Ayo keluar, Val. Kita harus terus berjalan menuju pusat kota." Aku menoleh ke arah yang berlawanan dan mendapatkan ibuku sudah di luar.
Ketika mataku melirik ke depan, tempat duduk Ayah dan Kakakku sudah kosong. Mereka sudah turun, dan hanya aku yang masih setia duduk di sini.
"Oh my god!" Aku memukul pelan kursi depan dan ikut keluar. Lebih baik aku mati bersama mereka daripada mati sendirian di sini.
Julian membagi-bagikan kami sebuah pistol lengkap dengan tambahan peluru. Katanya sebagai senjata perlawanan jika bertemu zombie (semoga saja aku tak bertemu dengan makhluk itu). Aku membalik-balikkan pistol itu bingung. Lalu ku angkat pistol tersebut dan mengarahkannya pada sebuah pohon. Belum sempat kutarik pelatuknya, Julian menghentikan tanganku.
"Pistol ini dipakai untuk membunuh zombie, bukan untuk mengundang mereka"
Aku tersenyum kikuk, "Maaf."
Setelah itu, kami akhirnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Julian serta Ayahku berada di depan, para perempuan di tengah dan Kakakku yang berjaga di belakang.
Desa yang kami lewati kali ini keadaannya lebih parah dari desa-desa sebelumnya. Banyak sekali rumah yang rusak parah, terbakar, bahkan ada yang sudah hampir sejajar dengan tanah. Kendaraan-kendaraan rusak akibat tabrakan. Imajinasiku melayang. Melihat keadaan ini, mungkinkah masih ada orang yang selamat?
Berada di posisi terpuruk seperti ini membuatku harus mempunyai tekad agar tetap selamat di antara banyaknya zombie. Beberapa desa sudah kosong. Kemungkinannya hanya dua. Mereka sudah mengungsi ke bandara atau mati dan bergabung dengan para zombie. Aku meringis ngeri jika saja aku yang terkena gigitan itu. Sungguh, aku tak bisa membayangkan betapa jeleknya aku jika sudah menjadi zombie.
Aku memegang pistol dengan kuat. Keringat dingin terus saja mengucur dari dahiku karna rasa gugup serta takut yang datang secara berlebihan.
Langkah kami kini berhenti sesuai dengan kode yang di berikan Julian. Ia mendekati kami dan berbisik, "Sembunyi ke semak-semak." Suruhnya sambil menunjuk ke arah semak-semak yang berada di depan rumah yang sudah hancur.
Kami mengikuti perintahnya. Julian benar-benar menjadi pemimpin di saat ini. Kami bersembunyi secara perlahan, takut membuat bunyi dan mengundang zombie datang. Penglihatan mereka memang buruk, tetapi tidak dengan pendengaran mereka.
Julian menunjuk ke arah depan di mana beberapa zombie berjalan dengan tatapan lapar mereka. Aku hampir saja muntah melihat darah yang bercampur dengan air liur keluar dari mulut mereka. Ugh! Menjijikan.
"Ada 4 zombie di depan. Kita harus menembaki mereka tepat di kepalanya" ucap Julian dengan tatapan serius.
"Kenapa harus di kepalanya?" Ayahku bertanya bingung.
"Otaknya adalah pusat dari pergerakannya. Jika tembakan kita hanya mengenai jantungnya maka ia tidak akan mati. Kecuali kau membelah tubuhnya dengan pedang, atau tembak langsung di kepalanya." Jelas Julian.
Aku berdecak kagum mendengarnya. Sudah berapa banyak informasi zombie yang di ketahuinya? "Dari mana kau tahu tentang itu?"
Ia melirikku sepintas, "Itu tak penting."
Wajahku langsung tertekuk mendengarnya. Pongahnya lelaki ini. Hanya bertanya saja malah dijawab tak penting. Aku membuang muka darinya. Jika dia bersikap sombong maka aku juga akan melakukannya.
Satu tembakkan terdengar. Lalu suara memuji dari kakakku yang terdengar. Aku tetap membuang muka, enggan melihatnya. Biasanya orang sombong jika dipuji akan semakin menyombong.
Tembakan kedua terdengar. Aku menunduk dan hanya memainkan rumput yang terinjak kakiku.
Tembakan ketiga terdengar, di susul dengan tembakan terakhir. Selesai. Semua zombie sudah mati dan kami tinggal melanjutkan perja--
"Argghhh!"
Teriakan keras dari Afsheen membuat jantungku berhenti seketika. Kami semua menoleh ke arah tatapan Afsheen.
Deg!
Segerombolan zombie keluar bersamaan dari belakang rumah yang hancur itu. Oh Tuhan! Wajah mereka bahkan sangat hancur dan di penuhi dengan darah. Zombie-zombie itu melirik kami dengan tatapan yang hendak menyerang. Mereka mengaum keras, bahkan sangat keras di susul dengan desisan yang menyeramkan.
Aku menelan salivaku dengan susah payah. Apa aku akan mati di saat ini juga?
"LARI!"
Kurasakan tarikan di pergelangan tanganku membuatku ikut beranjak dan berlari menjauhi zombie-zombie itu. Aku menatap ke arah lelaki yang menarikku. Julian. Wajahnya pucat, bahkan tangan yang menarikku itu terasa dingin. Ternyata orang sepertinya bisa takut.
Aku dan dia berada di posisi terakhir berlari. Kakakku bersama dengan Afsheen sudah berada jauh di depan sedangkan Ayah dan Ibuku tak jauh di belakang mereka. Aku mempercepat kakiku untuk berlari. Teriakan-teriakan dari para zombie itu membuat bulu kudukku berdiri. Suara mereka sangat menyeramkan.
Aku tak berani menoleh ke belakang karna ku yakin jumlah mereka lebih banyak dari kami. Mungkin ada delapan sampai sepuluh zombie yang mengejar kami.
Belum lama kami berlari tiba-tiba kami berhenti. Tatapanku berhenti di depan. Di sana terdapat lebih banyak zombie yang kini tengah melihat ke arah kami. Sial! Kami bisa mati jika dikepung banyak sekali zombie seperti ini.
Aku memegang erat lengan Julian karna takut. Lelaki itu terlihat sangat gelisah. Tatapannya bergerak ke sana ke mari, bingung mencari tempat yang aman untuk lari. Secara depan dan belakang kami sudah di penuhi zombie-zombie yang sudah siap menyerang.
"Masuk ke dalam rumah!" Tanpa menunggu jawaban ia kembali menarikku menuju salah satu rumah yang sudah rusak separuh.
Julian membuka pintunya dan masuk ke dalam disusul dengan lainnya. Segera aku menutup pintu itu dan menguncinya. Aku sempat terdorong akibat dorongan kuat dari zombie-zombie di depan itu. Untung saja itu hanya sekali karna detik berikutnya mereka tak lagi mendorong dan hanya berdesis tak suka.
Aku terduduk di lantai tepat di samping Afsheen. Tanganku bergerak menyentuh bagian dadaku, kurasakan debaran yang sangat kuat berasal dari sana.
Aku menunduk sejenak dan bersyukur karna kali ini aku selamat dari terkaman mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To The Airport
HorrorSemuanya berlalu seperti biasa. Langit biru, mentari yang indah, semilir angin yang menyejukan, nyanyian burung gereja, semua nampak indah di pagi itu. Tetapi, semuanya terasa terbalik begitu bencana itu terjadi. Segalanya terasa mencekam, tak ada l...