12 Januari xxxx. 11.45 a.m
Aku sudah berhenti menangis dan menyisahkan kemerahan di bola mataku. Kenapa dunia ini sangat kejam? Beberapa jam yang lalu Joshua yang meninggalkanku. Dan beberapa menit yang lalu kini giliran Bibi Alexa yang pergi. Lalu selanjutnya siapa lagi? Aku?
"Bu, aku lapar."
Aku melirik kakakku kesal. Bisa-bisanya ia lapar ketika kami masih berduka. Dasar saudara tak berperasaan!
"Tidak bisakah kau tahan dulu rasa laparmu?!" Aku berucap kesal. Ugh! Kurasa akan terjadi pertengkaran lagi ke depannya.
"Aku juga manusia, Val. Peruku yang meminta makan!"
Aku menendang kursi yang didudukinya, "Kalau begitu keluarlah dari mobil dan biarkan zombie menggigitmu! Lalu setelah itu makanlah manusia yang kau temui!"
"Val, sudah diam." Ayahku menarik kepalaku bersandar ke bahunya, "Tak ada lagi pertengkaran." Ia mengusap rambutku mencoba menenangkan.
"Dasar manusia tak berperasaan!" Umpatku.
"Valerie..."
"Kau yang tak berperasaan!"
"David..."
Ibuku menghela nafas panjang, "Di akhir hidup pun kalian masih terus bertengkar? Kapan akan berakhir? Ketika salah satu dari kalian pergi lebih dahulu?"
Perkataan ibuku membuatku terdiam.
"David, Valerie, ayo minta maaf." Perintah ibuku.
Belum sempat aku menolak ibuku segera berucap, "Tak ada penolakan!" Tandas ibuku.
"Maafkan aku, Val. Aku tak bermaksud begitu."
Aku meliriknya dari kaca depan. Kurasa aku yang salah, terlalu membesarkan masalah. Lagipula kakakku memang terlihat sangat lapar. "Maafkan aku, Kak. Aku salah."
"Jika lapar, di depan ada supermarket. Kita bisa berhenti sebentar." Ucap Julian.
"Tak perlu. Kita terus saja ke kota." Tolak kakakku.
"Sudah berhenti saja. Aku tak ingin membuatmu mati kelaparan, kak. Kurasa semua orang di sini juga kelaparan." Pintaku.
Kakakku melirikku sekilas. Tepat di depan supermarket, mobil kami berhenti. Kami semua turun dari mobil secara perlahan. Masing-masing kami telah bersiap dengan pistol di tangan, berjaga jika kami bertemu dengan zombie.
Lampu-lampu di supermarket nampak redup, menambah kesan angker di sana. Baru kali ini aku masuk ke dalam supermarket yang berantakan. Aku berjalan pelan sambil memegang ujung baju Julian. Takut.
Kakakku berjalan di salah satu rak yang berada di pojok ruangan dan mulai mengambil beberapa bungkus snack. Begitu juga dan Afsheen dan orang tuaku. Aku tetap di tempat sambil memegang ujung baju Julian. Aku bahkan terlalu takut untuk sekedar mengambil sebotol air.
"Kau tidak mengambil sesuatu?"
Aku mendongak menatap manik emerald-nya. Aku menggeleng pelan, "Aku takut."
"Memangnya kau ingin apa?"
Jari telunjukku menuju ke arah sekumpulan botol air mineral yang berada di rak tengah. "Air."
Julian nampak menghela nafas sejenak. Ia kembali menatapku dan menyodorkan tangannya, "Pegang tanganku."
Aku menatapnya dan menatap tangan yang terulur padaku secara bergantian. Dengan perlahan tanganku bergerak untuk meraih tangannya. Ia menggenggam erat tanganku dan menarikku menuju ke rak tersebut.
Aku terdiam menatap punggungnya. Aku bingung melihat dirinya, di saat yang lain ia akan bertingkah sangat menyebalkan dan sekarang ia bersifat sangat mempedulikan. Lamunanku buyar begitu ia menyodorkan sebotol air mineral.
"Terima kasih." Aku menerimanya dan langsung menegak airnya hingga menyisahkan setengah. (Dia telah membuka tutup botolnya). Oh, terima kasih Tuhan, akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya air lagi.
Ia kembali menggenggam tanganku dan pergi menuju pintu keluar.
Sstt sstt...
Langkahku terhenti ketika telingaku menangkap suara yang sudah mengganggu telingaku sejak pagi tadi. Aku terkejut ketika Julian melepas genggamannya dan menarikku ke dalam rangkulannya.
Julian sudah memasang sikap siaga. Matanya melirik ke sana ke mari mencari-cari di mana asal suara itu.
Mataku mendelik ketika melihat sesuatu yang bergerak-gerak di belakang kakakku. Segera kutarik pelatuknya dan kulayangkan pistolku ke sana, "Kakak menunduk!"
Bumm!
Peluruku menembus kepalanya tepat ketika Kakakku menunduk. Tubuh dengan lumuran darah serta bekas luka itu jatuh tepat di samping kakakku. Aku menelan ludah. Tanganku gemetaran melihat sosok mayat hidup itu secara dekat. Benar-benar menyeramkan."Ayo pergi sebelum yang lainnya datang!" Seru Julian tiba-tiba dan menarikku keluar.
Kami berlari menuju mobil yang terparkir di luar. Sangat berbahaya jika berlama-lama di luar, apalagi sekarang sudah menjadi tempat bagi para zombie berburu.
"Cepat! Cepat!" Seruku panik ketika melihat para zombie yang merangkak keluar dari tempat persembunyiannya. Ah! Aku benci melihat darah, aku benci melihat zombie itu!
Tepat ketika kami semua masuk, zombie-zombie itu berlari mengepung mobil ini. Aku menggenggam erat tangan ibuku. Aku merasa takut, ngeri dan jijik di waktu yang bersamaan. Lihatlah zombie ini, mereka membuka lebar-lebar mulut mereka dan memamerkan gigi yang dilumuti darah kental. Mereka seakan-akan sedang memakan kami meski terhalang oleh kaca yang kini tertempel darah mereka.
"Ayo jalankan mobil in--argh, perutku mual!" Afsheen menutup mulutnya dengan tangan mencoba menahannya agar tak keluar.
Aku tak mampu berkata-kata. Kemudian kututup mataku tak ingin lagi melihat adegan menjijikan ini. Mereka sangat mengerikan. Ini adalah mimpi buruk bagiku.
---
Tujuan kami sudah dekat, kami hanya tinggal melewati sebuah hutan (di sebut hutan karna tidak ada perumahan tapi masih dijaga masyarakat) hingga akhirnya sampai di perbatasan kota. Pohon-pohon besar tumbuh subur di samping-samping jalan. Akar-akar besarnya merambat hingga di permukaan. Jika di telusuri hutan ini nampak tak meninggalkan jejak zombie. Hutan ini nampak seperti biasanya.
"Itu dia!" Afsheen berseru kencang sambil menunjuk ke arah sebuah papan jalan yang bertanda kami sudah sampai di tujuan kami.
Aku menyunggingkan senyum. Akhirnya kami akan selamat. Mobil kami tiba-tiba berhenti karna jalan ditutup.
"Kita tidak bisa masuk dengan mobil." Ujar kakakku.
"Jadi kita harus jalan kaki? Tapi jarak ke bandara lumayan jauh." Ibuku berkomentar.
"Kita harus turun. Lagipula di sinilah tujuan kita. Kita sudah aman sekarang." Tambahku.
"Tidak." Sela Julian tiba-tiba. Aku meliriknya dengan alis bertautan. "Kita belum aman."
"Apa maksudmu?" Suara Afsheenlah yang kini terdengar.
"Jika kota aman, maka akan ada anggota militer yang bertugas menjaga perbatasan dari serangan zombie." Jelasnya.
Benar juga. Perbatasan kota nampak sunyi seperti tak ada yang berjaga. Apa mereka sudah pergi ke bandara? Berarti kami di tinggalkan?
Jika ia, tamatlah riwayat kami.
---
Holla! Masih ada yang nungguin cerita dari Valerie kan? ( moga ada ). Maaf kalo aku updatenya lama, soalnya lagi sibuk sama tugas sekolah😅😅
Oh ya, yg masih penasaran sama kelanjutannya, tetap nantikan lanjutan cerita ini yah😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To The Airport
TerrorSemuanya berlalu seperti biasa. Langit biru, mentari yang indah, semilir angin yang menyejukan, nyanyian burung gereja, semua nampak indah di pagi itu. Tetapi, semuanya terasa terbalik begitu bencana itu terjadi. Segalanya terasa mencekam, tak ada l...