12 Januari xxxx. Pukul 02.15 p.m
Julian terus menggenggam erat tanganku saat kami mencari di mana letak keluargaku. Tanganku yang bebas dari genggaman Julian bergerak-gerak mencari sinyal. Siapa tahu aku bisa mendapatkan sinyal meski sedikit.
"Sudah dapat?" Tanya Julian.
Aku menggeleng di sertai helaan nafas. "Mungkin pemancarnya rusak mengingat keadaan kota ini juga rusak parah."
Kurasakan bahwa genggamannya mengerat. Aku menoleh ke arahnya.
"Kita akan menemukan mereka."
Kami berdua kembali melanjutkan perjalanan mencari keluargaku. Beberapa zombie muncul untuk menerkam kami, tetapi kecepatan menembak yang dimiliki Julian membuat kami selamat tanpa hambatan. Aku pun tak perlu membuang-buang tenaga untuk menjaga diri karna Julian telah melakukannya untukku.
Untuk sesaat aku terjebak dalam kehangatan seorang Juliano Alexandro. Padahal, beberapa jam yang lalu ia nampak sangat dingin dan tak peduli. Tetapi melihat fakta bahwa ia yang menyelamatku membuatku percaya bahwa lelaki ini juga memiliki sisi kehangatan.
Mataku menajam ketika kulihat bayang-bayang sesuatu di depan. Aku sudah mempersiapkan senjataku untuk menembak pelaku itu. Belum sempat kutarik pelatuknya, Julian menghentikan tanganku. (Sudah dua kali dia melakukan ini).
Aku menoleh ke arahnya dengan alis yang bertautan, "Ada apa?"
"Jangan sembarang menembak. Bisa saja itu manusia dan bukan zombie." Jelasnya meski tak menatapku, "Tunggu sampai mereka terlihat."
Aku mengangguk dan mengikuti apa yang di sarankan Julian. Jantungku memacu cepat menunggu siapa yang akan keluar. Dan begitu terlihat, segera ku ancungkan pistolku ke arahnya. Itu,...zombie.
DOR! Zombie itu jatuh ke tanah. Tapi, tunggu! Itu bukan berasal dari senjataku, dan bukan juga dari Julian. Lalu siapa? Kepalaku bergerak ke arah samping. Seketika mataku melebar tak percaya.
Itu mereka!
Keluargaku.
Aku tersenyum senang ketika melihat kakakku yang tengah melambai-lambai ke arah kami. Tanpa pikir panjang kami berdua pun berlari menuju mereka.
"Valerie, ibu senang akhirnya bisa melihatmu lagi." Ibuku segera berhambur ke pelukanku. Aku tersenyum senang sembari membalas pelukan ibuku.
"Kalian sembunyi di mana?" Julian bertanya tiba-tiba. Aku pun melepas pelukan ibuku dan menatap keluargaku.
"Kami bersembunyi di dalam gereja ini. Di dalam sangat aman."
Aku menatap bangunan besar di depanku. Kami pun masuk ke dalam untuk beristirahat sejenak. Seketika nafasku terhenti begitu langkahku masuk ke dalam gereja ini. Ya Tuhan! Ada lima orang yang selamat di sini.
Pintu gereja kembali di kunci. Seorang pria berambut hitam datang menghampiri kami. Ia tersenyum, "Tuhan menyertai kalian." Ucapnya.
Aku menangis begitu mataku berhenti pada sosok seorang gadis seumuran denganku. "Ailee!" Aku berlari dan memeluknya.
Ailee. Gadis itu adalah putri tunggal dari bibi Alexa, ia juga adalah saudara yang sangat dekat denganku. Oh Tuhan, aku sangat bersyukur ketika aku dapat lagi melihatnya. Bahkan melihat masih ada lima orang lain yang selamat sungguh membuatku bahagia.
Tak tahukah kalian bahwa melihat masih ada lima nyawa yang selamat lebih berarti daripada bermiliyaran uang?
Lima orang yang selamat itu ialah Jack selaku pastor di gereja ini. Yang lain ialah Ailee (18), Keisha (17), Callie (35) dan Kevin (10). Jadi, jumlah kami bertambah menjadi 11 orang.
Ada satu rahasia yang kudapati ketika sehabis berbincang dengan Pastor Jack. Ada lorong rahasia yang ada di gereja ini, dan lorong itu tersambung dengan kediaman Pendeta John. Menurutnya, kita bisa mendapatkan kendaraan di sana agar bisa pergi menuju Bandara dengan selamat.
Kami semua akhirnya menyetujui sarannya. Kami pun sudah berdiri di atas altar dan begitu Pastor Jack menyingkirkan sebuah patung Yesus, seketika muncullah sebuah lorong sebesar tubuh manusia yang panjang dan gelap. Aku takjub untuk sejenak. Benar-benar luar biasa.
Kami semua masuk ke dalam begitu lorong tersebut menjadi terang ketika Pastor Jack menekan tombol yang entah dari mana munculnya. Patung Yesus kembali menutup. Kami harus berjalan agar sampai di kediaman pendeta John.
Pastor Jack berjalan memimpin di depan bersama Ayahku. Sedangakan yang paling belakang ialah Julian dan Kakakku. Kami semua berjalan dalam keadaan sunyi tanpa membuka suara sedikitpun.
Sekitar 15 menit kami menyusuri lorong ini, akhirnya berhenti karna tak ada celah lagi untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi, detik berikutnya dinding depan bergerak dan terbuka secara perlahan.
"Wow!" Aku memekik tak percaya karna kami telah sampai di kediaman Pendeta John.
Para lelaki kembali bersiaga menjaga jika ada zombie yang menyerang. Kami akhirnya mendapatkan kendaraan tersebut. Kami membagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama ialah, Julian, aku, Ayah, Ibu, Afsheen dan Ailee. Sedangkan kelompok yang kedua ialah, Pastor Jack, Kakakku, Callie, Keisha dan Kevin. Pintu garasi pun dibuka.
Tiba-tiba saja kami dikejutkan dengan pekikan seseorang. Sontak tubuhku berbalik ke arah suara. Mataku melebar. Itu Callie!
Dan dia...
...digigit zombie.
Zombie itu merobek tubuh Callie dengan lahap tanpa mengindahkan jerit kesakitan dari Callie. Aku hampir saja muntah melihat betapa rakusnya zombie itu memakan Callie.
DOR! Seketika tubuh zombie itu tumbang begitu peluru senjata menembus kepalanya. Callie kini terbaring dengan tubuh yang penuh dengan bekas gigitan.
Anak lelaki di sampingku menangis. "Ibu!" Aku segera menarik tangannya begitu ia ingin mendekati tubuh Ibunya.
Mataku berkaca-kaca. Pasti sangat sakit melihat orang yang kau cintai kini terbaring seperti itu. "Jangan dekati dia."
"Tapi dia Ibuku! Lepaskan aku!" Kevin terus saja merontah dari pelukanku.
Kevin berhenti merontah ketika melihat tubuh ibunya bergerak seperi kejang-kejang. Aku menjadi takut. Tubuh Callie berubah menjadi sangat pucat. Perlahan pembuluh darahnya naik dan muncul ke permukaan. Itu pasti prosesnya untuk menjadi zombie.
"Cepat masuk ke dalam mobil!" Seru Julian keras.
Tanpa pikir panjang, aku segera menarik Kevin masuk ke dalam mobil. Jadilah Ailee dan Afsheen pindah ke kelompok yang kedua. Kevin menjerit ketakutan begitu Callie, tidak! Zombie Callie datang memukul-mukul jendela mobil.
Aku menutup mata anak itu dengan tanganku sedangkan pandanganku terarah pada ibuku--takut melihat keadaan Callie saat ini. Tepat ketika pintu garasi terbuka sempurna, mobil kami keluar meninggalkan kediaman Pendeta John dan juga...
Zombie Callie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To The Airport
HorrorSemuanya berlalu seperti biasa. Langit biru, mentari yang indah, semilir angin yang menyejukan, nyanyian burung gereja, semua nampak indah di pagi itu. Tetapi, semuanya terasa terbalik begitu bencana itu terjadi. Segalanya terasa mencekam, tak ada l...