12 Januari xxxx. 12.30 p.m
Aku menahan nafasku ketika kakiku menginjak kota ini. Satu kata untuk ini, semuanya hancur. Aku tak lagi yakin mengatakan bahwa tempat ini aman, bahkan kota ini jauh lebih parah dari desa-desa yang kulewati. Hanya saja aku belum melihat mayat hidup satu pun.
Kami berjalan berpasang-pasang. Ayah dan ibuku, David dan Afsheen sedangkan aku dan Julian (Aku tak tahu kenapa aku tidak berpasangan dengan kakakku). Pistol selalu berada dipegangan kami. Tujuan terakhir kami ialah Airport International (Itupun jika tempat itu masih aman)
Mataku berhenti di salah satu bangunan yang sangat kukenali. Bookstore terbesar di negara ini. Tempat favoritku jika datang ke sini. Tetapi itu sudah tidak lagi mengingat bangunan ini sudah seperti tak dihuni dan dirawat. Ah, apakah negara ini benar-benar hancur?
Aku mengeluh ketika dahiku menubruk punggung Julian. Astaga, kenapa dia berhenti tanpa memberitahuku sih? Aku baru saja ingin memakinya, tetapi ia menatapku sambil mendekatkan jari telunjuknya di depan bibirnya. Ugh! Jangan lagi. Aku tahu itu adalah kode jika ia melihat sosok mengerikan itu.
Dengan perlahan kami berjalan menuju sebuah pilar bangunan yang besar dan bersembunyi di baliknya. Aku kembali dilanda ketakutan. Sampai kapan mereka tak akan muncul lagi?
"Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana." Julian berbisik.
Aku menarik ujung bajunya begitu ia berbalik ingin pergi, "Kau mau ke mana? Jangan tinggalkan aku sendiri." Aku memelas.
Dia memegang bahuku dan menatapku, "Percayalah padaku, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi sebelum itu, aku harus menyingkirkan mereka terlebih dahulu."
Aku menghela nafas sejenak, "Jangan berlama-lama."
Julian pun mengangguk dan pergi.
Aku mengintip mencari letak di mana keluargaku berada. Di mana mereka? Aku tak melihat mereka sama sekali dari sini.
Sstt sstt...
Tubuhku menegang. Desisan ini milik mereka dan terdengar sangat dekat dari sini. Aku berbalik. Nafasku tercekat. Benar, dua sosok zombie bergerak dari arah sisi kiriku. Aku harus bergerak cepat. Aku harus mencari tempat persembunyian yang lain.
Perlahan-lahan aku melangkah bersembunyi dari pilar pertama menuju pilar kedua. Aku harus siaga jika saja mereka melihatku. Pistol dipeganganku kupegang erat. Aku berhasil melewati empat pilar. Selanjutnya, aku harus berpikir cepat mencari tempat persembunyian lainnya.
Sekitar empat meter dari tempatku ada sebuah mobil yang terparkir asal. Aku harus berlari ke sana secepat mungkin karna hanya itu tempat sembunyi yang terdekat. Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya. Aku bersiap dan...
Srekkk.
Sial! Kenapa ada kaleng soda di sini? Aku merutuki kebodohanku karna tanpa sengaja menginjaknya hingga mengeluarkan bunyi yang nyaring. Tanpa aba-aba aku segera keluar dan berlari kencang. Mobil itu bukan lagi tempat sembunyi yang aman, karna dua zombie itu kini berlari mengejarku dengan teriakan-teriakan menakutkan.
Aku bukan seorang atlet lari atau apapun itu. Tetapi kupaksakan kedua kakiku untuk berlari sekencang-kencangnya. Mataku bergerak ke sana ke mari mencari tempat yang tidak bisa di jangkau zombie.
Manik shappire-ku berhenti pada sebuah objek yang berada di depan sebuah bangunan. Galon. Aku berlari ke arah sana dan mengambil sebuah galon. Kemudian kulemparkan ke arah zombie tersebut.
Yes! Aku mengenai zombienya. Lalu kulayangkan pistolku dan kubidik tepat di kepalanya. Jantungku berpacu cepat. Valerie, kau harus mengenai kepalanya karna jika tidak maka kepalamulah yang akan menjadi sasaran mereka.
Shot! Tembakanku tepat sasaran. Zombie itu jatuh ke tanah dan tak bergerak lagi. Aku membuang nafas lega. Hanya tersisa satu zombie lagi Valerie, ayo fokus!
Aku tersenyum lega karna tembakan keduaku juga tepat sasaran. Tubuhku jatuh ke tanah. Aku selamat dari zombie itu. Tetapi...
...aku terpisah dari rombonganku.
Aku cepat-cepat berdiri dan kurogoh saku celanaku mengambil ponselku. Aku menyalahkannya, tapi sial tak ada sinyal di sini.
"Shit! Kenapa di sini tak ada sinyal satupun?!" Aku mengumpat kesal. Aku baru saja keluar dari satu masalah dan sekarang satu masalah lagi muncul menggantikannya.
Setetes cairan bening jatuh dari mata kananku. Bagaimana caranya agar aku kembali pada mereka? Aku berputar melihat ke sekelilingku. Semuanya hancur berantakan, dan sangat menyeramkan.
Meskipun kau hafal setiap pelosok kota ini, tetapi di saat seperti ini itu tak ada gunanya. Mencari lima orang di kota besar seperti ini sama saja dengan mencari jarum di atas tumpukan jerami. Lagipula sangat tidak mungkin ada orang yang bertahan di tempat seperti ini.
"Ibu, aku harus bagaimana?" Aku bergumam.
Aku berjalan menyusuri jalan sepi tanpa tujuan sama sekali. Berjalan seorang diri di saat seperti ini sangat menakutkan, padahal matahari masih di atas langit.
"Argh!" Kakiku terhenti. Itu suara manusia! Aku mencari-cari di mana asal suara itu. Mungkin masih ada orang lain yang selamat.
"Tolong!" Aku mendengarnya lagi. Aku yakin itu berada di belakang toko roti ini. Aku berlari cepat ke arah belakang toko. Tapi kakiku terhenti begitu mataku menangkap sesuatu yang sangat mengerikan.
Seorang wanita muda kini terkapar dengan zombie di atasnya. Wanita itu menjerit kesakitan begitu gigi-gigi tajam zombie menembus kulit lehernya. Tatapan wanita itu terarah padaku.
"Tolong aku!" Teriaknya di susul jeritan sakit karna zombie itu semakin memperdalam gigitannya. Tangannya terangkat seperti ingin memintaku menyelamatkannya.
Nafasku tercekat dan keringat dingin mulai mengucur di seluruh tubuhku. Sebentar lagi ia akan menjadi zombie. Aku segera bersembunyi di balik tong sampah besar begitu zombie itu bergerak.
Tapi, begitu aku berbalik sosok mengerikan lainnya berdiri di depanku dan bersiap menerkamku detik itu juga.
Aku akan mati.
"JULIAN!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To The Airport
HorrorSemuanya berlalu seperti biasa. Langit biru, mentari yang indah, semilir angin yang menyejukan, nyanyian burung gereja, semua nampak indah di pagi itu. Tetapi, semuanya terasa terbalik begitu bencana itu terjadi. Segalanya terasa mencekam, tak ada l...