12 Januari xxxx. Pukul 04.30 p.m
Hari sudah sore dan cahaya kekuningan mulai memenuhi langit. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, tetapi kami masih bergulat dengan zombie-zombie ganas yang entah kenapa tidak ada habis-habisnya.
Bahkan pakaianku kini sudah dipenuhi dengan keringat serta darah kotor yang berasal dari zombie-zombie yang menyerangku. Aku lelah, bahkan sangat lelah, mengingat tubuhku ini terus-menerus dipaksakan bekerja tanpa henti. Mau berhenti, tetapi tak bisa. Keadaan tak mengizinkannya.
Syuutttt!
Satu zombie jatuh di sampingku dengan luka tebasan pedang di tubuhnya. Aku menengok ke belakang melihat siapa pelakunya.
"Fokus dengan sekitarmu, Val!" Suara baritone yang tegas itu langsung masuk ke dalam telingaku begitu iris kami bertatapan.
DOR! Aku terperanjat kaget begitu Julian menembak sesuatu yang berada di belakangku. "Pakai ini." Ia menyodorkan sebuah pedang yang entah ia dapat dari mana.
Ia menatapku dalam, "Fokus Valerie." Peringatnya lagi dan ku jawab dengan anggukan kepala.
Posisi kami sekarang ini ialah saling membelakangi. Berkat pedang ini, aku lebih leluasa membunuh semua zombie yang mendekat tanpa harus membidik lagi. Lagi, lagi, keringat terus mengucur dari seluruh tubuhku. Membuat tubuhku mulai merasa kedinginan karna memang matahari semakin lama semakin tenggelam ke barat. Belum lagi dengan terpaan angin yang langsung menusuk sampai ke tulang-tulangku.
2 menit selanjutnya, zombie yang ada di sekelilingku sudah mulai berkurang ( masih jauh dari posisiku ). Aku segera berlari mengikuti Julian menuju sebuah pesawat yang terletak tak jauh dari tempatku sebelumnya.
'Bertahanlah, Val! Sebentar lagi!' Aku terus menyemangati diriku agar tetap memiliki semangat untuk selamat.
Keringat terus mengucur dengan derasnya bagai air terjun. Tetapi, semangatku untuk selamat lebih besar dari rasa penat yang menggerogoti tubuhku. Lariku bertambah karna rasa inginku untuk segera memasuki pesawat yang begitu besar itu.
"Kau semangat sekali, Val!" Seru Afsheen yang dengan sekuat tenaganya kini sudah berdampingan denganku.
Senyumku mengembang, "Tentu. Sebentar lagi kita akan pergi dari kota menyeramkan ini, Af."
"Kuharap kali ini kita benar-benar selamat."
Ya. Semoga saja.
Syuutt!
Pedang di tanganku menebas habis dua zombie yang tiba-tiba muncul di sampingku. Zombie itu kini terkapar tak berdaya di tanah dengan luka tebasan di tubuh mereka.
Tubuhku bergerak untuk menoleh ke belakang, "Ayah! Pesawatnya sudah dekat!" Aku berseru kencang pada Ayahku.
Ayahku mengangguk kemudian berlari ke arahku dengan gerakan cepat. Tak hanya Ayah. Yang lainnya pun ikut berlari begitu melihat pesawat yang sudah ada di depan mata.
Dengan sisa-sisa kekuatan dari perjuangan seharian akhirnya kami bisa mencapai puncaknya. Matahari semakin lama semakin mencondong ke barat hingga sisa-sisa sinarnya lah yang menyinari pelarian terakhir kami.
"Lihat! Ada sesorang di sana!" Suara lantang Kevin terdengar. Tangan kotornya tergerak menunjuk ke arah pesawat.
Benar! Di sana ada seseorang! Dan dari seragam yang dipakai dia adalah seorang pilot. Itu artinya, kami benar-benar akan selamat.
Kurasakan genggaman di tanganku. Aku menoleh dan mendapati Kakakku yang menggenggamnya.
"Kau siap, Val?" Tanya Kakakku.
Aku mengangguk. Dan dengan pasti aku menjawab, "Aku siap." Dengan sepenuh hati.
"Mari berjuang bersama."
Kami semua sudah berkumpul dan kini berlari menuju satu tujuan kami sejak awal. Senyumku mengembang lebar hingga tanpa sadar air itu kembali mencuat keluar dari kedua mataku.
Segera kuseka air mata tersebut. Ayolah, aku sudah lelah untuk berlari jangan tambahkan dengan menangis karna itu sangat merepotkan.
DOR! DOR! DOR!
Suara tembakan kembali terdengar. Beberapa zombie berdatangan dari belakang dan juga depan. Aku menggenggam erat pedang di tanganku.'Ayo selesaikan semuanya hari ini, Valerie..'
Syuuttt!
Tiga zombie terkapar begitu pedangku melayang. Yang lainnya juga terlihat sedang bergulat dengan zombie yang menerjang dari arah depan.
"Val! Tolong bantu aku!" Teriakan Afsheen spontan membuatku menoleh mencarinya. Kedua irisku melebar melihat Afsheen dikepung oleh beberapa zombie. Segera kudekati dan kulayangkan pedang besar di tanganku.
"Ya Tuhan, itu hampir saja." Ujar Afsheen setelah melihat zombie-zombie tadi terkapar.
"Kau tak apa, Af? Apa dia berhasil menggigitmu?" Tanyaku khawatir.
Afsheen menggeleng "Tenang saja, ia tak berhasil menggigitku. Terima kasih Val."
Aku membuang nafas lega. Senyumku terbit detik berikutnya. "Ya sudah, ayo pergi dari sini!" Aku segera menarik tangannya untuk berlari.
Kami kembali berlari menuju pesawat yang sudah sangat dekat untuk kami jangkau. Aku tersenyum semakin lebar begitu melihat pintu pesawatnya terbuka dan sebuah tangga mencuat keluar dari sana.
"Cepatlah! Ayo cepat!" Seorang lelaki muda berteriak keras begitu melihat kami. Tangan kanannya terangkat untuk melambai.
"Sudah hampir sampai, Af! Sudah hampir sampai!" Teriakku penuh dengan semangat. Genggaman di tanganku mengerat.
"Ini yang terakhir kalinya, Val!"
Aku mengangguk menyetujui ucapannya. Benar. Ini sudah benar-benar yang terakhir kalinya setelah semua ini.
Kevin yang sudah di depan dengan cepat menaiki tangga tersebut dibantu dengan pilot tadi. Bisa kulihat senyumnya mengembang sangat lebar.
"Kak Val! Ayo cepat, kita akan selamat!" Teriaknya lantang.
Aku mengangguk pasti. "Ayo Afsheen!" Lari kami berdua pun bertambah cepat karna semangat kami yang ikut membara.
"Ayo, ayo cepat!" Julian ikut menarikku agar cepat menaiki pesawat. Afsheen yang di depanku lebih dahulu menaiki pesawat diikuti aku di belakangnya.
"Ayah! Kakak! Ayo cepat masuk!" Teriakku pada mereka karna mereka tak kunjung masuk dan menunggu di bawah.
"Tunggu sebentar, Val! Keisha dan pastor Jack belum sampai." Ucap kakakku seraya menunjuk ke arah depan.
Julian yang di sampingku hendak bergerak turun, tetapi kedua tanganku lebih cepat untuk menahannya. "Kau mau kemana?"
Julian menoleh ke arahku, "Aku harus membantu mereka." Dengan perlahan ia melepas tanganku lalu berlari turun menuju pastor Jack dan Keisha.
Aku menggigit bawah bibirku cemas. Cemas pada Pastor Jack dan Keisha yang masih di sana, cemas pada Julian yang pergi untuk membantu mereka, cemas pada Ayah dan Kakakku yang masih di bawah menunggu mereka.
"Julian! Ayo cepatlah!" Aku berteriak keras melihatnya kini berlari kemari bersama dengan Pastor Jack dan Keisha.
'Ya Tuhan, tolong selamatkan kami.'
Melihat mereka sudah mendekat, Ayah dan Kakakku berlari ikut membantu mereka. Aku bisa membuang nafas lega kala mereka sudah sampai di pesawat.
"Kau terluka, Kei?" Tanya Afsheen khawatir.
"Peluruku tanpa sengaja mengenai lengannya." Jawab pastor Jack.
"Astaga..."
"Ayo cepat masuk sebelum mereka mendekat!" Seru Julian.
Aku pun kembali masuk ke dalam pesawat sembari membantu Keisha menutupi luka tembakannya. Aku membawanya untuk menduduki salah satu kursi.
"ARGHH!!!"
Deg!
"Ayah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To The Airport
HorrorSemuanya berlalu seperti biasa. Langit biru, mentari yang indah, semilir angin yang menyejukan, nyanyian burung gereja, semua nampak indah di pagi itu. Tetapi, semuanya terasa terbalik begitu bencana itu terjadi. Segalanya terasa mencekam, tak ada l...